Israel dan Palestina merupakan dua negara yang terlibat perselisihan panjang hingga saat ini dan Amerika selalu ada di dalamnya. Isu pokok dari perselisihan yang terjadi menyangkut kedaulatan wilayah bagi kedua belah pihak. Antara Israel dengan Palestina, masing-masing saling mengklaim berhak atas kekuasaan kedaulatan wilayah Palestina. Berbagai cara dilakukan agar mampu meyakinkan masyarakat internasional dan mendapatkan legitimasi hukum yang sah atas wilayah yang diperebutkan.
Terjadinya perselisihan yang berkepanjangan ini tentu bertolak belakang dari tujuan hukum. Sebab, hukum sendiri memiliki fungsi sebagai sarana pemeliharaan ketertiban dan keamanan, sarana pembangunan, penegakan keadilan, serta sarana pendidikan masyarakat. Namun, konflik berkepanjangan Israel dan Palestina menunjukkan adanya ketidaksesuaian antara cita hukum, khususnya hukum internasional dengan beberapa fakta peristiwa yang terjadi di lapangan.
Berbagai upaya telah digelar demi mendamaikan perang yang telah mengalirkan darah banyak orang tersebut. Negara-negara tetangga, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), bahkan sampai negara yang berada di belahan bumi lain (Amerika Serikat dan Uni Eropa) turut berperan dalam upaya perdamaian ini. Beraneka ragam usulan penyelesaian dan tawaran bantuan pun telah diberikan. Sampai kepada pemberian peringatan dan kecaman, tetapi sampai hari ini perdamaian di antara keduanya belum juga terwujud.
Dalam kasus Israel-Palestina, aspek politik bukanlah satu-satunya dimensi yang dapat digunakan untuk menyoroti konflik kedua negara tersebut. Demikian halnya dengan dimensi teologis, yang oleh banyak pihak dianggap tidak ada hubungannya dengan konflik ini. Sebagian lain memandang konflik Israel-Palestina ini memang murni sebagai konflik politik, sementara ada juga yang memandang konflik ini sarat dengan nuansa teologis.
Nuansa teologis dalam konflik Israel-Palestina bukan saja ditunjukkan dengan terbangunnya stigma perang Yahudi-Islam, akan tetapi keyakinan terhadap “tanah yang dijanjikan” sebagai tradisi teologis Yahudi yang juga tidak dapat dipisahkan dalam kasus ini.
Membentangkan sejarah kelam hubungan Israel-Palestina yang kerap dikerumuni konflik berkepanjangan, sama rumitnya dengan melacak sejarah Yahudi itu sendiri. Namun, upaya ini penting dilakukan untuk melihat sejauh mana konflik tersebut diwarnai oleh nuansa politik maupun teologis.
Amerika Serikat yang sedang menyambut Pemilu tahun ini, menganggap Israel sebagai sebuah aset strategis yang secara dasar-dasar moral harus didukung penuh, karena Israel merupakan penganut demokrasi sekuler dengan gaya hidup Barat.
Bahkan Israel menduduki posisi-posisi penting dalam sistem pemerintahan di Amerika Serikat, seperti Dewan Keamanan Nasional (NSC), Departemen Luar Negeri, Intelijen, bahkan Kongres konsisten mendukungnya. Oleh karena itu, para kandidat Presiden Amerika Serikat dalam politik Israel sangat berpengaruh, tentunya banyak hal kebijakan Amerika Serikat di Timur Tengah yang sangat menggambarkan bagaimana komitmen Amerika Serikat sendiri dalam mempertahankan hubungan dengan Israel dan menempatkannya sebagai mitra khusus.
Ada beberapa perundingan yang telah dilaksanakan Israel dan Palestina melalui jasa mediasi Amerika Serikat, yaitu Perundingan Oslo I, yang berlangsung selama kurang lebih delapan kali dengan 14 kali pertemuan di awal sejak 20-22 Januari 1993. Dari perundingan ini dihasilkan suatu kerangka kesepakatan berisi 17 pasal ditambah dengan 4 pasal tambahan, dan dikenal sebagai deklarasi prinsip atau DOP (Declaration of Principles on Interim Self Goverment Arrangement).
Kemudian, Perundingan Oslo II, dalam Perundingan Taba atau Oslo II pada tanggal 28 September 1995, guna memperluas wilayah otonomi Palestina, Israel menunjukkan komitmennya untuk mentaati hasil kesepakatan Oslo I dengan kesediaannya untuk mundur dari tujuh kota di Tepi Barat, yakin Jenon, Tulkarem, Qalqiliyah, Nablus, Bethlehem, Ramallah, dan Hebron.
Ada juga Perundingan Hebron, saat itu masa Netanyahu tercapai persetujuan Hebron pada tanggal 15 Januari 1997, di mana Israel bersedia menyelesaikan penarikan pasukan selama 10 hari sejak penandatanganan persetujuan. Selain itu, ada juga Perundingan Wye River I, Perundingan Wye River II, Perundingan Camp David II, Konferensi Annapolis 2007.
Bukan hanya itu, saat ini pun Amerika Serikat sedang gencar-gencarnya mengusungkan normalisasi antara Israel dan beberapa negara Timur Tengah dengan iming-iming akan terciptanya perdamaian antar dunia Arab.
Tentu saja, banyak yang bertanya-tanya apakah posisi Amerika Serikat yang mengambil alih peranan dalam konflik Israel-Palestina ini tanpa adanya sesuatu yang ingin dicapai, dapat menguntungkan dunia Arab, atau malah sebaliknya?
Saya kira, semua yang dilakukan Amerika Serikat saat mengambil peran dalam perdamaian konflik kedua negara ini, tentunya dilandasi oleh kepentingan politik. Banyak pemerhati konflik Timur Tengah juga yang beranggapan bahwa dengan ikut sertanya Amerika Serikat dalam hal ini, akan membuatnya semakin memiliki pengaruh di wilayah Timur Tengah dan akan dengan mudahnya masuk ke dalam kepentingan-kepentingan politik di sana. [rf]