Konteks Historis Kitab Bidayat al-Mujtahid [Bag. II]

Konteks Historis Kitab Bidayat al-Mujtahid [Bag. II]

Konteks Historis Kitab Bidayat al-Mujtahid [Bag. II]

Abu al-Walīd Muhammad Ibn Ahmad Ibn Rusyd lahir di Cordoba pada tahun 520 H/1126 M. Keluarganya berasal dari kalangan aristokrat dan ulama penganut madzhab Malikiyah. Kakek dan ayahnya adalah hakim agung Cordoba pada era Dinasti Murabitin. Pada tahun 563 H, Abu Ya’qub Yusuf bin Abd al-Mu’min bin Ali, khalifah Dinasti Muwahidin, mengangkat Ibn Rusyd menjadi hakim agung Cordoba setelah dua tahun menjabat sebagai hakim di Sevilla. Guru-guru Ibn Rusyd yang paling berjasa atas kesuksesannya dalam menempuh karir sebagai hakim adalah pakar-pakar fikih Andalusia, seperti Abu Qasim bin Bisykawal, Abu Marwan bin Masarah, Abu Bakar bin Samhun, Abu Bakar bin Abd al-Aziz, dan lain-lain.

Selain memiliki kemampuan yang luar biasa dalam fikih, Ibn Rusyd pun menguasai filsafat, teologi, mantiq (logic), psikologi, politik, teori musik Arab, kedokteran, astronomi, geografi, matematika, fisika, dan mekanika benda langit (celestial mechanics). Singkat kata, Ibn Rusyd adalah seorang “polymath”, yakni pemikir yang komplit. Kepakaran multidisipliner inilah yang menempatkannya sebagai intelektual terpandang di mata Amir Dinasti Muwahidin, yakni Abi Ya’qub Yusuf bin Abd al-Mu’min bin Ali. Menurut Ernest Renan, jumlah karya Ibn Rusyd mencapai tujuh puluh delapan judul, dengan rincian tiga puluh sembilan judul tentang filsafat, lima tentang ilmu kalam, delapan tentang fikih, empat tentang ilmu falak, matematika, dan astronomi, dua tentang nahwu dan sastra, serta dua puluh judul tentang kedokteran.

Sebelum Bidayat al-Mujtahid ditulis, sebagai seorang cerdik-cendekia Ibn Rusyd menyadari betul dinamika intelektual pada masanya yang didominasi oleh kemandegan pemikiran (stagnansi). Stagnansi umat Islam sangatlah akut, hingga revolusi Ibn Tumart pun tak sepenuhnya mampu membendung. Stagnansi ini diperparah, atau mungkin diakibatkan, oleh mengendurnya kekuatan politik dinasti-dinasti Islam. Abasyiah melemah seiring munculnya hegemoni Saljukiyah dan Buwaihiyah. Fatimiyah terpecah belah akibat konflik internal. Sedangkan Andalusia tidak seutuhnya bersatu pasca era perpecahan muluk al-thawaif. Melemahnya kekuasaan sebuah pemerintahan sama artinya dengan melemahnya dukungan penguasa terhadap kreativitas para ulama.

