Ikhwal kultur unik dan “nyeleneh” di pesantren.
Pernah mondok? Pernah dong menyeduh kopi sampai menikmati mie rebus di gayung?
Gayung beralih fungsi menjadi gelas atau mangkok itu (awalnya) dilakukan santri atas dasar inisiatif, sebutlah “survival instinct” atau insting bertahan hidup atas ketiadaan gelas, piring atau perabotan lainnya di pesantren. Uniknya, laku ini kemudian menjadi kultur yang dimata santri terlihat asik dan “nyantrine pol”.
Dalam pandangan beberapa pihak hal ini mungkin sulit diterima. Muncul tanya, “Kok bisa sesuatu yang awalnya salah kemudian dijadikan kebiasaan yang dimaklumi?” Mengambil hikmah dari pembahasan gusmus tentang “dalil dan dalih”, ketiadaan gelas atau mangkuk bisa menjadi dalil, tapi juga pada saat yang sama mungkin juga sebenarnya hanya dalih, sekadar pembenaran.
Tapi tunggu dulu….
Disinilah kebiasaan suatu komunitas menjelma menjadi sebuah kearifan lokal (local wisdom) yang kadang sulit dipahami dan diterima oleh orang yang tidak menyelami budaya komunitas tersebut. Sebuah “indigenous culture”.
Saya jadi teringat cerita Prof. Azyumardi Azra tempo hari. Saat sedang berada di sebuah masjid di Makkah, beliau ditegur oleh seorang Arab karena menggunakan sarung, si Arab bilang haram memakainya karena itu pakaian wanita. Prof. Azra tegur balik si Arab, “gamis yang anda pakai itu di Indonesia juga pakaian wanita, kami menyebutnya daster.”
Nah! Budaya suatu kelompok masyarakat memang tidak bisa disamaratakan bukan?
Seperti penggunaan koteka pada masyarakat pedalaman Papua, meskipun dianggap menyalahi norma dan sangat tidak nyaman, mereka tetap memilih menggunakan koteka karena dengan menggunakannya mereka merasa lebih “Papua” dan menjadi kebanggaan tersendiri. Begitupun santri, saat menggunakan koteka, eh, gayung maksudnya, mereka lebih merasa menjadi “real santri” dan bangga akan hal itu.
Ambil analogi debu saat tayammum, digunakan sebagai opsi ketiadaan air. Gayung pun sebaiknya dan sesungguhnya demikian, kalau gelas dan mangkuk ada, gugur sudah peran gayung sebagai alternatif.
Jangan jauh-jauh berpikir pesantren mengajarkan kesederhanaan lewat gayung, itu pendapat terburu-buru. Pesantren tidak pernah mengajarkan atau menganjurkan penggunaan gayung untuk keperluan selain semestinya. Gelas untuk air minum dan mangkuk untuk mie rebus jelas lebih baik. Kesederhanaan di pesantren biasanya lebih diajarkan melalui contoh hidup yang diajarkan kyainya selain juga diajarkan melalui kitab-kitab akhlak.
Sekali lagi, bagi santri, gayung adalah identitas, menggunakannya untuk kepentingan tertentu merupakan “priceless experience”, sebuah pengalaman berharga yang menarik untuk dibicarakan dikemudian hari dan sayang untuk dilewatkan. Wallahu a’lam. []
Romzi Ahmad. Santri, penikmat kopi gayung.