Kemudian yang kedua, pemurnian Islam dari bid’ah. Golongan Wahabi menyuarakan Islam tanpa madzhab dan menganggap selain golongannya sebagai ahli bid’ah. Wahabi menyuarakan pemurnian Islam dari bid’ah dalam pengertian literalis dan sempit, yaitu segala sesuatu yang tidak pernah dilakukan di masa Rasulullah, dan bid’ah adalah sesat yang memasukan pelakunya ke dalam neraka. Sehingga berbagai tradisi yang hidup dalam peradaban Islam dianggap bid’ah yang tidak boleh dilakukan, dan pelaku serta yang mempertahankan tradisi dianggap ahli bid’ah dan ahli neraka.
Sedangkan Hadratussyekh menyatakan bahwa tidak semua bid’ah adalah haram dan sesat, akan tetapi terdapat bid’ah al-hasanah (baik) dan bid’ah al-sayyiah (buruk). Karenanya bid’ah diletakkan ke dalam kerangka hukum syariat Islam yang ada lima, yaitu; bid’ah halal/boleh (mubah), bid’ah haram, bid’ah sunnah, bid’ah wajib, bid’ah makruh. Sehingga di kalangan Nahdhiyyin hidup tumbuh berkembang tradisi dan kebudayaan yang baik.
Wahabi memandang tradisi dan kebudayaan yang tidak ada di zaman Nabi secara hitam putih, dan surga-neraka.Sementara Hadratussyekh melihat tradisi lebih kepada substansi dan esensinya, sehingga jika substansinya baik maka baik dan absah dilakukan, dan jika substansinya buruk maka tidak boleh dilakukan. Menurut Hadratus Syekh, bahwa ada banyak tradisi yang baik dan bernilai pahala, meski tidak pernah ada pada zaman Nabi, seperti mengkodifikasi dan mencetak Al-Quran dan hadits, turats atau kitab kuning yang berisi berbagai disiplin ilmu keislaman yang dapat membantu memahami isi Al-Quran dan hadits, membangun madrasah, sekolahan, pondok pesantren, dan yang lain.
Lalu, memasuki abad ke-21 narasi manakah yang relevan dan maslahat bagi peradaban umat manusia antara narasi Aswaja Hadratussyekh dengan narasi Wahabi? Abad ke-21 gerakan radikalisme-ekstrimisme-jihadis menguat, jaringan dan indoktrinasinya ada di mana-mana, dan narasi ekstrimisme-jihadis meruyak baik dalam bentuk buku, pamphlet, dan ada di laman internet. Pada akhirnya dunia dikejutkan dengan berbagai aksi-aksi terorisme, seperti bom Bali I dan II, bom gereja, bom kedutaan asing, dan bahkan bom di dalam masjid. Dari akar-akar doktrin manakah radikalisme dan terorisme berpijak sebagai dalil pembenaran atas pandangan dan tindakan?
Setidaknya ada dua sumber yang dikembangkan kalangan radikalisme jihadis, yaitu Wahabi dan Ikhwanul Muslimin (IM). Kita bisa melacak tokoh ideolog dan rujukan yang digunakan. Setidaknya terdapat tiga tokoh ideolog radikalisme jihadis di Indonesia yang menonjol yaitu Abdullah Sungkar, Abu Bakar Ba’asyir, dan Aman Abdurrahman yang memiliki nama asli Oman Rohman.
Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir basick pemahaman keagamaannya dari Al-Irsyad yang notabene golongan anti-madzhab, kembali kepada Al-Quran dan hadits, dan pemurnian Islam dari bid’ah. Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir dalam pelariannya di Malaysia mengirimkan generasi muda Indonesia dan Malaysia ke Afghanistan untuk mendapatkan doktrin jihad dan Latihan perang para militer serta membantu mujahidin Afghanistan dalam mengusir Uni Soviet.
Setelah pecah kongsi dengan DI/NII, lantaran di mata Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Baasyir tokoh-tokoh NII dianggap tergolong ahli bid’ah dan kurang keras, sehingga Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir mendirikan Jamaah Islamiyah (JI) yang berhaluan salafi jihadis. Para anggota JI terlibat bom Bali I dan II, bom hotel JW. Mariot, pengeboman gereja, masjid, dan yang lain.
Aman Abdurrahman pun pengikut Wahabi. Ia mempelajari pandangan dan doktrin Wahabi ketika kuliah di LIPIA (Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab) yang ada di Jakarta dibawah naungan Universitas Muhammad Ibnu Saud, Riyad, Pemerintah Arab Saudi. Aman menerjemah buku-buku kalangan Wahabi, khususnya karya Muhammad bin Abdul Wahab dan buku-buku Abu Muhammad Isham al-Maqdisi, guru Abu Mus’ab al-Zarqawi pendiri ISIS, dari Bahasa Arab ke Bahasa Indonesia dan menyebarkannya kepada para pengikutnya di TWJ jauh sebelum ISIS berdiri.