Era stagnansi ini ditandai dengan munculnya asumsi-asumsi dogmatis bahwa capaian para fuqaha klasik telah sempurna sehingga tidak butuh pembaharuan pemikiran. Asumsi ini kemudian menjadi jargon kaum pembebek (muqallidin) yang digubah dalam syair, “wa kullu khairin fi ittiba’i man salaf wa kullu syarrin fi ittiba’i man khalaf”. Syair ini menyatakan bahwa “kebaikan hanya ada dalam sikap membebek pada para pendahulu dan kejelekan ada dalam sikap membebek pada generasi belakangan”. Generasi pendahulu (salaf) dianggap sebagai pemegang kebaikan dan kebenaran, sementara generasi belakangan (khalaf) sebagai penyebab keburukan dan kesesatan. Inilah logika kaum konservatif era skolastik yang terlalu mensakralkan para pendahulu (taqdis al-salaf). Stagnansi pemikiran, terutama dalam bidang fikih, menurut Ignaz Goldziher dapat dilihat dari corak aktivitas intelektual yang berkutat dalam tradisi komentar terhadap karya pendahulu (syarh). Kenneth E. Nollin menyebut karya-karya pada masa ini sebagai “corpus of conservative tradisionalism”.
Banyak faktor yang menyebabkan stagnansi, antara lain: pertama, ditutupnya pintu ijtihad oleh ulama konservatif yang berimbas pada pemasungan kebebasan intelektual; kedua, kodifikasi pendapat-pendapat ulama klasik pada masa Abbasiyyah. Pasca kodifikasi, generasi sesudahnya merasa cukup pada produk-produk hukum lama dengan cara merujuknya. Dengan demikian menjadi minim dorongan untuk berinovasi; ketiga, fanatisme bermadzhab yang mengakibatkan keterjebakan para ulama dalam pembelaan terhadap madzhab masing-masing. Konsekuensinya, aktivitas intelektual hanya dikerangkakan untuk membenarkan madzhabnya sendiri dan menyalahkan madzhab lain. Oleh sebab itu, pada era ini banyak kajian yang tidak obyektif. Produk intelektual kalangan ini dicirikan oleh ketundukan pada pendahulu tanpa kritisisme. Para pendahulu terlalu dikuduskan, sehingga yang terjadi adalah semacam sikap “pemberhalaan” terhadap kitab-kitab fikih karya pendahulu. Untuk mendeskripsikan fenomena stagnansi pada masanya, Ibn Rusyd berkata,“Di sini ada golongan orang awam dan fuqaha. Golongan awam adalah pembebek. Perbedaan mereka dengan fuqaha adalah bahwa fuqaha menghapalkan pendapat-pendapat para mujtahid kemudian mengabarkan kepada orang awam. Jadi tingkatan fuqaha hanyalah penukil. Fuqaha kadang keterlaluan menganalogikan problematika baru—yang tidak ditemukan dalam kitab-kitab induk—dengan pendapat-pendapat para mujtahid. Dengan demikian, mereka telah memposisikan pendapat pendahulu sebagai sumber hukum (ashal). Ini adalah bid’ah dan kesesatan”.  Menyaksikan fenomena tersebut, Ibn Rusyd merasa prihatin dan segera meresponnya dengan menulis karya Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid sejak tahun 564 hingga 565 H, kecuali bab Haji yang selesai ditulis dua puluh tahun kemudian, tepatnya pada hari Rabu, 9 Jumadil Ula, 584 H/1188 M. Karya ini diproyeksikan untuk mendobrak kemapanan, mengkritik ortodoksi fuqaha, dan menggerakkan kejumudan fikih dengan cara membuka pintu ijtihad, sebagaimana yang diungkapkan oleh Khan Nyazee, asisten profesor di International University, Islamabad, selaku penerjemah Bidayat al-Mujtahid ke bahasa Inggris. Untuk memperjelas tujuan penulisan karyanya, Ibn Rusyd menulis, “Tujuanku dalam kitab ini adalah menjelaskan masalah-masalah yang disepakati dan atau diperdebatkan oleh fuqaha dengan menguraikan rahasia-rahasia perdebatan itu secara metodologis”. “Kitab ini aku tulis agar seorang peminat fikih mencapai tingkatan mujtahid”

Filsafat Fikih dan Fikih Komparatif Averroisme

Bidayat al-Mujtahid merupakan kitab fikih terbaik yang menganalisis secara metodologis perbedaan pendapat para pakar hukum sejak era sahabat hingga era stagnansi fikih. Perbedaan fuqaha dalam masalah-masalah fikih didiagnosis dengan cara menelusuri tendensi hukum dan dasar argumentasi masing-masing madzhab. Dalil al-Quran dan hadits beserta metodologi masing-masing madzhab diuraikan dengan sistematis. Dengan metode ini, disengaja atau tidak, sejatinya Ibn Rusyd tengah membangun disiplin ilmu baru yang disebut dengan “filsafat fikih”. Filsafat fikih pada era kontemporer ini menjadi diskursus yang hangat dibicarakan oleh para pemikir Syiah Iran. Abd al-Jabbar al-Rifa’i, salah seorang sarjana Syiah Iran yang ikut berkontribusi membangun proyek ilmu filsafat fikih, mengatakan bahwa filsafat fikih merupakan “ilmu yang berfungsi menggali secara arkeologis terhadap epistemologi fikih dengan tujuan menguak konstruksi internal fikih serta pondasi-pondasi formulasi hukum”.

Dengan pendekatan filosofis terhadap perdebatan fikih, Ibn Rusyd berhasil mengkomparasikan perbedaan lintas madzhab sekaligus perbedaan metode hermeneutik yang digunakan oleh fuqaha dalam menelurkan suatu hukum. Dari sanalah Ibn Rusyd mampu mengidentifikasi muara dan sebab-sebab perbedaan (asbab al-ikhtilaf). Metode analisis-filosofis ini disebut dengan istilah “ilm al-khilaf” atau “the knowledge of variant ruling”, sebuah disiplin ilmu yang berfungsi merekam jejak perdebatan para pakar hukum. Ilmu ini sangat penting dikuasai oleh peminat fikih, sebab seperti kata N. J. Coulson, “the person who does not understand divergence in doctrine, it runs, has not caught the true scent of jurisprudence”, barang siapa yang tidak mengetahui perbedaan pendapat fuqaha maka ia tak akan bisa mencium bau wangi fikih.

