Dalam kasus yang sebenarnya tidak terlalu baru, bahkan mungkin sebagian dari kita bosan memperdebatkan persoalan tahunan seperti ucapan selamat Natal ini, kita bisa menyaksikan bagaimana konservatisme pemahaman keagamaan sebagian umat Islam terus menguat di ruang publik. Terlebih di ruang media sosial yang dimana kita bisa melihat bagaimana cara mereka mengekspresikan pemahaman keagamaannya.
Dalam persoalan tersebut, saya sedikit mengernyitkan dahi ketika seorang ulama ahli agama kenamaan, Habib Ali Al-Jifri salah satu murid kesayangan Habib Umar bin Hafidz, dicaci maki bahkan dilaknat karena telah mengucapkan selamat Natal kepada sahabat-sahabat umat Kristianinya. Padahal sudah sejak tahun 2014 beliau telah menuliskan argumentasinya atas pendapat dan sikapnya dalam mengucapkan selamat Natal. Bahkan dalam tulisan tersebut secara tegas dinyatakan bahwa persoalan hukum mengucapkan selamat Natal kepada umat Kristiani adalah sesuatu yang diperselisihkan. Siapa pun boleh untuk memilih pendapat yang menurutnya layak diikuti. Namun, entah mengapa tulisan-tulisan argumentatif sekalipun tetap tidak bisa dipahami dan direnungi oleh kelompok konservatif tersebut.
Mengguritanya Konservatisme dan Laknatisme
Akhir-akhir ini banyak kekhawatiran yang muncul atas nasib masa depan Islam moderat. Kekhawatiran ini datang tidak secara tiba-tiba. Ada beberapa kejadian yang melatarbelakanginya. Salah satunya adalah menguatnya gejala konservatisme yang diekspresikan oleh sebagian umat Islam di berbagai belahan dunia, tak terkecuali di Indonesia sendiri.
Di belahan dunia Arab secara umum, kita bisa melihat dari ‘reply’ twit-annya Habib Ali Al-Jifri dan juga Syekh Abdullah bin Bayyah dalam persoalan ucapan selamat natal. Tokoh Islam yang disebut terakhir ini merupakan seorang mufti yang memiliki kapasitas pengetahuan lintas Madzhab fikih yang luas. Meski demikian, tetap saja di mata kalangan konservatif mungkin tetap tidak dianggap layak. Alih-alih menghormatinya, malah justru dicemooh.
Konservatisme dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai paham politik yang ingin mempertahankan tradisi dan stabilitas sosial, melestarikan pranata yang sudah ada, menghendaki perkembangan setapak demi setapak, serta menentang perubahan yang radikal. Sementara dalam konteks keagamaan, Martin van Bruinessen mengartikannya sebagai berbagai aliran pemikiran yang menolak penafsiran ulang atas ajaran-ajaran Islam secara liberal dan progresif, dan cenderung untuk mempertahankan tafsir dan sistem sosial yang baku” (2013: 16).
Martin (2013: 16-17) juga membedakan Islam konservatif dari Islam fundamentalis, yakni gerakan atau aliran yang mengajak kembali kepada sumber ajaran Islam yang mendasar, yakni Alquran dan hadis. Gerakan konservatif juga berbeda dari gerakan “Islamis” yang didefinisikan sebagai gerakan yang mendukung gagasan Islam sebagai sebuah sistem politik dan berjuang untuk mendirikan negara Islam.
Dari sini dapat dipahami bahwa konservatisme paham keagamaan (Islam) adalah sebuah paham yang rigid dan kaku dalam memahami teks-teks keagamaan di satu sisi, sekaligus menolak adanya perubahan-perubahan dalam penafsiran di sisi lain. Jika demikian, maka tidaklah salah bila sebagian orang mengatakan bahwa kelompok konservatif dalam Islam sudah ada sejak dahulu kala dan dinisbatkan kepada kelompok khawarij.
