Ahmad Dhani mengatakan bahwa seluruh Hoaks yang menyasar padanya adalah buatan PKI (Partai Komunis Indonesia). Ucapan itu keluar saat Ahmad Dhani menyambangi acara podcast besutan Deddy Corbuzier. Dengan sangat percaya diri, Ahmad Dhani memastikan bahwa semua Hoaks atas dirinya adalah tingkah PKI. Bahkan, Dhani juga memberikan cap pada PKI sebagai kelompok manusia yang amoral.
“Yang tidak punya moral itu ya PKI dari dulu” ucap Dhani di sekitar menit ketujuh dari video tersebut, yang berjudul “HAMPIR DI BUNUH THN 2003, AHMAD DHANI NOT HOAX⁉”
Ahmad Dhani menjelaskan kenapa ia begitu tidak suka pada PKI. Dhani menyebutkan bahwa bapak dan kakeknya adalah pasukan penumpas PKI di zamannya. Kakeknya ikut menumpas PKI pada tahun 1948. Dhani juga menyebut bahwa kebenciannya pada PKI sudah in the blood. Kata itu mengisyaratkan kebencian Dhani pada PKI adalah hasil turun temurun dari kakek dan bapaknya.
Saya tidak ingin berkomentar tentang benar atau salahnya PKI, kita semua punya tafsir atas sejarah kelam yang pernah melanda bangsa Indonesia. Kita bisa berdebat panjang tentang apakah PKI benar-benar amoral seperti yang dituduhkan Dhani atau tidak. Apakah benar PKI hanya berisi orang yang berpikiran keji dan otaknya hanya soal lendir. Ada banyak sekali literatur yang lebih layak untuk dibaca daripada hanya sekadar video konten Deddy Corbuzier, untuk mendiskusikan PKI.
Hal yang membuat saya mengerutkan dahi bukanlah kebencian Ahmad Dhani pada PKI, tetapi kenapa Dhani bisa dengan sangat enteng melakukan gebyah uyah (generalisir) pada PKI. Dengan sangat eksplisit dan enggan disensor, Dhani memang mengatakan bahwa PKI = manusia amoral.
Bukan apa-apa, kita sebagai bangsa, saat ini memang punya masalah bernama mental suka gebyah uyah, yang kita butuhkan adalah vaksin atas mental itu. Sesuatu yang akan terus merawat keberagaman kita tanpa menyisakan kecurigaan tak beralasan pada liyan. Eh, ini malah legenda musik Indonesia, pentolan band Dewa 19, dengan sangat enteng mempertontonkan aksi gebyah uyah.
Bukankah gebyah uyah adalah suatu sikap seorang pemalas, yang sudah menuduh macam-macam sebelum melakukan banyak verifikasi. Yang melanggengkan sikap pokoknya. “Pokoknya tolak”, “pokoknya boikot” pada suatu golongan, padahal sebuah masalah disebabkan oleh sebagian dari glongan itu.
Selain itu, gebyah uyah adalah suatu sikap yang destruktif. Kenapa saya menyebut gebyah uyah erat kaitannya dengan pola destruktif, coba bayangkan kalau ternyata yang di-gebyah-uyah sama Ahmad Dhani adalah teman-teman LGBT. Saya cukup yakin, saat ini kita tidak akan mengenal grup band Dewa 19 sebesar sekarang.
Kalau anda mengikuti beberapa wawancara yang dilakukan pada Dewa 19, salah satu inspirasi besar dari Dewa 19 adalah band rock legendaris Queen. Sementara sang vokalis, Freddie Mercury, adalah seseorang yang masuk dalam kelompok LGBT. Nah, sekarang tinggal dibayangkan saja, misal, ternyata Brian May, gitaris Queen, adalah penganut paham komunis, dan Dhani sudah kepalang menyebut mereka adalah amoral dan perlu ditolak. Tentu Dewa 19 akan jauh dari nuansa melodik seperti saat ini, yang sikap Dhani berpotensi merusak karirnya sendiri.
—
Gebyah uyah bukanlah suatu kejadian yang langka. Ia sering terjadi, bahkan mungkin kita juga ikut melestarikannya. Kita memang perlu terus melakukan cek dan ricek atas diri sendiri. Apakah selama ini turut andil melestarikannya atau tidak.
Beberapa elemen yang sangat sering menjadi kambing hitam atas perilaku gebyah uyah di Indonesia selain PKI seperti yang dilakukan Dhani, tentu adalah kelompok Tionghoa, Papua dan mereka yang berbeda agama. Banyak di antara kita yang begitu sengit pada mereka yang beretnis Tionghoa, risih dengan yang datang dari Papua, dan curiga kepada yang beragama lain.
Etnis Tionghoa selama ini selalu diidentikkan dengan manusia yang memiliki sifat lintah darat. Hidup hanya berorientasi ekonomi, memperkaya diri sendiri. Pelit dan juga tidak peduli sesama. Apalagi diketahui kalau mereka adalah orang kaya, dengan sangat enteng orang akan berseloroh “Ancen wong Cina!” (Emang dasar Cina!).
Setali tiga uang dengan Tionghoa, gebyak uyah juga sering dialami saudara kita dari Papua. Mereka dicap manusia terbelakang, suka bertengkar, berisik, dan tidak kenal tata krama. Saya sering menjumpai, banyak kos-kosan yang dengan jelas memasang plang menolak penghuni baru kalau ia datang dari Papua. Pun ketika tak ada plang yang terpasang, para juragan kos-kosan akan tetap berusaha menolak orang Papua bagaimana pun caranya. Cerita seperti ini jamak kita jumpai.
Penolakan atas teman-teman dari Papua juga senada dialami oleh mereka yang tidak beragama Islam. Banyak terpampang di pagar kos bertuliskan hanya menerima Muslim/ah. Memang, kebijakan menerima siapa yang berhak menumpangi rumah kos tetap kembali pada empunya rumah, tetapi atas dasar apa teman-teman kita yang tidak beragama Islam dilarang menempati rumah? Apakah mereka dianggap pembawa sial?
Selain pelarangan ngekos pada orang non-muslim, gebyah uyah pada orang yang berbeda agama juga kerap ditemui saat ada kegiatan sosial. Sering kita jumpai ada beberapa orang yang begitu benci dan sinis ketika ada saudaranya yang berlain agama berbuat baik, dengan mudah hal itu dicap sebagai kristenisasi (kalau dilakukan orang Kristen), dan lain sebagainya. Seolah-olah bahwa semua orang Kristen itu pasti punya misi mengubah agama orang.
Secuil contoh-contoh ini adalah tanda bahwa kita sebagai bangsa memang punya masalah dengan penyakit hati satu ini. Kita, antara satu dengan yang lain, masih sering menaruh curiga dan berpandangan sinis, padahal dalam kenyataannya, saling kenal saja belum.
Penyakit ini akan menjadikan hidup kita semakin sulit, terlebih karena negara kita berdiri atas keberagaman. Sehingga, kita perlu sadar betul bahwa gebyah uyah bukanlah sebuah prinsip yang patut terapkan.
Sangat disayangkan, seorang public figure seperti Ahmad Dhani mengumbar kebenciannya dengan membabi buta seperti itu. Yang kita butuhkan adalah saling kenal, bukan sedikit-sedikit menaruh curiga. Ada Hoaks, jelas kerjaan PKI! Ada pembagian sembako, pasti ada Kristenisasi! Ada rusuh-rusuh, pasti Papua!
Bukan begitu cara hidup di Indonesia, Dhan!