Saya sedang tidak mengarang, karena saya sendiri mengalaminya; tercuci otak dalam pemikiran agama yang sangat eksklusif.
Dari kecil saya seorang yang sering mengaji di TPA dekat rumah saya. Namun memang tak perlu dipungkiri kehidupan bermasyarakat di kampung saya memang tidak bisa dikatakan agamis. Bahkan kampung saya dikenal dengan kekerasannya. Dengan kondisi seperti itu saya pun beralih menjadi seorang yang sangat hedonis ketika saya memasuki bangku SMP. Saya mulai mengenal kenakalan remaja ketika itu, mengaji pun sudah berhenti, bahkan saya mulai berani untuk meninggalkan shalat.
Kondisi itu berlangsung selama 2 tahun lamanya, dan saya mulai merasakan keresahan yang luar biasa. Ada muncul keinginan untuk berubah, terutama karena faktor prestasi yang kian menurun. Akhirnya saya memutuskan untuk berhenti menjadi seorang yang hedonis. Dan memulai kembali aktivitas mengaji di rumah.
Suatu hari ketika saya sudah memasuki kelas 9 SMP, ada saudara saya yang mengajak ngaji di suatu masjid daerah dan saya pun mengiyakan. Ada yang aneh dari pengajian itu, berkumpul 5 orang remaja dan diberi lembaran tentang dalil-dalil hukum, pemerintahan, haramnya demokrasi, dan khilafah –yang pada saat itu saya tidak paham maksudnya.
Kumpulan atau sering disebut halaqah itu pun isinya tidak jauh dari pemaparan dalil-dalil tersebut. Salah satunya ialah ayat-ayat yang mengatakan jika suatu negara tidak mengambil hukum dari hukum Allah, maka penduduknya disebut kafir. Sehingga diberilah kabar gembira, jika kita termasuk orang yang memerjuangkan Khlafah maka kita tidak termasuk dalam kekafiran tersebut.
Akhirnya setelah lama ikut mengaji dengan mereka, pandangan saya pun berubah. Saya menjadi orang yang menyalahkan pemerintahan, demokrasi haram, kemaksiatan harus diberantas, menjadi orang yang sinis, bahkan saya pun mulai menganggap kafir negara ini karena tidak menjadikan Khilafah sebagai sistem.
Melihat kondisi saya yang kian berubah, orang tua saya pun khawatir. Bahkan mereka pernah mengatakan, “Jar, hati-hati. Mamah takut kamu jadi teroris”. Orang tua menawarkan saya untuk masuk pesantren kepada saya. Saya pun menuruti karena juga sangat tertarik dengan dunia pesantren. Akhirnya saya pun masuk di Pondok Pesantren KH. Zainal Musthafa Sukamanah, di Tasikmalaya.
Setelah satu tahun menjadi santri, sedikit demi sedikit pandangan saya berubah, walaupun perlu berbulan-bulan untuk merubah itu. Ketika para ustadz begitu santun, dan Kyai yang mengajarkan kasih sayang. Lingkungan tersebutlah yang akhirnya menyadarkan saya. Dengan pendidikan pesantren yang ramah, eksklusivitas pun berubah menjadi inklusivitas.
Pengalaman tersebut sangatlah berharga bagi saya. Bagaimana tidak, dengan pengalaman tersebut saya menjadi lebih mudah untuk mengenalkan Islam yang ramah dan santun. Saya selalu menceritakan pengalaman tersebut di diskusi-diskusi ataupun percakapan dengan teman. Dengan itu saya dapat menjaga kondisi lingkungan saya dari keislaman yang sangat eksklusif dan berujung intoleran.
Sekarang saya pun mulai harus menjadi bagian untuk melawan pemahaman yang eksklusif terutama di kalangan pemuda yang haus akan keislaman. Namun saya yakin satu hal, untuk melawan pemikiran orang-orang eksklusif ini perlu dengan kasih sayang. Karena benar menurut Martin Luther King, “Hate cannot drive out hare; only love can do that”.
Keislaman yang inklusif-lah yang saya anut. Islam yang ramah, santun dan terbuka. Jika semua ummat muslim berpandangan seperti itu, indah bukan?
Wallahu A’lam.