Ketika Ibn Rusyd Al-Hafiz Berbicara Tentang Kewajiban Wudlu

Ketika Ibn Rusyd Al-Hafiz Berbicara Tentang Kewajiban Wudlu

Ketika Ibn Rusyd Al-Hafiz Berbicara Tentang Kewajiban Wudlu

Ibnu Rusyd Al-Hafiz, selain dikenal sebagai penyanggah Al-Ghazali, juga dikenal sebagai seorang ahli Fikih. Satu dari sekian karya Ibn Rusyd yang mencerminkan hal tersebut adalah karyanya Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtasid. Thaha Abdurrauf Sa’ad berpendapat bahwa mutu Bidayatul Mujtahid karya Ibn Rusyd Al-Hafiz, baik secara metodologis maupun jangkauan kelengkapan pembahasan tidak tertandingi oleh karya lain dalam disiplin ilmu yang sama. Dalam kitab yang tak tertandingi itulah Ibn Rusyd Al-Hafiz berbicara tentang kewajiban wudlu.

Secara umum, wudlu merupakan bagian dari tata cara bersuci atau taharah dalam Islam. Para ulama sepakat, bahwa wudlu dapat menjadi salah satu cara bersuci dari hadas, selain mandi janabat, dan tayamum. Tidak terkecuali dengan Ibn Rusyd Al-Hafiz. Ketika Ibn Rusyd Al-Hafiz berbicara tentang kewajiban wudlu, sekurang-kurangnya memaparkan satu ayat Alquran dan tiga hadis ketika berbicara tentang kewajiban wudlu. Termasuk didalamnya adalah pembahasan mengenai orang yang wajib wudlu dan waktu diwajibkannya wudlu.

Dalil Diwajibkannya Wudlu

Bagi Ibnu Rusyd Al-Hafiz, secara umum dalil-dalil yang menunjukkan diwajibkannya wudu adalah ayat-ayat Alquran, hadis, dan ijmak. Para ulama sepaka, bahwa melaksanakan perintah wudlu merupakan kewajiban bagi orang yang hendak melaksanakan shalat. Hal tersebut sebagaimana firman Allah SWT dalam Q.S. Al-Maidah ayat keenam.

“Hai orang-orang yang beriman, jika kalian hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah muka dan tangan kalian sampai dengan siku dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki” (Q.S. Al-Maidah: 6).

Selain itu, sebagaimana dijelaskan oleh Ibn Rusyd Al-Hafiz, penegasan tentang kewajiban melaksanakan wudlu juga tertuang dalam dua hadis Nabi SAW. Tepatnya hadis riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim. Dalam dua hadis tersebut dijelaskan bahwa Allah tidak menerima shalat seseroang tanpa bersuci dan sedekah dari harta yang diperoleh dari pengkhianatan (ghalul) dan tidak sah shalat seseorang yang berhadas hingga ia bersuci.

Menurut Ibn Rusyd Al-Hafiz, ijmak menyebutkan bahwa di antara para ulama tidak terjadi perselisihan pendapat dalam persoalan tersebut.

Siapa Yang Memiliki Kewajiban Wudlu?

Menurut Ibn Rusyd Al-Hafiz, wudlu diwajibkan bagi orang yang sudah baligh dan berakal. Ketentuan tersebut telah ditentukan dalam hadis dan ijmak. Dasar hadis dari ketentuan tersebut, sebagaimana dipaparkan Ibn Rusyd Al-Hafiz adalah hadis riwayat Imam Bukhari dan Abu Dawud. Dalam hadis tersebut dikatakan bahwa beban ibadah dibebaskan dari tiga kelompok. Lalu Nabi SAW menyebut anak kecil hingga bermimpi (baligh), orang tidur sampai bangun, dan orang gila hingga sadarkan diri.

Sedang dasar ijmak dalam persoalan wudlu diwajibkan bagi orang yang sudah baligh dan berakal, menurut Ibn Rusyd Al-Hafiz tidak terjadi perbedaan. Menurut Ibn Rusyd Al-Hafiz, yang terdapat perbedaan dari Ijmak para ulama fikih dalam hal siapa yang diwajibkan wudlu adalah apakah Islam menjadi syarat wajibnya wudlu atau tidak.

Hanya saja, bagi Ibn Rusyd Al-Hafiz mempermasalahkan Islam sebagai syarat wajibnya wudu atau tidak kurang bermanfaat dalam Ilmu Fikih karena persoalan Islam lebih termasuk ke dalam bidang keimanan atau ukhrawi.

Kapan Waktu Diwajibkannya Wudlu?

Menurut Ibn Rusyd waktu diwajibkanya wudlu adalah ketika waktu shalat telah tiba atau ketika orang Islam menghendaki ibadah yang diwajibkan bersuci (wudlu), meski ibadah tersebut tidak berkaitan dengan waktu. Wudlu menjadi wajib dilakukan ketika waktu shalat tiba bagi orang yang berhadas. Dasar dari pendapat tersebut adalah Q.S. Al-Maidah ayat keenam. Wudlu menjadi wajib ketika waktu shalat tiba karena di antara syarat shalat adalah telah masuk waktu shalat.

Wudlu dapat menjadi wajib meski suatu ibadah yang tidak berkaitan dengan waktu pada dasarnya merupakan persoalan mengenai apakah bersuci merupakan suatu keharusan dalam melakukan suatu hal ata tidak. Seperti misalnya menyentuh mushaf Alquran dan sebagainya.

Menurut Ibn Rusyd Al-Hafiz sendiri, setidaknya ada lima masalah berkaitan dengan taharah tersebut yakni kaitannya dengan menyentuh mushaf, kaitannya dengan keadaan junub, tawaf, dan membaca Alquran dan zikir. Berdasarkan pemaparan panjang Ibn Rusyd Al-Hafiz dalam Bidayatul Mujtahid, para ulama berbeda pendapat terkait persoalan tersebut. Perbedaan pendapat tersebut utamanya dikarenakan perbedaan mengenai penafsiran suatu ayat Alquran dan hadis Nabi SAW.

Wallahu a’lam