Kisahku Bersama Gus Dur Menjelang Subuh

Kisahku Bersama Gus Dur Menjelang Subuh

Ada peristiwa penting menjelang subung di rumah Gus Dur

Kisahku Bersama Gus Dur Menjelang Subuh
Sumber: Tribun Lampung

Menjelang Subuh aku di rumah Gus Dur

Aku tiba di rumah Gus Dur pukul 03.00 dini hari, menjelang subuh. Suasana rumah masih banyak orang yang membaca Al-Quran. Di luar banyak orang menunggu subuh dalam wajah sendu, tak bergairah.

Aku langsung masuk rumah dan menuju tempat di mana Gus Dur dibaringkan.

Di hadapan tubuh yang masih utuh itu, tiba-tiba saja aku teringat kata-kata bijak dalam sebuah buku tasawuf : “Ketika jiwa pergi dalam keadaan bersih, tanpa membawa serta bersamanya hasrat-hasrat rendah duniawi yang menciptakan ketergantungan, yang selama hidupnya selalu dihindari dan tak pernah dibiarkan menguasi diri; menjadi diri sendiri dan menempatkan perpisahan jiwa dari badan sebagai tujuan dan bahan permenungan. Maka jiwa itu telah siap untuk memasuki wilayah kasat mata (‘Alam al-Musyahadah) di mana para bijak-bestari tinggal”.

Ya, itulah jiwa yang telah matang. Itulah dia yang hatinya telah menjadi hati orang-orang yang ditinggalkannya, yang disayangi dan dicintainya. Dia yang telah membagi cintanya kepada mereka yang hatinya remuk-redam, tak berdaya dan tanpa gantungan. Dia yang bicara begitu bebas, polos, tanpa beban, karena tak punya hasrat rendah apapun dan tak tergantung pada siapapun, kecuali kepada Tuhan. Dia yang pikirannya mampu menjangkau masa depan dan melampaui zaman, tetapi yang tetap bisa bertahan dengan kokoh menjalani tradisinya. Dia yang tak pernah gentar untuk melawan setiap tangan tiranik dan korup. Ia yang tak mau kompromi terhadapnya dan tak peduli pada cibiran, cemooh dan sumpah serapah orang kepadanya. Ya, itulah Gus Dur.

Begitu usai, aku masuk ke bagian dalam rumah yang kamar-kamarnya sudah lama saya hapal, baik yang lama maupun yang sekarang ditempati. Aku mencari ibu Shinta. Ibu ternyata sudah di dalam kamarnya yang tampak remang, didampingi tiga putriya, tentu dalam rinai tangis yang mengiris.

Aku tak bisa menemui beliau untuk ta’ziyah, membesarkan hatinya dengan kesabaran dan ketulusan melepas suami tercintanya, orang yang selalu bersamanya dalam suka maupun duka selama berpuluh tahun beribu hari.