Siapa yang tidak ingin masuk surga? Siapa? Menjadi penghuni surga adalah impian banyak sekali orang. Hidup abadi. Berpakaian kain sutra yang halus. Duduk-duduk di atas permadani. Juga cuaca yang tidak pernah mengenal panas yang terik dan dingin yang beku. Bahkan, di sana kita tidak perlu bekerja, karena semua keinginan kita langsung dikabulkan. Setiap kita memetik buah dari pohon yang bisa merunduk, dahannya itu langsung memunculkan buah yang sama, dan itu baru.
Kita tidak akan mengalami kelaparan dan kehausan seperti alam dunia ini. Walladziina aamanuu wa’amiluush-shaalihaati sanudkhiluhum jannaatin tajrii min tahtihaa al-anhaaru khaalidiina fiihaa abadan. Orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih, kelak akan Kami masukkan ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Sungai-sungai mengalir yang dimaksud dalam Surat Al-Baqarah ayat ke-25 tersebut ada menafsirkan sebagai aliran-aliran air minum yang menyegarkan.
Dari secuil informasi tentang surga tersebut, gambaran sekilas yang kita dapatkan adalah surga tempatnya Allah memberikan reward pada orang-orang beriman yang suka berbuat baik ketika masih di alam dunia, berupa kenyamanan, kesejahteraan, keberlimpahan, dan kebahagiaan secara maksimal. Lantas siapakah yang tidak ingin hidup bahagia?
Tapi, itu hanya secuil informasi tentang surga, dan Baginda Nabi Besar Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sudah mengisyaratkan untuk tidak usah terlalu membayangkannya, karena akal manusia tidak akan sampai bila ingin menalar kelengkapan isi surga. Nasehat beliau sangat masuk akal. Sebab, jika dipikir-pikir lagi, keinginan untuk tahu apa saja yang ada di surga justru dapat menggoyahkan iman. Apalagi bila seorang muslim labil itu terlalu membanggakan kecerdasan otaknya dan tidak sadar bahwa otak itu diciptakan Allah terbatas.
Seorang anak kecil yang hidupnya terisolasi di sebuah pulau kecil, hanya pernah melihat ikan-ikan di sungai, mustahil bisa membayangkan isi samudera. Seorang anak kecil pasti menganggap ikan Paus, ikan Salmon, dan ikan-ikan air laut lainnya adalah fiktif, jika kita memberitahunya saat ia sedang asyik bermain di sungai—yang mana adalah air tawar. Apalagi jika anak kecil itu sombong, merasa sudah tahu semua jenis ikan yang ada, karena dia merasa sudah menyusuri sungai air tawar itu sangat lama dan merasa sudah mencatat semuanya.
Demikian pula misalnya kita hidup di zaman yang tidak internet dan tidak ada buku. Kita mungkin menganggap salju itu khayalan. Tidak mungkin ada. Tidak mungkin ada daratan yang sangat dingin dan hujannya serbuk es halus. Juga tidak mungkin Allah menciptakan gurun pasir yang sangat gersang. Secara kita hanya punya pengalaman “duniawi” berupa hidup di negara khatulistiwa Indonesia. Dua perumpaan di atas sama saja dengan upaya kita membayangkan kelengkapan isi surga. Kan pengalaman empiris kita masih alam dunia fana saja.
Iman memang bisa rawan goyah ketika jika orang tersebut sebenarnya tidak terlalu rasional tapi justru merasa sombong dengan kecerdasannya itu. Kita mungkin pernah beberapa kali menemui orang-orang yang kalau dites IQ termasuk jenius dan tidak percaya dengan agama Islam. Menurut mereka, agama Islam penuh hal yang tidak masuk akal lalu cerita tentang keanehan ayat A, B, C, dan D, ya, salah satunya tentang berita gembira tentang surga, namun lebih baik dibiarkan saja. Buat apa. Buat apa berdebat dengan segelintir orang yang hanya memiliki IQ saja tapi sudah merasa dirinya sangat ilmiah.
Sekelompok ilmuwan di negara maju pernah meneliti tentang nyawa manusia. Bagaimana cara membuat nyawa, bagaimana nyawa itu keluar dari tubuh, dan bagaimana rupa nyawa itu sendiri. Konon hasilnya nihil, orang yang sekarat itu dikurung dalam tabung kaca tetap saja mati, dan kamera-kamera yang mengelilingi kamar itu tetap tidak bisa merekam gambar ataupun frekuensi keluarnya nyawa. Apakah ilmuwan-ilmuwan itu bodoh?