Ilmu ini pantas disebut sebagai filsafat fikih dan penamaan ini tidak akan bermasalah, sebab kata Ahmad bin Hanbal, pendiri madzhab Hanbaliyah, “Imam Syafi’i adalah filosof dalam empat disiplin ilmu; linguistika, peta perbedaan pendapat (ikhtilaf al-nas), ma’ani, dan fikih”. Fakhrudin al-Razi (w. 606 H) bahkan menyetarakan al-Syafi’i dengan Aristoteles dalam ilmu logika. Dengan demikian menjadi gamblang bahwa jika ada pakar fikih yang menguasai veris-versi pendapat lintas madzhab beserta metodologi ushul fikihnya, maka ia pantas disebut sebagai filosofnya para fuqaha. Nah, oleh sebab itu, tidak berlebihan apabila kita menyebut al-Syafi’i sebagai filosofnya para fuqaha, sedangkan Ibn Rusyd adalah filosofnya para fuqaha sekaligus ahli fikihnya para filosof sebab ia menguasai filsafat sekaligus fikih, sementara al-Syafi’i hanya membidangi fikih saja.

Ilm al-khilaf dicirikan dengan karakteristik “kritis-filosofis” sebab dalam prakteknya ia memaparkan kontradiksi dan kontroversi fuqaha beserta pondasi penalaran argumentasi mereka seraya menguji akurasi dan validitasnya. Karakteristik kritis inilah yang menjadi daya tarik bagi Ibn Rusyd sebab sesuai dengan kecenderungannya yang menjunjung tinggi rasionalitas dan kritisisme. Pada era modern ini, ilm al-khilaf lebih dikenal dengan istilah “fikih komparatif” (fiqh al-muqaran). Ilmu ini bukan hal yang baru dalam tradisi Islam. Sebelum Ibn Rusyd menulis Bidayat al-Mujtahid, para ulama dari pelbagai madzhab telah menulis karya-karya dalam bidang ini. Namun, seperti apa yang akan kita lihat nanti, karya Ibn Rusyd memiliki ciri khas dan mampu melampaui kualitas karya-karya sebelumnya.
Ibn Khaldun dalam Muqaddimah-nya mencatat bahwa ulama yang paling banyak menulis karya-karya fikih komparatif adalah ulama rasionalis Hanafiyah dan Syafi’iyah. Hal ini berbeda dengan ulama madzhab Malikiyah yang inklinasinya lebih pada fikih transmisional (fiqh al-atsar) sehingga kurang produktif dan inovatif. Namun pada periode selanjutnya, ulama Malikiyah seperti Abu al-Walid al-Baji (w. 474 H) dan Abu Bakar bin al-Arabi (w. 543 H) menulis fikih komparatif setelah mereka melakukan ekspedisi intelektual ke Timur Islam dan berguru pada ulama Hanafiyah. Dengan demikian Ibn Rusyd bukanlah perintis fikih komparatif. Nah, jika Ibn Rusyd bukan pioner dalam bidang fikih komparatif, maka sejauh mana pengaruh pendahulunya terhadap Ibn Rusyd?

Farah Antun, seorang pemikir Kristen Libanon, berpendapat bahwa Ibn Rusyd terpengaruh oleh fatwa-fatwa kakeknya yang dikodifikasikan dalam kitab al-Bayan wa al-Tahshil lima fi al-Mustakhrajah min al-Tawajuh wa Ta’lil (sekarang manuskripnya terdapat di Spanyol dan Paris). Menurut Hamadi Ubaydi, pendapat Farah Antun ini patut diragukan sebab fatwa-fatwa kakeknya hanya berkutat pada fikih Malikiyah sedangkan Ibn Rusyd tidak terkungkung pada satu madzhab. Ada asumsi-asumsi lain yang mencurigai Bidayat al-Mujtahid terpengaruh oleh al-Isyraf ‘ala Masail al-Khilaf karya Abd al-Wahab al-Baghdadi al-Maliki (w. 422 H), al-Muhalla karya Ibn Hazm (w. 546 H.), al-Wajiz karya al-Ghazali, al-Mughni karya Ibn Qudamah al-Hanbali, dan lain-lain. Asumsi-asumsi ini akan terpatahkan jika kita membaca dan mengkomparasikan karya-karya tersebut. Ibn Rusyd, sepanjang pengamatan penulis, memiliki ciri khas yang tak dimiliki oleh ulama-ulama lainnya, sebab Ibn Rusyd melihat fikih tidak hanya dari satu perspektif legal formal, melainkan dari kacamata multidisipliner sesuai bidang-bidang yang dikuasainya. Meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan Ibn Rusyd mengumpulkan materi-materi kompilasi pendapat fuqaha lintas madzhab dari karya-karya pendahulunya. Hal ini adalah manusiawi sebab tidak ada seorang ilmuan kecuali ia berdiri di atas bahu para raksasa sebelumnya. [Bersambung]