Apa sih elit global itu? Siapa saja mereka? Mengapa mereka iseng sekali bikin virus Corona?
Saya penasaran dan mencoba mencari tahu jawaban atas tiga pertanyaan tersebut di mesin pencarian Google. Hasilnya mencengangkan. Tapi intinya begini, jawaban dari ketiga pertanyaan itu bisa dirangkum menjadi begini: sia-sia!!!
Meski begitu, saya lalu menyadari satu hal, bahwa elit global bisa dibilang semacam berhala yang dikambinghitamkan sedemikian rupa oleh penganut teori konspirasi dalam rangka mencari sidatan. Istilah lainnya ngeles. Situasi ini kira-kira serupa dengan Nabi Ibrahim yang menuduh berhala terbesar sebagai penghancur berhala-berhala yang lebih kecil, sewaktu menghadapi OTT Raja Namrud.
Kalau begitu, para penganut teori konspirasi berniat baik dong?
Belum tentu. Antara Nabi Ibrahim dengan penganut teori konspirasi memiliki kontras yang tajam.
Nabi Ibrahim ngeles dalam rangka melontarkan sebuah satire: “bahwa, mana mungkin seonggok pahatan batu yang tidak bisa bergerak bisa kalian puja-puja?” begitu kira-kira pesan yang ingin disampaikan.
Sementara, ngeles-nya penganut teori konspirasi itu adalah kelewat murni. Mereka tidak sedang melontarkan sebuah satire. Sebaliknya, yang sedang diselebrasikan adalah sebuah keterputusasaan sikap dalam menjustifikasi sebuah kebenaran semu.
Ini sama halnya ketika seorang penganut konspirasi mengatakan dengan mantap bahwa “bumi itu datar”. Anda tidak perlu buang-buang energi mendengar paparan Young Lex (selanjutnya disebut YL) dalam podcast Dedi Corbuzier, karena sebentar lagi akan saya beri spoiler-nya.
Ya, dalam podcast itu YL mengatakan bahwa salah satu bukti “bumi itu datar” adalah ketika dia naik pesawat, yang disaksikan adalah hamparan tanah, dan bukan kebulatan bumi.
Rupanya, pengalaman naik pesawat bisa menjadi buki empiris dalam menentukan suatu pengetahuan.
Saya lalu berpikir, bagaimana perasaan ilmuan Muslim sekaliber, umpamanya, Nashiruddin at-Thusi dan Ibnu Shatir yang telah menghabiskan waktu serta energi bertahun-tahun lamanya untuk merenungi alam semesta sehingga menemukan teori “bumi mengelilingi matahari”, lalu dipecundangi begitu saja oleh seorang yang oleh Ridwan Remin disebut sebagai “rapper bukan, vlogger juga bukan”?
Tentu saja, Anda boleh bilang kalau YL cuma mengikuti apa yang telah dia pelajari dari portal bumi datar, atau sekurang-kurangnya telah menonton berepisode-episode serial flat earth. Tapi, ya gimana ya. Nganu ee…
Gini aja. Hampir semua kita pasti pernah menyaksikan pertunjukan sulap. Sadar atau tidak, dalam sulap Anda sebetulnya tidak benar-benar sedang melihat, misalnya, seorang relawan dipotong-potong bagian tubuhnya, atau seekor burung merpati keluar dari topi yang (seolah) kosong.
Sebaliknya, itu semua adalah murni trik yang potensial menipu mata semua kita. Demikian halnya ketika Anda yang sedang naik pesawat, nihilnya panorama bumi bulat dari dalam pesawat, bagi saya, adalah bukti bahwa mata kita sedang menunjukkan keterbatasannya. Sesederhana itu.
Kembali ke elit global. Siapa aja sih mereka?
Sejauh ini, resonansi yang terus berdengung adalah, katakanlah, elit global terdiri dari segelintir orang yang adikuasa di seantero dunia. Mereka kaya. Mereka menguasai dunia. Mereka diduga mendikte media-media. Dan, mereka bahkan dipercaya sebagai dalang di balik sejumlah tragedi yang terjadi di dunia. Yang terakhir ini saya sadur dari, ekhm, Jering, eh Jaring, duh gimana sih spelling-nya, pokoknya JRX.
Bagi saya, narasi elit global itu tidak lebih dari sekadar bualan belaka. Bayangkan, keterangan bahwa “elit global dihuni oleh segelintir orang yang adikuasa” saja itu sudah menyalahi hukum alam.
Namanya segelintir itu pasti lebih dari satu. Dan, konon, yang segelintir itu dipercaya sebagai adikuasa.
Masalahnya adalah begini: tidakkah kita berpikir bahwa tiap orang itu pasti memiliki interest yang berbeda? Maka dari itu ada yang dinamakan conflict of interest, bukan? Apakah sampai di sini jelas?
Lebih-lebih, yang segelintir itu dipercaya sebagai sama-sama kuasa, sama-sama super-power, dan sama-sama kaya, pastilah gesekan yang terjadi satu sama lain bakalan dahsyat. Karena dahsyat maka besar kemungkinan terdapat musuh dalam selimut, atau minimal terjadi perpecahan. Yah, kecuali kalau elit global itu terdiri dari bukan manusia, atau minimal seperti Gorosei yang ada dalam dunia One Piece.
Ini semua, sekali lagi, adalah tentang power, authority, dan interest yang berbeda-beda. Pernahkah Anda melihat Matahari lebih dari satu? Ya, itu adalah pusat perbelanjaan.
Lalu, mengapa sih elit global itu iseng banget bikin warga dunia meradang lewat Covid-19?
Nah, untuk yang satu ini, saya tidak benar-benar mengimani bahwa mereka ada di balik pandemi ini. Atau, kalaupun benar demikian yang terjadi, maka saya penasaran sekali dan ingin menanyakan kepada stafsuf milenial elit global, begini:
“Sebagai efek domino Covid-19, apakah derasnya fenomena ngaji online termasuk dalam hitungan matematis Anda?”
Akhir kalam, kalau ada yang meyakini bahwa pandemi ini adalah konspirasi elit global, ya itu sah-sah saja. Yang jelas, pastilah mereka itu belum pernah nonton film extraction. “ No matter how badass you think you are, there is always a badass who’s bigger than you,” begitu kira-kira seorang bandit berpesan.
Dengan kata lain, sehebat-hebatnya elit global pastilah mereka bakal tunduk pada satu kekuatan, ntah apa itu namanya. Lagi pula, yang namanya dalang itu pasti akan menunjukkan keterampilannya kalau memang ada yang mengizinkan dirinya pentas.
Persoalannya, siapakah yang berwenang memberi izin? Tentu ini adalah lain soal dan lain bahasan.