Konsep Nadiem Makarim Seperti Mengubur Kepala dalam Pasir

Konsep Nadiem Makarim Seperti Mengubur Kepala dalam Pasir

Secara konsep, Nadiem Makarim bagus, tapi ada lobang besar yang jika tidak sadari akan jadi masalah krusial dalam pola pendidikan kita di masa depan

Konsep Nadiem Makarim Seperti Mengubur Kepala dalam Pasir

Kampanye Konsep belajar berpihak pada anak mengasumsikan bahwa selama ini pembelajaran tidak berpihak pada mereka. Hal ini pernah disampaikan oleh Dirjen GTK Iwan Syahril, pendiri Sekolah guru Cikal Najeela Shihab dan Nino Aninditomo Kepala PSPK mitra kemdikbud yang sedang melamar menjadi Kalitbang Kemdikbud. Para pihak tersebut berperan besar dalam mengkampanyekan dan meninjeksi kurikulum yang baru ini agar berpihak pada anak.

Namun tagline #berpihakpadaanak memiliki masalah serius. Secara konseptual, belum jelas dari mana akar pemikiran semacam ini. Dalam beberapa publikasi sering dinyatakan bahwa konsep belajar ‘berpihak pada anak’ berdasar pada pemikiran Ki Hajar Dewantara. Penulis yang dalam setahun ini terlibat dalam komunitas Taman Pembelajar Rwamangun yang membaca karya teks Ki Hajar (seperti mengaji kitab kuning) dan membedahnya perbab–sampai hari ini masih belum menemukan di artikel tulisan yang mana, ki Hajar pernah menyatakan hal demikian.

Oleh sebab itu muncul kekhawatiran bahwa kampanye ‘berpihak pada anak’ yang diklaim sebagai pemikiran ki Hajar hanyalah tempelan rapuh yang biasa dilakukan intelektual kacangan untuk mendandani konsep pembelajaran agar seolah-olah beridentitas Nasional.

Cara semacam ini sungguh bermasalah dan menambah persoalan. Sebab utamanya, kampanye semacam ini diawali oleh sebentuk ketidakjujuran intelektual maupun pedagogis. Hal ini akan menjadi masalah makin pelik, ketika pemikiran antah berantah ditempeli seolah-olah pemikiran Ki Hajar. Padahal kalau pemikiran berpihak pada anak memang baik diterapkan di Indonesia, lantas mengapa harus memaksakan diri—katakanlah—dimirip-miripkan dengan pemikiran KI Hajar?

Ketidakpercayaan diri semacam ini menyimpan potensi masalah baru. Soal utamanya, pemikiran yang sistematis saja masih menimbulkan persoalan ketika diterapkan ke dunia nyata apalagi suatu pemikiran kanibal yang dagingnya berasal dari tempat yang tidak dikenali kemudian ditempeli kulit-kulit ki Hajar. Sebab secara praktis, apa yang hendak dilaksanakan konsep belajar berpihak pada anak tidak jauh berbeda dengan konsep belajar yang selama ini dipakai dalam kebijakan pendidikan nasional.

Pertama-tama, mari bedah bersama, apa maksud berpihak pada anak? Kalau yang dimaksud adalah opini dan pendapat anak tentang pembelajaran yang cocok bagi mereka, ini ibarat sebuah permainan (game) yang aturan mainnya diserahkan pada pemain tersebut. Kedua, berpihak pada anak, kalau memang bukan berasal dari ‘opini anak’ artinya tidak ada bedanya dengan konsep belajar berpihak pada siapapun. Sebab baik konsep belajar yang bukan berpihak pada anak dan yang berpihak sekalipun pada dasarnya adalah suatu rancangan yang dibuah oleh orang dewasa untuk anak.

Pertanyaan mendasarnya, apa yang membedakan antara konsep belajar berpihak pada anak dan yang tidak?

Mari kita ambil contoh beberapa model pembelajaran yang ditawarkan oleh orang yang mengkampanyekannya. Seperti kita ketahui dalam Kurikulum 2013 terdapat 4C Communication, Collaborative, Critical Thinking dan Creativity. Kemudian Najeela Shihab dalam sebuah publikasi menyatakan, pengajaran di sekolah miliknya menggunakan 5C’s (Characterized, Comprehensive Concept, Challenging Choices, Constructive Continuity, Community Context).

Tidak mau kalah, Nadiem Makarim dengan menambahkan 2 C dari 4 C Kurikulum 2013 (kurtilas), yakni Computational Logic dan Commpasion. Total 6 C. Sehingga jika diadakan perlombaan kuantitas konsep, menteri Pendidikan kita juaranya. Namun apakah dengan demikian pemikiran ini berpihak pada anak-anak kita? Semua konsep tersebut sesungguhnya beririsan. Semuanya berbicara karakter berbasis komunitas yang berfokus pada kemampuan berkomunikasi. Diantara kesamaan tersebut, ada kebiasaan untuk mencari padanan berbahasa Inggris pada konsep yang mereka tawarkan.