Jika nyawa tidak ilmiah, kenapa itu terasa nyata. Mayat meskipun disetrum, sampai jantungnya berdetak kembali, ia tidak akan hidup lagi. Mayat meskipun dipompa, sampai aliran darahnya mengalir, ia tidak akan hidup lagi. Otak manusia itu memang diciptakan terbatas. Indera tubuh manusia juga memang diciptakan terbatas. Apanya yang mau dimutlak-mutlakkan. Agama Islam itu seperti planet Bumi. Ada dasarnya, ada langitnya. Ibaratnya otak adalah kaki, kamu tidak bisa ke pergi ke gumpalan awan dengan menjejak-jejakkan kaki di udara, meskipun kakimu lebih berotot daripada manusia kebanyakan. Berita surga, peristiwa Isra’ Miraj, dan semacamnya itu sudah wilayah langit.
Jika kamu terlalu memutlak-mutlakkan otak yang terbatas itu, ingin menalar semua hal di hidup ini, pokoknya yang tidak bisa difoto dan distatistik itu khayalan, kamu bisa gila sendiri. Kasih sayang ibu pada anaknya itu warnanya apa? Hijau melon? Ilmiah atau tidak nyata? Rindu itu komposisi molekulnya apa? Campuran astatine dengan flerovium? Ilmiah atau tidak nyata?
Coba dipikir lagi. Kenapa hidung letaknya tidak di tangan biar lebih portable. Kenapa mata letaknya tidak satu di depan dan satu di belakang kepala biar tidak ada blind spot. Allah itu Maha Bijaksana.
***
Kembali pada bahasan surga lagi. Jika kita sudah sepakat bahwa surga setelah alam dunia itu nyata adanya, kita sebaiknya mulai memikirkan kepantasan diri kita. Apakah dosa kita sebesar bukit dan pahala kita seluas laut? Ataukah sebaliknya, dosa kita sebanyak butiran pasir di pantai, sementara pahala kita hanya seluas kolam renang? Maksudnya, jika jumlah menit sholat kita sehari rata-rata adalah sekitar 25 menit, apakah jumlah menit maksiat kita sehari rata-rata hanyalah sekitar 4 menit.
Kita memang tidak bisa memastikan diri kita akan masuk surga yang sejati di akherat nanti, tapi setidaknya kita masih bisa membuat miniatur surga di dunia fana ini. Sembari menunggu waktu yang dinanti itu tiba. Ada surga akherat, ada pula surga dunia. Cak Nun pernah memberi resep cara memperoleh surga di dunia: lebih sibuklah mencintai orang lain.
Cak Nun menerangkan bahwasanya “surga” adalah tempat dimana orang-orang saling menawarkan cinta, surga adalah tempat dimana orang-orang lebih memilih mencintai yang lain, sementara “neraka” adalah tempat dimana orang-orang sibuk mencintai dirinya sendiri. Jika kamu terjebak di kumpulan orang-orang yang hanya mencintai dirinya sendiri, berarti kamu sedang berada di neraka dunia.
Ibaratnya ada sepuluh orang berkumpul. Jika sepuluh orang ini memiliki sifat ingin melayani orang lain, maka inilah yang dinamakan surga. Karena, jika ada satu orang terkena musibah, sembilan orang lain berebut menolongnya. Masing-masing orang memiliki sifat ingin mencintai orang lain. Masing-masing orang memiliki sifat ingin melayani orang di luar dirinya.
Bayangkan bila sebaliknya? Itulah contoh neraka dunia. Sepuluh orang itu masing-masing hanya mencintai dirinya sendiri. Jika ada satu orang terkena musibah, sembilan orang lain diam saja. Jika sembilan orang itu giliran yang dapat musibah, satu orang yang kondisinya telah membaik lagi itu diharapkan mau menolongnya. Neraka dunia… Sepuluh orang itu saling menagih pertolongan. Sepuluh orang itu saling menuntut bantuan.
Cak Nun pernah membacakan potongan Surat Al-Baqarah ayat ke-208, yaa ayyuhalladzina aamanu udkhulu fiissilmi kaffah… Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam as-silmi secara menyeluruh… Silmi memiliki akar kata yang sama dengan Islam. Silmi bisa juga diartikan dengan kedamaian. Ketentraman. Lebih lanjut, bahwa udkhuluu fissilmi kaffah di sini juga mengandung arti jamii’an. Bersama-sama. Jadi, kita dianjurkan untuk menuju as-silmi secara bersama-sama. Mencari keselamatan bersama. Tidak hanya memikirkan keselamatan dan kebahagiaan seorang diri.
Sungguh sangat beruntung orang yang bisa menemukan surga dunia. Sungguh sangat beruntung orang yang bisa masuk komunitas penghuni surga dunia. Menemukan dan bersahabat dengan orang-orang yang memiliki hati selesai. Bersahabat dengan manusia-manusia yang lebih sibuk mencintai orang lain, ringan hati menolong orang lain yang susah, dan senang menenteramkan jiwa satu sama lain.