Jumat (27/9), Selasar Medco Ampera Jakarta kembali ramai dikunjungi puluhan anak muda yang hendak mengaji di Picnikustik. Kajian ketujuh yang diselenggarakan Komuji Jakarta ini mengangkat tema “Bicara Riba.”
Tak sembarang memilih pemateri, kali ini Komuji Jakarta mengundang Rifqi Muhammad Fatkhi, M.A, Ketua Jurusan Ilmu Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Mirza A. Karim, S.H., LL.M., Lawyer dan praktisi ekonomi syariah.
Tema ini diusung karena keresahan masyarakat mengenai berbagai transaksi kekinian yang dikhawatirkan mengandung riba. Tak hanya itu, muncul juga fenomena resign dari tempat kerja karena ingin hijrah dari riba.
Penulis sendiri beberapa kali mendengar curhatan teman-teman mengenai keraguan mereka bekerja di bank dan tempat lain yang diduga menerapkan praktik riba. Hingga saat ini, beberapa kawan penulis juga memilih resign dari tempat kerja mereka setelah mendengar ceramah ustadz-ustadz salaf, bahkan ada pula yang akhirnya menjadi pengangguran.
Maka dari itu, komuji hadir untuk memberi ruang diskusi bagi semua kalangan yang ingin mengetahui perkara riba. Berbeda dengan ceramah dan kajian-kajian lain yang biasanya disajikan dengan formal, Komuji mengemas kajiannya dengan santai dan kekinian.
Layaknya piknik, peserta yang hadir bisa duduk lesehan di atas bean bag sambil menyantap makanan dan minuman. Tidak hanya diisi dengan kajian, beberapa musisi juga hadir dan menyajikan lagu. Maka tak heran bila kajian ini disebut dengan Picnikusnik.
Berbicara tentang riba memang sensitif, pasalnya Al-Qur’an tidak menjelaskan secara rinci definisi riba, begitu pula hadis-hadis Nabi SAW. Namun kita dapat mengetahui definisnya melalui pendapat para ulama.
Mirza A. Karim menjelaskan bahwa riba adalah suatu tambahan terhadap pertukaran barang sejenis yang tidak ada alas haknya, atau tambahan terhadap suatu barang tanggung yang tidak ada alas haknya.
Misalnya kita menukar 10 kg beras cianjur dengan 12 kg beras cianjur yang jenisnya sama, atau kita menukar uang Rp.10.000 dengan uang Rp.15.000. Karena kedua jenisnya sama, maka kelebihan barang atau uang itulah yang disebut riba.
Seluruh ulama sepakat bahwa riba itu haram, karena al-Qur’an sendiri telah menyatakannya. Lalu bagaimana dengan bunga bank, apakah itu juga haram?
Problematika mengenai bunga bank memang masih diperselisihkan. Ada dua pendapat umum mengenai bunga bank. Yang pertama menyatakan bunga bank sama dengan riba sehingga hukumnya haram. Pendapat ini dikemukakan oleh beberapa ulama kontemporer seperti Yusuf al-Qaradawi, Wahbah Zuhaili, begitu pula institusi Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Pendapat kedua menyatakan bahwa bunga bank bukanlah riba, sehingga diperbolehkan. Pendapat ini dipegang oleh Syekh al-Azhar, diantaranya Ma’mun Syaltut, Thanthowi dan Ali Jumu’ah. Adapun alasan mereka membolehkan bunga bank dikarenakan bunga bank adalah suatu keniscayaan yang digunakan sebagai pembangunan umat secara keseluruhan. Jadi maslahatnya terlihat, sedangkan riba tidak memunculkan maslahat, melainkan hanya mudharat.
Pada pertemuan alim ulama NU di Lampung, para ulama NU sendiri saling berbeda pendapat, ada tiga pendapat yang muncul mengenai hukum bunga bank, yang pertama menyatakan haram, karena bunga bank sama dengan riba. Kedua menyatakan syubhat, dan pendapat ketiga menyatakan boleh.
Perbedaan pendapat juga timbul di kalangan ulama Muhammadiyah, ada dua pendapat yang muncul dalam Majelis Tarjih Muhammadiyah, yaitu bunga bank haram dan bunga bank boleh.
Dikarenakan ada perbedaan pendapat inilah bunga bank tidak bisa dikatakan haram secara mutlak. Oleh karena itu, kita bisa memegang pendapat mana yang paling kita yakini kebenarannya. Kita boleh mengikuti pendapat ulama yang menyatakan bunga bank haram, boleh pula mengikuti pendapat ulama yang menyatakan bunga bank boleh.
Jika hukum bunga bank sendiri masih diperselisihkan, lalu bagaimana dengan hukum bekerja di bank konvensional?
Berbincang mengenai hal ini, kita perlu kembali pada pendapat mana yang paling kita yakini. Jika kita memegang pendapat bahwa bunga bank adalah riba dan haram, maka hukum bekerja di bank konvensional pun menjadi haram, karena bank konvensional menerapkan konsep bunga bank. Sebaliknya, apabila kita meyakini pendapat yang menyatakan bunga bank boleh, maka hukum bekerja di bank pun menjadi boleh.
Namun perihal bekerja di bank, ada satu prinsip yang harus kita kedepankan, yaitu “Mencegah kemudharatan harus lebih diutamakan dari mencapai manfaat.” Kita perlu melihat perkara mana yang mudharatnya lebih besar, bekerja di bank atau tidak bekerja di bank. Yang mudharatnya lebih besar itulah yang perlu kita tinggalkan.
Mengenai hal ini, Rifqi Muhammad Fatkhi juga menyatakan suatu kaidah
إذا تعارض مفسدتان روعي أعظمهما ضررا بارتكاب أخفهما
Lebih mudahnya seperti ini, jika ada dua kerusakan, maka piihlah yang paling ringan dampak kerusakannya.
Maka ketika kita dihadapkan pada dua hal yang bertentangan, yang dua-duanya sekiranya berbahaya, maka ambillah risiko yang paling rendah.
Rifqi juga menegaskan bahwa dalam beragama kita diberikan pilihan. Ada opsi-opsi kemaslahatan yang bisa kita pegang. Maka pertimbangkanlah kembali, mana yang lebih maslahat, bekerja di bank atau menjadi pengangguran.
Kalaupun memegang pendapat yang menyatakan keharaman bekerja di bank konvensional dan memutuskan untuk resign dari tempat kerja, sebaiknya bukan hanya meninggalkan bank, tapi juga memikirkan jalan baru, membuka sistem baru yang akadnya sesuai dengan hukum syar’i dan tidak diragukan lagi hukumnya. Maka dari itu, umat Islam memang dituntut untuk lebih kreatif dan inovatif lagi, karena di masa kini kita sangat sulit terlepas dari teknologi.
Wallahu a’lam bisshawab