Tanggal 1 Juni kemarin menjadi sangat istimewa karena telah ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo melalui Keppres Nomor 24 tahun 2016 sebagai Hari Lahir Pancasila dan sekaligus diresmikan sebagai hari libur nasional. Terkait dengan peristiwa bersejarah ini, tidak ada salahnya kalau kita kembali membuka-buka arsip yang berhubungan dengan Pancasila.
Di antara literatur yang terkait dengan Pancasila, tulisan Ki Ageng Suryomentaram, filsuf nusantara abad 19, menurut saya adalah yang paling mengesankan. Karena Ki Ageng menelaahnya dari sudut rasa, sehingga makalahnya yang sepanjang 13 halaman itu pun diberinya judul Rasa Pancasila (Raos Pancasila).
Makalah dibuka Ki Ageng dengan penjelasan bahwa Pancasila adalah dasar negara kita, Indonesia, yang bersendikan atas Kedaulatan Rakyat, Kebangsaan, Prikemanusiaan, Keadilan Sosial, dan Ketuhanan. Lalu, Ki Ageng pun membahas rasa dari kelima sendi tersebut.
Pertama-tama, membangun kedaulatan rakyat, maka terlebih dahulu mesti jelas apakah yang dimaksud dengan kedaulatan. Berdaulat menurut Ki Ageng artinya tak bisa diganggu gugat (boten wonten ingkang wani-wani ganggu gawe). Karena yang hendak dibangun adalah kedaulatan rakyat supaya tidak bisa diganggu gugat, maka terlebih dahulu juga harus jelas tentang apa itu yang disebut rakyat.
Rakyat Indonesia wujudnya bisa saja orang miskin atau orang kaya. Dan bisa sebagai kaum pekerja maupun yang belum atau tidak bekerja. Menariknya menurut Ki Ageng, seluruh warga negara Indonesia tidak secara otomatis bisa dikategorikan sebagai rakyat Indonesia. Karena jika di antara warga negara Indonesia ini ada orang-orang yang melakukan kejahatan seperti perampok, pencuri, koruptor, manipulator, pembunuh, dan lain-lain yang perbuatannya mengganggu ketertiban masyarakat, negara tidak berkewajiban menjaga kedaulatannya. Penegasan Ki Ageng, “Lho, pembela kados makaten punika rak malah ngrusak negari?!” (Bukankah membela orang-orang seperti itu justru merusak negara?!).
Sebelum lebih jauh membincang tentang rakyat dalam makalahnya, Ki Ageng menyisipkan pembahasan tentang apakah yang bisa disebut sebagai manusia. Tulis Ki Ageng, “Manusia adalah benda yang memiliki rasa. Untuk benda yang memiliki rasa, rasa adalah instrumen terpenting dan paling pokok. Sedangkan benda yang tidak memiliki rasa, tak ada bagiannya yang bisa dibilang penting atau tidak penting. Karenanya, orang dalam menghargai benda-benda hanya menurut kadar manfaat terhadap rasanya. Untuk benda-benda yang tidak bermanfaat buat rasanya, bagi orang ia akan dianggap sebagai benda tak berharga. Dengan demikian, maka bisa disimpulkan bahwa manusia adalah rasa. Karena itu jika ada tubuh yang memiliki kepala, perut, dan tangan, namun tidak memiliki rasa, maka sebutannya adalah bangkai.”
Tugas utama aparat negara adalah memberantas hama rakyat
Setelah jelas bahwa yang disebut rakyat pastilah manusia, dan semua manusia tentu memiliki rasa yang sama alias raos sami, selanjutnya adalah bagaimana harus menegakkan kedaulatannya. Menegakkan kedaulatan rakyat menurut Ki Ageng adalah memberantas hamanya. Adapun yang disebut sebagai hama rakyat adalah para manusia yang menjadi pengganggu ketertiban hidup bermasyarakat dari mulai pengganggu keharmonisan orang dalam berumahtangga seperti para wanita tuna susila dan pria berhidung belang (ama laki rabi), hingga penghambat rakyat di dalam memenuhi kebutuhan hidupnya (ama pangupajiwa) seperti para pencuri, manipulator, koruptor, perampok, pembunuh, dan manusia lainnya yang sejenis dengan mereka.
Menurut Ki Ageng, karena baik manusia yang menjadi rakyat maupun yang menjadi hama rakyat sama-sama memiliki rasa, maka supaya efektif, cara yang digunakan untuk memberantas hama rakyat juga mesti menggunakan rasa. Dan rasa yang dapat digunakan untuk memberantas hama rakyat itu Ki Ageng istilahkan sebagai rasa kerakyatan.
Berikut ini adalah uraian singkatnya.
“Gerak hidup manusia selalu berdasarkan pemahaman. Rasanya, ‘Aku ini orang hidup, yang mau tidak mau harus beraktivitas. Artinya, aku harus mencukupi dua macam kebutuhan hidupku. Yakni kebutuhan lahir yang berupa makan minum semacamnya, serta kebutuhan batin yang terbingkai dalam hubungan rumahtangga. Aku juga membutuhkan kebebasan di dalam mencukupi kebutuhan hidupku dengan mandiri. Artinya, aku tidak bergantung kepada orang lain dalam mencukupi kebutuhan hidupku.’ Jika pemahaman yang seperti itu digunakan untuk merespon orang lain, maka yang terasa, ‘Orang lain juga sama sepertiku.
