Dalam sebuah riwayat, pernah ada kisah tentang seseorang yang telah membunuh 99 (Sembilan puluh Sembilan) orang lalu berkeinginan untuk bertaubat. Sayangnya, rencana pertaubatannya menjadi ajang pembunuhan yang terakhir. Pembunuhan itu dilakukannya tatkala ia sedang meminta nasihat kepada seorang ahli agama, tetapi jawabannya justeru memicu emosinya.
Awalnya pembunuh tersebut datang ke seorang ahli agama (yang dibunuh) untuk meminta arahan bagaimana dia harus bertaubat. Si pembunuh bertanya kepada ahli agama, apakah Tuhan masih menerima taubatnya? Lantas si ahli agama malah menekankan bahwa dia telah melakukan dosa besar dan tidak akan diampuni meskipun ia bertaubat. Sontak saja pernyataan tersebut membuat si pembunuh terbakar oleh amarah. Lalu dibunuh lah si ahli agama tersebut.
Setelah itu ia mencari ahli agama yang lain dengan niat untuk bertaubat lagi. Awalnya dia merasa pesimis untuk bertaubat, karena mungkin semua ahli agama sama saja. Namun, ahli agama yang ditemuinya kali ini berbeda. Ucapannya dapat menenangkan hati si pembunuh karena berkata bahwa Tuhan masih mau menerima taubatnya asalkan dia hijrah dari tempat tinggalnya. Menurut ahli agama tersebut desa tempat ia tinggal adalah sarang maksiat sehingga tidak memungkinkan untuk bisa berubah menjadi orang baik. Lalu diikutilah petuah ahli agama tersebut, dia pun berangkat untuk hijrah.
Takdir Tuhan berkata lain, si pembunuh meninggal saat perjalanan akan bertaubat. Lalu malaikat menghitung langkah perjalanannya, apakah lebih dekat ke tempat hijrahnya atau tempat asalnya. Ternyata lebih dekat ke tempat hijrahnya. Sehingga pada akhirnya si pembunuh dapat masuk ke dalam surga.
Cerita ini sungguh memberikan banyak inspirasi, hikmah dan pelajaran bagi kami yang bekerja di dunia kepenjaraan. Saya sering melihat bahwa perubahan yang dialami oleh narapidana itu tidak selalu dengan kata-kata atau nasihat yang menyudutkan serta mengancam, misal mengatakan bahwa perbuatan ini salah kamu harus bertaubat atau kamu sudah berdosa melakukan ini jadi harus segera insyaf.
Namun, ucapan-ucapan yang menyejukan serta memberi harapan-harapan tentang masa depan malah membuat mereka sadar dan mau berubah. Seperti, “Sudah jangan larut dalam penyesalan, masih ada kesempatan kedua,” atau, “Tuhan itu masih mau menerima taubat kita dengan memberikan kita hidup dan kata-kata lainnya.”
Artinya, ketimbang dimarahi dengan berbungkus nasihat, ucapan sederhana tapi menyejukan serta dibungkus dengan empati kemanusiaan itu lebih mengena ke hati narapidana. Tidak sedikit yang berubah karenanya. Lalu pertanyaannya mengapa bisa demikian?
Menurut pengamatan saya sebagai seorang pegawai penjara, proses masuknya narapidana ke penjara itu tidak lepas dari kompleksitas problematika hidup yang mereka alami. Sebenarnya mereka tahu dan paham bahwa tindakannya itu salah serta menyimpang dari nilai-nilai kehidupan masyarakat. Namun kondisi seringkali memaksa mereka untuk melakukan itu. Entah atas dasar kebutuhan, emosi atau bahkan kesehatan dan mental yang tidak stabil.
Alhasil saat diadili pun mereka tetap tidak tersentuh hatinya untuk berubah, hanya sebatas tahu dan meng-iya-kan kesalahan yang telah ia lakukan. Pada akhirnya mereka menganggap akan tetap dimarginalkan oleh lingkungan. Kami sebagai petugas penjara lebih memilih melakukan pendekatan secara humanis dan persuasif daripada menyudutkan mereka dengan berbagai ucapan menyalahkan.
Karena semua orang telah memvonis mereka salah dan mereka pun tahu bahwa mereka bersalah. Namun yang mau membina dan memberikan pencerahan ke arah yang lebih baik sangat sedikit atau mungkin hampir tidak ada. Kadang kita harus bisa menjadi teman yang baik bagi narapidana agar lebih mudah untuk bisa memberi nasihat yang baik. Tujuannya sederhana, agar mewujudkan cita-cita Undang-Undang, yaitu memulihkan kembali narapidana untuk dapat kembali ke masyarakat.
Apa hubungannya dengan cerita di atas? Paling tidak kata-kata, ucapan atau perkataan itu sangat kuat pengaruhnya bagi narapidana dan tidak dipungkiri dapat merubah perilaku seseorang yang dulunya jahat. Adakalanya ucapan yang menenangkan dan mendukung itu lebih baik daripada kalimat mendeskreditkan. Seperti ucapan ahli agama yang menyejukan bagi si pembunuh tadi. Bahkan agama pun menganjurkan agar memperbanyak berkata baik, kalau tidak bisa maka dianjurkan diam. Qul Khoiron Au Yasmuth. (AN)
Wallahu a’lam