Rekomendasi Tontonan Film Bulan Maulid

Rekomendasi Tontonan Film Bulan Maulid

Rekomendasi Tontonan Film Bulan Maulid
Muhammad kecil yang diulastrasikan dalam Film Mohammad dari Majid Majidi.

Di Indonesia, film-film seperti Ayat-ayat Cinta, Ketika Cinta Bertasbih, Ketika Bulan Terbelah Di Langit Amerika, 99 Cahaya Di Langit Eropa, dan lain-lain adalah tontonan wajib, bahkan mereka rela berantri untuk bisa mendapatkan kesempatan menonton film tersebut. Di bulan Maulid (baca:Rabiul Awal) yang mulia ini, film yang rekomendasi untuk ditonton adalah film Muhammad: The Messenger Of God karya Majid Majidi.

Film ini merupakan karya termahal dari Majid Majidi, yang selama ini terkenal dengan karyanya Children Of Heaven adalah sutradara yang sering menampilkan sisi kemanusiaan yang unik. Di film Muhammad: The Messenger Of God ini Majidi, juga menampilkan sisi tersebut, Nabi Muhammad ditampilkan sebagai sosok yang welas asih sejak kecil. Namun walau Majidi sadar bahwa film ini akan membawa kontroversi karena menampilkan Nabi Muhammad dalam sosok manusia, penolakan film ini pun seakan tumbuh subur belum lagi orientasi keagamaan sang sutradara menambah masalah dalam penyebaran film ini.

Oleh sebab itu film Muhammad:The Messenger Of God karya sutradara fenomenal dari Iran tidak akan tayang dengan bebas di Indonesia, sebab tidak akan mungkin direstui oleh otoritas keagamaan. Film ini cukup fenomenal sebab Nabi Muhammad diperankan oleh seorang aktor. Padahal sebagaimana pengalaman yang umum di kalangan kita, dari cerita bergambar, film-film bahkan kartun tidak akan menampilkan sosok nabi dalam rupa manusia.

Keberanian dan kepiawaian Majid Majidi untuk mencoba mendobrak ketabuan ini dengan mencoba menampilkan sejarah Nabi Muhammad yang lebih menyentuh ke kehidupan manusia, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Lesley Hezleton dalam bukunya “The First Moslem”. Walau bukan film pertama yang mengangkat kehidupan Nabi Muhammad, film ini jelas mengambil setting kehidupan masa kecil Nabi hingga berumur 13 tahun. Nabi pada saat itu sangatlah dianggap menjadi sosok yang hatinya lembut, mudah tersentuh saat melihat ketidakadilan dan kesemena-menaan.

Mencoba menampilkan sosok Nabi dalam bingkai sinema adalah usaha yang cukup kreatif dari semua penggiat sinema baik itu film atau pun kartun. Sebab menurut Gilles Deleuze, keunggulan sinema itu terletak pada citra-gerak (L’image-mouvement) dan citra-waktu (l’image-temps). Sinema yang pada awalnya hanyalah usaha manusia untuk melihat gamba bergerak. Namun sinema tidak bisa ditinjau hanya dari aspek cerita atau narasi tapi juga juga memuat gambar bergerak. Gambar bergerak ini menjadi inheren dalam citranya.

Jadi bukan cuma sekumpulan yang silih berganti namun setiap citra visual dalam sinema, setiap frame selalu berada dalam hubungan yang tak terceraikan dari keseluruhan film. Setiap gambar bergerak tersebut memiliki keterkaitan dengan situasi dan tindakan.

Film selalu membawa nilai yang akan sedikit banyak akan mempengaruhi alam bawah sadar para penikmat hingga penonton biasa. Bahkan Deleuze membagi keterkaitan ini menjadi dua yaitu pertama, situasi yang menciptakan tindakan yang pada akhirnya menghasilkan situasi baru (disingkat SAS: situasi-aksi-situasi), contohnya film-film dokumenter. Sedangkan kedua, tindakan yang menciptakan situasi yang pada akhirnya menghasilkan tindakan baru (disingkat: aksi-situasi-aksi), contohnya film Charlie Chaplin.

Menurut penulis dalam teorinya Deleuze, Film Muhammad:The Messenger Of God ini masuk dalam kategori pertama. Film ini sudah seharusnya menjadi pencipta kesadaran atau pembawa pesan bahwa Nabi Besar Muhammad yang hidup begitu sederhana dan welas asih kepada sesama dan bahkan menjadi pejuang kemanusiaan sejak kecil. Inilah yang seharusnya menjadi narasi buat kita dalam menyelami kelahiran makhluk mulia di dunia ini.

Narasi-narasi Nabi Muhammad yang memperjuangkan mereka termajinalkan dalam berbagai bidang sudah seharusnya menjadi fokus kita bukan cuma mendedahkan kepada generasi muslim millenial ini kedangkalan dalam nilai-nilai perjuangan untuk menjadikan Islam (benar-benar) rahmatan lil alamin seperti yang dilakukan oleh Majid Majidi dalam filmnya tersebut.

Kalau beberapa waktu lalu, Habib Jindan bin Novel bin Jindan menegaskan bahwa jangan membawa hal-hal yang berbau politik dalam memperingati maulid Rasulullah ini.

Habib Jindan bin Novel bin Jindan menuliskan, “Oleh karena itu ceritakan kepada kami tentang kehidupannya. Kisahkan untuk kami tentang akhlaqnya. Ceritakan kepada kami budi pekertinya yang agung agar kami teladani. Sampaikan kepada kami kasih sayangnya yang menyeluruh kepada alam semesta agar kami dapat menirunya sehingga kami dapat memandang alam semesta dan penghuninya dengan pandangan kasih sayang. Ajarkan kepada kami ketulusannya. Kisahkan kepada kami kesabaran dan ketabahannya. Jelaskan kepada kami bagaimana dahulu beliau berpaling dari gemerlap dunia, bagaimana dahulu beliau menolak kekuasaan yang ditawarkan kepadanya dan bagaimana beliau menolak tawaran Tuhannya yang ingin mengubah gunung Uhud menjadi emas untuknya. Ceritakan semua itu untuk kami agar kami dapat memandang kepada gemerlap dunia, kekuasaan dan jabatan sebagaimana beliau memandang”.

Oleh sebab itu, untuk mencoba menggaet generasi millenial apa yang dilakukan oleh Majid Majidi adalah hal positif walau masih kontroversial tapi akan sangat bernilai jika kritik dan protes maka lakukan itu dengan gaya yang terhormat bukan dengan teriak-teriak dan mengandalkan fatwa yang kadang mempunyai tendensi yang tidak tepat.

Film adalah media yang cukup tepat untuk menarasikan dan menanamkan nilai-nilai kemanusiaan, sehingga narasi kemuliaan Nabi Besar Muhammad bisa menjadi tauladan bagi kita semua yang hidup di masa ini tidak hanya cuma bersandar pada ceramah-ceramah atau fragmen kata-kata dari para Ustadz.

Fatahallahu alaihi futuh al-arifin..

 

Artikel ini diterbitkan ulang dari artikel sebelumnya berjudul Kisah Nabi Muhammad dalam Bingkai Sinema