Isom Anas Al-Zaftawi, sekretaris Lembaga Fatwa Dar Ifta Mesir dalam sebuah tulisannya berjudul Ar-radd ‘ala al-Fikr al-Mutasyaddid Mihwar al-‘Aqidah (menolak pemikiran konservatisme teologis) yang dibukukan secara antologis dalam buku lima jilid tebal bertajuk Ar-Radd ‘Ala Khawarij al-‘Ashr (menolak pemikiran neo-khawarij) mengatakan bahwa pemikiran konservatif Islam di masa sekarang secara umum bermula dari gerakan puritanisme yang digaungkan oleh Muhammad bin Abdul Wahab.
Yang lebih mengkhawatirkan lagi adalah bukan hanya sikap ‘ngotot’ merasa yang paling benar yang ditunjukkan kelompok konservatif ini, melainkan bahwa mereka melakukan pengkafiran dan pelaknatan kepada yang berbeda dengannya. Bahkan mereka dengan mudahnya mengumbar kata-kata kotor yang dilayangkan kepada siapa pun yang berbeda dengannya.
Kekhawatiran atas semakin menguatnya gejala konservatisme pemahaman keagamaan seperti ini diperparah oleh kondisi sosial-politik. Mereka entah secara sadar atau tidak sadar kemudian ‘dimanfaatkan’ oleh sekelompok orang untuk tujuan-tujuan politik dan kekuasaan yang ingin direngkuhnya.
Perbedaan Sebagai Rahmat
Perbedaan adalah sunnatullah alias keniscayaan. Sesuatu yang tidak bisa ditolak. Dalam literatur fikih dapat dengan mudah kita temui perbedaan pendapat antar satu madzhab dengan madzhab lainnya. Bahkan dalam satu madzhab sekalipun para ulama kerap kali berbeda pendapat dalam menyikapi sebuah masalah yang mencoba dijawabnya.
Imam As-Suyuthi dalam kitab kaidah fikihnya mengutarakan sebuah kaidah fikih yang berbunyi: la yunkaru ‘ala al-mukhtalaf fihi, walakin la yunkaru ‘ala al-mujma’ ‘alaihi (sesuatu yang diperselisihkan di antara ulama tidak bisa kita ingkari, pun juga sesuatu yang disepakati oleh mereka tidak bisa kita selisihi). Kaidah ini hendak kemudian ditegaskan dengan sebuah ungkapan, “kesepakatan (ijma’) para ulama adalah sesuatu yang pasti (qath’i) dan perselisihan pendapat di antara mereka adalah rahmat”. Bahkan Umar bin Abdul Aziz konon pernah menyatakan, “sesuatu yang memudahkan bagi saya adalah bahwa ketika para sahabat Nabi tidak berbeda pendapat maka tidak ada satu pun sahabat yang menyelisihinya. Sebaliknya, ketika mereka berbeda pendapat maka seseorang ada yang mengikuti pendapat ini dan yang lain mengikuti pendapat itu. Hal ini tidak lain merupakan sebuah keluasan (dan keleluasaan dalam Islam).
Isom Anas Al-Zaftawi menyitir sebuah ungkapan dari salah satu imam mazhab yang secara arif mengatakan: Tidak bijak seorang ahli fikih memaksa orang lain untuk mengikuti madzhab (pendapat)-nya.
Ironisnya, sebagian umat Islam yang terjebak dalam kubangan pemahaman keagamaan yang konservatif ini, yang mungkin jika diriset secara serius mayoritasnya adalah orang-orang yang tidak memahami ajaran agama secara mendalam. Kemudian secara tiba-tiba mendadak menjadi ‘hakim’ yang menghakimi dan menyalahkan orang-orang yang berbeda dengan pemahaman keagamaannya. Bahkan sumpah serapah dan laknat pun dapat dengan mudah keluar dari lisan mereka.
Sekali lagi, konservatisme dan laknatisme (kelompok yang sering melaknat orang lain yang berbeda) ini merupakan gejala yang sedang melanda dunia muslim. Sesuatu yang harus kita ‘lawan’ bersama-sama. Tentunya dengan melawan propaganda dan wacana yang digulirkan mereka.