Jika merujuk pada kritik Guru Besar ITB Iwan Pranoto, beliau selalu rajin mengkritik kebiasaan para intelektual ataupun praktisi yang menghamba pada istilah berbahasa inggris. Sebab orang-orang tersebut artinya tidak memiliki wawasan yang cukup baik dalam menemukan peristilahan berbahasa Indonesia untuk membuat suatu konsep belajar bagi anak Indonesia.

Pertanyaannya, bagaimana mungkin konsep belajar akan berpihak pada anak, jikalau konsep belajarnya saja menggunakan bahasa yang tidak dikenal oleh anak itu sendiri? Bahasa yang tidak dikenal anak Indonesia yang secara umum hanya mengenal dua bahasa dalam hidupnya; bahasa daerah dan bahasa Indonesia?

Baca juga: Parenting Islami, tips orang tua di hari pertama anak sekolah

Akhirnya kita sampai pada sebuah kesimpulan yang mengerikan. Berpihak pada anak yang dimaksud, boleh jadi adalah (berpihak pada) anak dengan tingkat ekonomi tinggi, memiliki pemahaman bahasa inggris yang baik dan berada di kota-kota besar. Mengapa? Semua konsep tersebut hanya persaingan wacana yang mensyaratkan pengetahuan berbasiskan infrastruktur global.

Hal ini bertentangan dengan kondisi Indonesia yang—ketika dengan bangga Kemdikbud membagikan kuota gratis nyatanya ketiadaan listrik dan sinyal masih menjadi masalah utama. Persepsi yang dibangun atas berpihak pada anak dimulai dari sekolah elit berbiaya tinggi, yang tidak merepresentasikan keadaan riil anak Indonesia dari sabang sampai merauke.

Berpihak pada anak adalah pemikiran yang menantang. Cocok untuk menjadi percontohan. Pemikiran ini mungkin sangat baik untuk merangsang para guru agar lebih berempati pada anak sehingga menjadikan pembelajaran bisa mengantarkan mereka pada cita-citanya masing-masing dan tidak terikat pada nilai kognitif semata. Namun konsep ini mensyaratkan infrastruktur yang baik, bukan guru yang hanya dibayar tiga ratus ribu perbulan, fasilitas sekolah yang minim, dan sumber belajar yang hampir tiada.

Kita bisa menjadikan ‘berpihak pada anak’ sebagai pemikiran arus utama. Jika kita merujuk pada 4 C, 5C dan 6C, sesungguhnya hal tersebut telah dan akan pasti ditemui anak diluar sekolah. Berkomunitas, kreatifitas, dan kolaborasi sebagai kompetensi yang dibutuhkan dalam industri teknologi digital telah dan akan didapatkan oleh anak tanpa sekolah sekalipun. Lalu untuk apa anak sekolah?

Anak-anak bersekolah untuk terlibat dalam penyelenggaraan ideologi Negara. Guru adalah agen negara. Suka tidak suka. Sehebat apapun karakter dan kompetensi disesuaikan dengan perkembangan (ekonomi) global, pada akhirnya permintaan karakter dari negara akan terus menguat. Anda bisa lihat misal, konsep Pelajar Pancasila sebenarnya tidak ada hubungannya dengan Computational Logic, padahal keduanya adalah produk Kemdikbud.

Itulah mengapa Ki Hajar mendirikan Taman Siswa—Sekolah Swasta. Tidak ada anak-anak yang bercita-cita untuk sekolah tanpa doktrin dari berbagai pihak bahwa sekolah akan mengantarkan mereka pada keberhasilan hidup. Para orang tualah yang mengirim anak ke sekolah dan negara yang menfasilitasinya. Berpihak pada anak, boleh jadi baik. Sejauh ini cukup baik untuk membuat orang tidak sadar bahwa keberpihakan itu sebenarnya tidak ada, kompetensi yang terus ditambahkan tersebut tidak akan terwujud, dan karakter pesanan negara pada akhirnya akan semakin membosankan. Berpihak pada anak, hanya menghibur kondisi tersebut.

Para intelektual yang terlibat di dalamnya harus jujur sebelum sejarah mengutuk mereka. Kecuali mereka memang mengambil keuntungan sesaat seperti yang biasa terjadi setiap lima tahunan. Kita semua sadar bagaimana semua akan berakhir. Kebanyakan dari kita terhibur oleh istilah-istilah tersebut dan menutup mata dari malapetaka yang akan terjadi dalam pendidikan kita. Seperti mengubur kepala dalam pasir.