Nabi Muhammad tak hanya sebagai panutan dalam melaksanakan perintah agama, namun dari banyak sisi kita juga dapat meneladani berbagai sifat luhurnya. Misalnya tentang sikap Nabi saat berpolitik. Karena selain sebagai pemimpin agama, beliau juga sebagai kepala negara.
Dalam berpolitik, Nabi selalu mendahulukan apa yang menjadi kemaslahatan umum. Sehingga beliau rela mengorbankan kepentingan sebagian kelompok demi kebaikan bersama.
“Misalnya yang hidup harus didahulukan daripada yang mati, dan seterusnya. Itulah prinsip pertama dalam berpolitik seperti yang telah diajarkan oleh Nabi,” papar Ustadz Quraish Shihab dalam salah satu video di kanal Youtube Najwa bertajuk Shihab dan Shihab.
Prof. Quraisy melanjutkan, prinsip kedua yang telah dipraktikkan oleh Nabi ialah, beliau selalu mengarahkan kebijakan politik sebagai upaya untuk mempersatukan apa yang tercerai. Bahkan bila perlu Nabi berkorban secara lahiriah demi mencapai persatuan tersebut.
Beliau juga mencontohkan dari kisah perjanjian Hudaibiyah, yakni perundingan antara kaum Muslim dan Musyrik Makkah. Perjanjian terjadi di wilayah Hudaibiyah, salah satu daerah perbatasan antara Yastrib (Madinah) dengan Makkah. Dalam peristiwa tersebut, terdapat butir-butir kesepakatan yang seolah terlihat merugikan ummat Islam. Bahkan sampai membuat Sayyidina Umar menolak kebijakan tersebut. Namun Nabi mengatakan: Jangan.
Kejadian tersebut bermula saat Nabi mendikte Sayyidina Ali selaku juru tulis untuk menulis naskah perjanjian dengan awalan Basmalah “Dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang”.
Sontak, kaum Musyrik Makkah menolak. Bagaimana mungkin kesepakatan tersebut diawali dengan menyebut nama Allah, Tuhan yang tidak kami percaya?
Dalih mereka. Maka Nabi memerintah untuk menuliskan,“Demi namamu wahai Tuhan”. Nabi mengalah.
Ali melanjutkan,“Ini perjanjian antara Muhammad utusan Allah…” Lagi-lagi kaum Musyrik menolak.
“Bila kami percaya bahwa kamu adalah seorang utusan, kami akan tunduk kepadamu sejak semula,” bantah mereka. Para sahabat yang menyertai Nabi mulai tak tahan menyaksikan sikap kaum Musyrik. Namun Nabi menenangkan mereka. Nabi memerintah Sayyidina Ali untuk mencoret kata tersebut.
Nabi pun mengalah lagi.
Dalam video tersebut Ustadz Quraish menjelaskan, dari perjanjian Hudaibiyah barangkali telah menginspirasi tokoh-tokoh nasional kita yang mengahapus 7 kata dalam Piagam Jakarta, sebagaimana Nabi juga menghapus 7 kata dalam naskah perjanjian Hudaibiyah.
“Karena itu, kita mencari kesepakatan bersama. Walaupun dengan mengalah atau mundur satu langkah demi mencapai satu tujuan yang lebih besar,” pungkas beliau.