
Sebagai bentuk introspeksi diri di bulan terakhir di tahun 2024, ada banyak masyarakat Muslim Indonesia yang cenderung menyia-nyiakan waktu, yang mungkin juga sebagian kita/anggota keluarga/sejawat kita. Menurut survei dari We Are Social (2024), masyarakat Indonesia rata-rata menghabiskan 3 jam 11 menit untuk media sosial, 2 jam 41 menit untuk menonton, dan 1 jam 31 menit untuk mendengarkan musik dalam setiap harinya. Sementara sisanya habis untuk aktivitas hiburan lainnya. Ini belum ditambah menghabiskan waktu dengan terlalu banyak tidur, bahkan ada yang lebih dari 8 jam per hari. Maka, mayoritas mahasiswa di Indonesia pun –saat tidak sedang kuliah– tidak atau hanya membaca sebentar saja. Ini artinya, minimal sepertiga hari atau lebih digunakan kaum Muslimin di Indonesia dengan membuang-buang waktu yang tak produktif. Padahal, dalam pepatah Arab yang terkenal di Indonesia disebut: “al-waqtu kas-saif in lam taqṭha‘hu qaṭha‘ak” (waktu bagaikan pedang. Jika engkau tidak memotong/menggunakannya, maka ia akan memotong/membunuhmu). Paling tidak, waktu akan meninggalkan kita bersama penyesalan.
Konsep Waktu dalam Islam
Dalam Islam, waktu adalah anugerah yang sangat berharga yang harus dimanfaatkan dengan baik, karena setiap hari yang baru adalah makhluk Allah yang baru juga. Hari ini adalah hari yang berbeda dengan hari kemarin, dan hari yang sama di hari ini berbeda dengan hari yang sama di minggu lalu. QS. al-‘Ashr: 103 yang terkenal, yang menjadi hafalan anak kecil Muslim dan sering dibaca imam saat salat wajib memperlihatkan hal itu. Surah itu berbunyi: “Demi waktu Ashar. Sesungguhnya semua manusia berada dalam kerugian. Kecuali, orang-orang yang beriman, beramal baik (bekerja dengan pekerjaan yang baik), saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran”. Berdasarkan surah ini, Nurcholish Madjid, intelektual Muslim Indonesia masa Orde Baru, menyimpulkan bahwa moto seorang Muslim yang harus dirujuk adalah: “Saya bekerja saya ada”, selain melakukan “check and balance” (amar ma’ruf nahyi munkar). Keberadaan seorang Muslim terutama ditentukan oleh kerja untuk kebaikan dan kebenaran.
Karenanya, seorang Muslim yang baik harus memandang waktu sebagai amanah, titipan Allah yang harus dijaga, harus digunakan secara akuntabel. Waktu adalah amanah yang Allah berikan kepada manusia. Sebagaimana amanah pada umumnya, waktu harus dijaga, dimanfaatkan, dan dipertanggungjawabkan, sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Ahzab/33: 72):
“Sesungguhnya Kami (Allah) telah menawarkan amanah kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, tetapi semuanya enggan untuk memikulnya. Mereka khawatir tidak akan mampu melaksanakannya. Lalu, amanah itu dipikul oleh manusia. Sesungguhnya, manusia itu amat zalim dan amat bodoh”.
Dalam ayat tersebut, ‘amanah’ dapat dipahami secara luas, termasuk mencakup waktu yang diberikan kepada manusia, yang harus dipertanggungjawabkan mereka. Waktu bukanlah milik kita, manusia/makhluk-Nya, melainkan milik Allah yang diamanahkan untuk digunakan demi ketaatan/kerja kemanusiaan. Rasul mengingatkan kita bahwa pada hari kiamat kelak, kita akan ditanya mengenai lima hal. Abu Barzah, sebagaimana tertuang dalam Riyad as-Salihin 407, meriwayatkan hadis bahwa umat manusia tidak akan bergeser kedua kakinya di hari akhir sebelum ditanya tentang: untuk apa umur/waktunya dihabiskan, untuk apa ilmunya diamalkan, bagaimana hartanya diperoleh dan dibelanjakan, dan bagaimana tubuhnya digunakan.
Dalam Islam, waktu juga sebagai nikmat yang berharga. Barangkali, kita sering merasa waktu berlalu begitu cepat, padahal belum banyak hal yang kita perbuat untuk kebaikan. Bila iya, maka kita sebagai manusia sudah merugi. Ibn ‘Abbas dalam Sahih Al-Bukhari 6412, pernah menyampaikan pesan nabi mengenai dua kenikmatan penting yang sering dilalaikan orang, yakni kesehatan dan waktu luang. Dalam hadis riwayat Baihaqi dari Ibnu Abbas juga Nabi bersabda: “Manfaatkanlah lima hal sebelum datang lima hal lain : Mudamu sebelum tuamu, sehatmu sebelum sakitmu, kayamu sebelum miskinmu, waktu senggangmu sebelum kesibukanmu, dan hidupmu sebelum matimu”. Hadis ini diriwayatkan juga oleh Ibn Umar dan merupakan salah satu dari hadis Arba’in an-Nawawi (40 Hadis yang dihimpun oleh Imam an-Nawawi dalam satu buku saku). Lima hal itu semuanya mengenai waktu yang diberikan kepada manusia, karena ada waktunya seorang manusia berada dalam waktu digdaya (berada di atas) dan ada waktunya dalam keadaan lemah/turun/berada di bawah. Waktu seperti dalam waktu digdaya, kadang tidak pernah bisa diputar kembali. Maka, kita harus menyukurinya.