Secara alamiah ia juga dipaksa agar beraktivitas demi mencukupi kebutuhan hidupnya sebagaimana aku. Ia juga membutuhkan kebebasan agar dalam mencukupi kebutuhan hidupnya tidak terganggu sepertiku. Jadi bagaimanapun juga, orang lain juga memiliki hak kebebasan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya sebagaimana diriku. Artinya, batas kebebasanku adalah kebebasan orang lain. Dengan demikian, maka kehidupan bersama juga membutuhkan kebebasan bersama.’ Rasa mengakui hak kebebasan orang lain sama dengan kebebasan diri sendiri dalam mencukupi kebutuhan hidup itulah yang disebut rasa kerakyatan.”
Rasa kerakyatan, yang merupakan rasa pertama dari Pancasila, adalah salah satu budi luhur yang kemudian menjadi dasar untuk lahirnya budi luhur lainnya. Jika rasa kerakyatan ini dapat dipraktikkan, maka budi luhur yang lainnya pun akan mengikuti. Mempraktikkan budi luhur senantiasa melahirkan rasa nyaman. Sebaliknya, jika rasa kerakyatan ini tidak dapat dipraktikkan, maka pelbagai budi rendah lainnya pun akan menyusul. Dan mempraktikkan budi rendah rasanya selalu tidak nyaman.
Semua tindakan yang didasarkan atas pengakuan hak kebebasan orang lain, bisa dipastikan tidak akan pernah merugikan orang lain. Dan, rasa tidak merugikan orang lain adalah rasa kemanusiaan yang merupakan rasa kedua dari Pancasila. Jika rasa kemanusiaan ini dapat dipraktikkan, maka ia akan menjadi dasar untuk lahirnya rasa luhur berikutnya, yaitu rasa tanggungjawab.
Rasa tanggunjawab sangat berkaitan erat dengan rasa memiliki. Rasa memiliki jika digunakan untuk merespon benda hidup, secara otomatis akan melahirkan tanggungjawab untuk mencukupi kebutuhannya. Contohnya adalah rasa memiliki anak, maka dengan sendirinya akan melahirkan tanggungjawab sebagai orangtua untuk mencukupi kebutuhan anaknya. Demikian juga jika rasa memiliki tadi digunakan kepada bangsa, maka ia juga akan melahirkan tanggungjawab untuk mewujudkan kemuliaan bangsanya. Tanggungjawab untuk mewujudkan kemuliaan bangsa ini adalah rasa kebangsaan yang merupakan rasa ketiga dari Pancasila.
Karena hidup berbangsa adalah berkoloni sebagaimana lebah, rayap, maupun semut, dan tidak sebagaimana hidupnya tokek atau gangsir, kata Ki Ageng, “Gesang gegrombolan kados makaten punika alap-ingalap paedah ing antawisipun satunggal-satunggal tiyang, lan dipun wastani gotongroyong inggih punika masyarakat. (Hidup berkelompok adalah saling memberi dan menerima manfaat di antara orang per orang, dan hubungan yang saling menguntungkan itu sebutannya adalah gotongroyong alias masyarakat [musyarrakah]).
Jadi, masyarakat adalah hidupnya sebuah bangsa secara keseluruhan. Karena itu, setiap orang mesti memiliki kesadaran bahwa dirinya merupakan bagian dari masyarakat. Dengan demikian, jika ada keuntungan dalam masyarakat maka setiap orang di dalamnya juga mendapatkan keuntungan, begitu juga jika setiap orang mendapatkan keuntungan, maka yang demikian itu juga menjadi keuntungan buat masyarakat. Sebaliknya, kerugian masyarakat akan menjadi kerugian orang per orang di dalamnya, dan kerugian orang per orang juga akan menjadi kerugian bagi masyarakat.
Jika kehidupan sebuah bangsa telah dipahami, maka orang akan memiliki rasa tanggung jawab untuk memuliakan masyarakatnya. Jika keadaannya sendiri tidak selaras dengan keadaan masyarakat, maka ia pun akan merasa tidak adil). Jika rasa adil di dalam diri telah tumbuh subur, maka orang pun akan berusaha menyeleraskan dirinya dengan keadaan masyarakat. Artinya, orang akan berusaha memuliakan masyarakatnya. Tindakan yang seperti itulah yang disebut rasa kasih sayang. Rasa adil dan kasih sayang adalah rasa Pancasila yang keempat.
Rasa ketuhanan adalah rasa luhur. Rasa kerakyatan, rasa kemanusiaan, dan rasa kebangsaan, juga merupakan rasa yang luhur. Artinya, jika keempat rasa Pancasila (rasa kerakyatan, rasa kemanusiaan, rasa kebangsaan, rasa adil dan kasih sayang) dapat dipraktikkan dengan baik, maka dengan sendirinya rasa ketuhanan juga telah terpraktikkan. Demikian rasa Pancasila menurut Ki Ageng Suryomentaram. []
Muhaji Fikriono, Penulis buku Puncak Makrifat Jawa dan Hikam untuk Semua. Bisa ditemui di @Hikam_Athai