Awal Maret ini, Swis resmi mengeluarkan aturan baru melarang penggunaan burkak dan cadar di tempat publik bagi perempuan muslim. Aturan baru ini mengundang kontroversi serta dinilai melanggar HAM. Putusan ini lahir usai pemungutan suara dari referendum pada Sabtu (7/3/2021) dengan selisih tipis: 51.2% yang menyetujui dan 48.8% yang menolak larangan ini. Dalih pemungutan suara sebenarnya tidak langsung menyasar pada ajaran Islam, namun dinyatakan bertujuan untuk mencegah aksi kriminal yang lazimnya menggunakan penutup wajah atau aksi vandalisme publik lainnya.
Artinya, segala bentuk penutup wajah yang digunakan di lokasi publik dilarang, termasuk juga burkak dan cadar. Tetapi, jika berkaitan dengan kegiatan budaya, festival, ritual di rumah ibadah, atau pertujukan seni, maka penggunaan penutup wajah tetap diperbolehkan.
Secara tidak langsung, hal ini menunjukkan bahwa pemerintah Swis menilai negatif perempuan bercadar atau mengenakan burkak. Penilaian negatif ini tentunya tidak lahir dari ruang kosong. Sebagai misal, terdapat sentimen terhadap istri-istri dan perempuan yang diduga pelaku teroris karena sebagian besar mengenakan cadar atau burkak. Kendati sebagian pelaku teroris sebenarnya tidak berafiliasi dengan Islam, namun tumbuhnya fobia Islam di negara-negara Barat punya pengaruh negatif mengenai sentimen terhadap simbol-simbol Islam.
Survei yang dilakukan Wadah Pemikir (Think Tank) Pew Research Center merilis mengenai persepsi warga Barat terhadap Islam yang rata-rata 60% memiliki penilaian buruk dan negatif (generally bad), terutama usai kekerasan akibat penanyangan karikatur Nabi Muhammad SAW di Prancis. Rupanya, kejadian yang terjadi di Prancis memiliki gaung ke negara-negara Eropa lainnya. Swis termasuk ke jajaran negara yang menganggap ajaran Islam bertentangan dengan nilai-nilai kebebasan masyarakatnya.
Salah satu penjelasan mengenai aturan ini disampaikan oleh pemerintah Swis: “Penutup wajah seperti cadar, demikian juga burkak adalah simbol penindasan terhadap perempuan. Hal ini tidak sesuai dengan nilai-nilai masyarakat Swis.”
Secara sederhana, penyataan bahwa cadar dan burkak adalah simbol penindasan terhadap perempuan merupakan pernyataan yang cacat logika. Jika seorang perempuan dengan kesadarannya ingin mengenakan cadar, lalu dilarang oleh aturan negara, bukankah aturan negara tersebut adalah penindasan terhadap kebebasan penduduknya.
Selain itu, mengenakan cadar atau burkak tidak melanggar hak dan kebebasan orang lain. Kendati banyak istri atau perempuan teroris mengenakan cadar atau burkak, bukan berarti semua orang yang mengenakan cadar atau burkak punya kecenderungan menjadi teroris. Penyataan menggeneralisasi terhadap kasus ini merupakan cacat logika yang lain.
Kasus ini menjadi menarik karena mirip dengan yang pernah disidangkan di Mahkamah Hak Asasi Manusia Eropa pada Juli 2014 mengenai kasus pelarangan burkak dan cadar di Prancis. Hasilnya, persoalan ini diserahkan ke diskresi negara bersangkutan. Istilahnya adalah margin of appreciation yang menjustifikasi pelarangan cadar dan burkak.
Azis Anwar Fachrudin pernah menuliskan analogi menarik dengan membandingkannya dengan aturan pencatatan pernikahan. Nikah sirri memang secara agama sah jika rukun-syaratnya terpenuhi, namun negara boleh melarangnya karena potensi mudaratnya lebih besar daripada tidak tercatat secara legal oleh negara. Secara tidak langsung, Azis mengisyaratkan bahwa suatu negara bisa jadi melarang penggunaan penutup wajah (termasuk cadar atau burkak) dan alasannya diterima jika memang potensi mudaratnya lebih besar. Lagi pula, aturan cadar dan burkak pun adalah perkara khilafiyah di kalangan umat Islam.
Pendapat yang diutarakan di atas memang masuk akal, namun hal itu bukanlah keputusan final yang tak bisa ditawar lagi. Bagaimanapun juga aturan diskresi terhadap suatu negara menuai perdebatan publik. Bahkan, ketika Mahkamah Hak Asasi Manusia Eropa menyidangkan kasus pelarangan cadar di Prancis, dua juri dalam sidang tersebut mengutarakan ketidaksetujuannya. Alasannya, pelarangan cadar atau burkak melanggar hak privasi, hak kesadaran, dan hak beragama individu.
Dalam Uraian “Burqa: Human Right or Human Wrong“, Farinaz Zamani Ashni dan Paula Gerber merinci alasan pelarangan cadar dan burkak telah melanggar HAM. Dua penulis ini membandingkan aturan tersebut dengan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR). Dua ayat (ayat 2 dan ayat 18) dalam perjanjian internasional ini telah dilanggar dalam aturan pelarangan pemakaian cadar dan burkak.
Selain itu, pelarangan cadar dan burkak juga melanggar perjanjian internasional yang lain, yaitu Konvensi Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women/CEDAW). Ayat 2 dalam konvensi tersebut menyatakan bahwa perempuan memiliki hak penuh atas busana yang mereka kenakan dan punya kebebasan dalam menjalankan agama yang dianutnya.
Komite HAK PBB juga terang-terangan menentang pelarangan cadar dan burkak di Swis ini. “Justifikasi yang tidak jelas tentang pemakaian penutup wajah yang dapat jadi ancaman keselamatan, kesehatan, atau hak orang lain, tidak dapat dianggap sebagai alasan yang sah untuk pembatasan legal terhadap kebebasan beragama,” tulis komite HAM PBB melalui pernyataan persnya.
Aturan pelarangan cadar dan burkak jelas-jelas menunjukkan penguatan fobia Islam di negara-negara Barat, khususnya Swis. Tentunya, segala jenis fobia merupakan gejala buruk, jika tak tertangani dapat melahirkan rangkaian tindak diskriminatif kepada objek fobia itu sendiri. Dalam hal ini, umat Islam menjadi korban atas sentimen dan persepsi negatif tersebut.
Jika putusan ini benar-benar diterapkan, maka Swis akan mengikuti jejak negara-negara yang sudah lebih dahulu melarang penggunaan cadar dan burkak, seperti Austria, Belgia, Denmark, Belanda, dan Prancis.