Alih-alih menghabiskan waktu luang untuk berseluncur di media sosial tanpa arah/lainnya, kita bisa mulai belajar untuk hal-hal yang berguna buat kapasitas diri. Baik dengan belajar bahasa baru, mengembangkan bisnis, atau bersilaturahmi dengan orang-orang yang lebih berilmu. Juga harus memanfaatkan waktu untuk kebaikan, baik dengan ibadah, belajar, maupun berkontribusi pada masyarakat.
Dalam Islam, waktu juga harus dijadikan sebagai pengatur kehidupan dengan membuat jadwal kerja/agenda harian hingga tahunan. Allah adalah penguasa waktu. Dengan memberi perintah salat, Allah membantu umat Muslim mengatur waktunya dengan arif. Salat menjadi panduan yang jelas tentang bagaimana waktu seharusnya diatur. Hal ini karena waktu salat diatur berdasarkan peredaran matahari, yaitu dari terbit fajar sebagai dimulainya hari, waktu tengah hari, hingga tenggelamnya matahari. Maka, waktu salat tampak memberikan kerangka untuk bisa hidup disiplin dalam menggunakan waktu/umur.
Kecuali salat, dengan penentuan waktu untuk aktivitas ibadah lainnya juga Allah membantu umat Muslim dalam mengatur waktu dengan arif dan disiplin. Misalnya ibadah puasa di Bulan Ramadan, zakat yang harus dilakukan saat ulang tahun (haul, yang umumnya kaum Muslimin perkotaan melakukannya di bulan Ramadhan juga), dan haji di bulan Dzulqa’dah dan Dzulhijjah. Bahkan, juga peringatan awal tahun baru Islam di Bulan Muharram.
Kehidupan sehari-hari seorang Muslim sebaiknya diatur di sekitar waktu salat itu. Sebagai contoh, seorang pekerja Muslim dapat memanfaatkan waktu dari pagi, setelah salat Subuh, hingga salat Ashar untuk bekerja. Namun, di tengahnya harus dijeda Salat Zuhur untuk beristirahat sejenak dan berdoa/meminta petunjuk kepada Allah. Setelah Ashar, waktu dapat dimanfaatkan untuk melanjutkan kerja sebentar, berinteraksi dengan teman sejawat/keluarga/beraktivitas sosial. Saat waktu salat Isya tiba merupakan tanda dimulainya waktu istirahat bagi tubuh dan mental yang telah bekerja sepanjang hari. Dengan mengikuti jadwal salat lima waktu, seorang Muslim tidak hanya diatur untuk beribadah, tetapi juga dilatih untuk disiplin dengan waktu dalam kehidupan sehari-hari sesuai jadwal sebagai turunan dari visi hidup, baik visi hidup tahunan, maupun visi dasawarsa/seumur hidup.
Selain salat, ibadah lain seperti puasa Ramadan juga menunjukkan pentingnya disiplin waktu, di dalamnya ada penggunaan waktu untuk keseimbangan hidup. Dalam hidup sehari-hari sebaiknya, apalagi siang hari dalam bekerja, seorang Muslim harus dipimpin rohaninya yang disimbolkan oleh puasa. Namun, harus disiplin berbuka, memenuhi kebutuhan jasmaninya sebagai alat agar rohaninya agar bisa bekerja. Dengan disiplin dalam waktu makan saat Magrib tiba, maka itu akan membantu kesehatan lambungnya juga. Demikian juga dengan waktu sahur. Bahkan, di dalamnya ada pesan harus disiplin juga dalam membagi waktu, di mana waktu untuk mempererat hubungan dengan keluarga, anak dan istri/suami harus dialokasikan. Dengan disiplin waktu, hidup dengan penuh keseimbangan jasmani dan rohani terpenuhi yang dianjurkan Islam, bahkan ciri Islam.
Berdasarkan penjelasan di atas, jangan sampai kita menjadi penganut peribahasa “hari pagi dikejar-kejar, hari petang dibuang-buang”. Maksudnya, jangan sampai saat memiliki waktu yang luang/panjang tidak dimanfaatkan, tetapi saat waktu tinggal sedikit, baru kalang-kabut/panik mengejar deadline kerja. Hadis riwayat Ibn Umar yang terdapat dalam Shahih Bukhari mengajarkan hal itu: “Jadilah engkau di dunia ini seperti orang asing atau orang sedang dalam perjalanan.” Hadis ini menyebut waktu hidup di dunia adalah ladang investasi untuk akhirat, yang harus dijalani secara disiplin. Maka, Ibn Umar pun menasihati kaum Muslim agar tidak menunda pekerjaan pagi ke sore dan sebaliknya. Ada juga ucapan Ali bin Abi Thalib: “Orang yang hari ini lebih baik daripada hari kemarin, maka dia termasuk orang yang beruntung. Orang yang hari ini sama dengan hari kemarin, maka dia adalah orang yang merugi. Orang yang hari ini lebih jelek daripada hari kemarin, maka dia terlaknat”.
Semoga kita dimulai besok/tahun 2025 akan datang bisa mengamalkan konsep waktu di atas. Dengan begitu, konsep waktu tersebut tidak hanya sebagai gagasan semata, karena nilai suatu gagasan, bahkan keimanan, sesuai QS. al-‘Ashr di atas, berada dalam pelaksanaan/amal. Semoga hidup kita lebih berbahagia, lebih bermakna, dan meraih keridhaan Allah. Wallâh a’lam bisshawâb []
Oleh:
Sukron Kamil dan Endi Aulia Garadian
(Guru Besar dan Dosen FAH UIN Jakarta)