Jauh sebelum ISIS berdiri pada tahun 2014, Aman sudah menerjemah buku-buku al-Maqdisi rujukan kalangan ISIS. Sehingga ideologi dan nama gerakan jihad al-Maqdisi yang diberi nama Tauhid Wal Jihad (TWJ) diadopsi total oleh Aman. Bahkan buku yang ditulis oleh para penerus Muhammad bin Abdul Wahab yang disebut Aimmah al-Du’at al-Najdiyyin berjudul al-Durar al-Saniyah yang banyak mempengaruhi al-Maqdisi pun dibaca dan mempengaruhi Aman Abdurrahman.
Sehingga pada tahun 2014 ISIS berdiri, dari jeruji penjara Aman dan Abu Bakar Ba’asyir langsung berbaiat kepada Abu Bakar al-Baghdadi dan mendirikan JAD (Jamaah Anshar Daulah) atau AD (Anshar Daulah). Aman dan Abu Bakar Ba’asyir dipenjara dalam kasus pembelian senjata api dan latihan perang untuk para ekstrimisme jihadis di Janto Aceh.
Kalangan ekstrimisme jihadis tersebut biasa disebut salafi jihadis. Memang kalangan Wahabi lebih suka mendaku dirinya sebagai golongan salafi, yang secara garis besar terbagi menjadi dua golongan yaitu salafi dakwah yang a-politik dan salafi jihadis yang berorientasi pada gerakan politik dengan menghalalkan kekejaman atasnama agama.
Dengan mengutip kitab “Tathhir al-Fuad min Danasi al-I’tiqad” karya al-Syekh Muhammad Bakhit al-Hanafi al-Muthi’iy, Hadratus Syekh menjelaskan golongan Wahabi, bahwa, “golongan Wahabi ini adalah cobaan besar bagi umat muslim di masa lalu dan masa sekarang. Mereka seperti penyakit dan sempalan di dalam tubuh umat muslim, atau seperti anggota tubuh yang rusak yang wajib diamputasi agar tidak menular pada anggota-anggota tubuh yang lain. Ia itu seperti seorang yang terkena penyakit lepra atau kusta yang setiap manusia wajib lari darinya. Mereka adalah golongan yang mempermainkan agamanya, dan mencela para ulama dulu (salaf) dan ulama saat ini (khalaf)”.
Hadratussyekh juga menambahkan penjelasan bahwa, Wahabi merusak hubungan baik antar umat muslim dengan menyulut kebencian atasnama agama, al-‘adawah al-diniyah, yang kerusakannya menjalar pada dunia dan peradaban. Apa yang dikatakan Hadratussyekh tersebut terbukti, betapa kalangan Wahabi yang tergolong salafi jihadis menampakkan sikap intoleran, kebencian, permusuhan dan kekejaman atasnama agama. Mereka terlibat dalam kasus-kasus terorisme.
Lebih jauh, permusuhan dirumuskan kalangan salafi jihadis ke dalam dua yaitu al-‘aduwun al-qarib (permusuhan dengan pihak terdekat) dan al-‘aduwun al-ba’id (permusuhan dengan pihak yang jauh) yang dianjurkan oleh mereka. Terdapat musuh dekat yaitu pemerintah yang dianggap thaghut dan masyarakat yang mendukung pemerintah disebut anshar al-thaghut, dan musuh jauh yaitu negara-negara Barat khususnya USA yang selama ini menginfiltrasi negara-negara yang mayoritas penduduknya muslim di antara Irak dan Afghanistan. Doktrin permusuhan ini betul-betul destruktif bagi peradaban manusia.
Dalam pandangan Hadratussyekh bahwa permusuhan dan perpecahan bukanlah nilai-nilai Islam, melainkan nilai-nilai yang diharamkan oleh Islam. Hadratus Syekh menekankan pentingnya persatuan dan persaudaraan. Terdapat banyak hadits yang mewajibkan menjaga persatuan dan persaudaraan. Di antaranya hadits “Sesungguhnya Allah tidak mengumpulkan umatku di atas kesesatan. Tangan Allah di atas jamaah”; “Kalian wajib berada dalam kelompok, dan hindarilah oleh kalian perpecahan”. Dan ayat “Dan berpegang tegulah kamu semua pada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai…” (QS. Ali Imran: 103)
Di dalam kitab Risalah Ahlissunnah Wal Jamaah, Hadratussyekh menganjurkan kepada umat muslim agar mendamaikan ketika ada konflik; menyambung tali shilaturahim; berbuat baik dan menghormati tetangga, sahabat dan kerabat; menghormati yang tua dan menyayangi yang lebih muda; melarang permusuhan, saling membenci, saling mencaci, saling memaki, memutus tali shilaturahim, iri hati, perpecahan, dan mempermainkan agama.
Karena itu, para ulama NU merumuskan tiga persaudaraan yang wajib dijaga, yaitu; ukhuwah Islamiyah (persaudaraan antar umat Islam), ukhuwah wathaniyah (persaudaraan antar rakyat sebangsa dan setanah air), dan ukhuwah insaniyah (persaudaraan antar umat manusia).[]