Dalam beberapa minggu terakhir, perbincangan soal kepekatan asap hingga mengakibatkan gangguan pernafasan dan kerusakan alam sedang viral dari percakapan sehari-hari hingga di media sosial. Beberapa daerah yang memiliki lahan gambut yang cukup luas adalah wilayah yang paling parah kebakaran lahannya. Kepekatan asap hingga kualitas udara yang masuk level bahaya adalah dampak yang harus dirasakan masyarakat Indonesia terakhir-akhir ini.
Di Kalimatan Selatan, beberapa pemerintah daerah, instansi dan organisasi keagamaan mengadakan salat istisqa sebagai upaya untuk mengurangi dampak dari tragedi asap yang sudah semakin pekat ini. Hujan yang diharapkan bisa menyelesaikan dalam permasalahan asap yang disebabkan karena kebakaran lahan yang makin sulit dikendalikan. Maka, Istisqa sebagai solusi praktis yang acapkali diambil untuk menanggulangi persoalan kebakaran tersebut.
Sebagai solusi paling simpel dan mudah dikerjakan, maka kehadiran Negara dalam pelaksanaan salat tersebut belum mengugurkan kewajibannya sebagai stake holder, yakni pihak paling dituntut untuk menggunakan kekuasaan yang diamanahkan kepadanya untuk mengurangi kebakaran lahan tersebut.
Narasi progresif dalam agama Islam sudah seharusnya mulai digalakkan kembali di masyarakat muslim. Sebab, jika gagal melihat kebakaran lahan sebagai bagian dari upaya pengrusakan alam maka solusi salat istisqa hanya menguap sebagai bagian rutinitas tahunan. Di mana tanggung jawab kita sebagai muslim jika ingin mendaulat sebagai penjaga alam, jika kita hanya bisa mengandalkan doa tanpa ada usaha untuk mengurangi dampak kerusakan alam sebelum benar-benar rusak.
Nilai moral dalam agama masih terlihat tumpul dalam menghadapi bencana demi bencana yang disebabkan kerusakan alam. Konsep agama samawi, seperti Islam, dalam menjaga alam yang tertuang dalam kitab suci dan disampaikan kepada umatnya masih belum banyak menghentikan kerusakan alam, termasuk persoalan asap.
Narasi Populisme dan Model Kesalehan Neoliberal di Tengah Kepungan Asap
Di Indonesia, politik dan agama terus memainkan pertautan yang erat dalam beberapa kebijakan negara. Indonesia memang memiliki keunikan tersendiri dalam memerankan posisi ini karena posisi agama tidak bisa dipandang sebelah mata dalam kehidupan rakyat Indonesia. Agama dan politik seakan tidak bisa dipisahkan baik dalam bernegara dan kehidupan sehari-hari.
Narasi pertautan antara agama dan politik memang tidak barang baru dalam kehidupan manusia. Namun, ada dua hal yang perlu diperhatikan kala agama sudah bertaut dengan politik, terutama dalam bingkai lingkungan. Yaitu, narasi populisme dan model kesalehan neoliberal.
Agama, asap dan populisme sangat mungkin terjadi di tengah kerusakan alam ini. Salat Istisqa bisa menjadi narasi populis yang dimainkan oleh oligarki politik untuk meraup simpati warga yang menghadapi dampak paling besar. Narasi populisme yang terselip di sebuah ritual bisa mengalihkan perhatian warga dari persoalan utama dengan mengarusutamakan isu pinggiran untuk menentramkan atau mengaduk emosi umat.
Salat Istisqa yang diselenggarakan oleh Negara rentan terseret ke narasi populis. Sebab, masyarakat harus tetap kritis dan mengawal kebijakan hingga usaha pemerintah (baca: Negara) dalam mengatasi persoalan asap, yang jelas berawal dari ketidakseimbangan alam yang sudah nyata di hadapan mata. Persoalan asap hanya hilir dari bertumpuknya permasalahan lingkungan di Indonesia, seperti banjir dan kematian bocah di lubang tambang.
Selain itu, perlu diperhatikan bahwa Istisqa rentan akan berhenti sebagai simbol. Simbol adalah mata uang politik, di mana ideologi, wacana, dan mobilisasi politik tidak akan mungkin ada tanpa adanya simbol. Maka, perlu ditegaskan bahwa sikap kritis warga harus dikedepankan untuk memisahkan antara ritual dan narasi populis.
Simbol juga di saat bersamaan bisa menjadi institusisasi Islam yang bisa menggeser ritual menjadi model kesalehan neoliberal, yang bagian dari privatisasi Islam. Di mana hal tersebut adalah manifestasi dari neo-liberalisme yang saleh. Dalam kasus Indonesia mungkin saja sebagai respons terhadap Islam yang dinasionalisasi dan Islam yang ortodoks yang terjadi secara bersamaan.
Isu keamanan sebagai dalih di masa orde baru hingga sekarang, Indonesia memang menjadikan kekuasaan intervensinya pada lembaga-lembaga Islam walau dengan model yang berbeda antara era Orde Baru dan Era Reformasi. Tapi, model kesalehan yang privat ini rentan menumpulkan sisi progresif yang ada dalam tubuh Islam. Ritual, seperti salat Istisqa, yang dilaksanakan bisa sekali dianggap bentuk pelarian atau sekedar simbol dari masyarakat untuk berbuat lebih dari sekedar memasrahkan pada kedahsyatan ritual belaka. Padahal, Tuhan sudah memerintahkan kepada kita tidak sekedar berdoa saat melihat kerusakan alam karena olah tangan manusia sendiri.
Umat harus mulai berbuat lebih dengan mulai memahami persoalan kerusakan lingkungan dengan segala kerumitannya. Tentu, tidak mungkin hanya memahami tanpa melibatkan berbagai alat analisa di luar ajaran agama Islam agar bisa memahami strategi rumit dari para oligarki politik perusak alam. Selamat belajar bagi yang mau
Fatahallahu alaihi futuh al-arifin