Suatu ketika, Abdul Wahid bin Abdul Majid al-Tsaqafi melihat empat orang yang sedang membopong keranda jenazah, tiga di antara mereka laki-laki dan satu orang lagi perempuan.
Melihat kejadian itu, Abdul Wahid segera menghampiri mereka dan menawarkan diri untuk menggantikan posisi perempuan itu. Perempuan itu pun setuju. Akhirnya Abdul Wahid ikut mengusung jenazah itu dan mengantarnya ke pemakaman. Mereka berlima kemudian menyolatkan dan menguburkan sang jenazah.
Sebetulnya sejak tadi Abdul Wahid amat penasaran, dalam hati ia bertanya-tanya “Mengapa hanya ada empat orang yang mengantarkan jenazah itu?”
Namun ia simpan rasa penasarannya hingga proses pemakaman selesai. Setelah usai, Abdul Wahid segera bertanya kepada perempuan yang ikut mengiringi jenazah tersebut
“Siapa jenazah itu?” tanya Abdul Wahid
“Ia adalah anakku,” jawab perempuan itu
“Mengapa hanya empat orang yang mengantar jenazahnya? Apa kamu tidak memiliki tetangga?” tanya Abdul Wahid lagi.
“Ya, aku punya tetangga, tetapi mereka enggan mengiringi jenazah putraku ini, mereka menganggap remeh dan jijik pada anakku.” jawab sang ibu.
“Mengapa?” Abdul Wahid semakin heran
“Sebab putraku adalah waria,” jawab sang ibu. Wajahnya tampak murung mengingat nasib sang anak.
Abdul Wahid lantas mengajak ibu itu untuk bertandang ke rumahnya. Ia juga memberikan dirham, gandum dan pakaian kepada perempuan itu.
Di malam harinya, Abdul Wahid tidur dan bermimpi. Dalam mimpinya, ia didatangi sosok berpakaian putih yang begitu bercahaya, ia bagaikan bulan purnama di tengah malam gelap gulita. Sosok itu kemudian mengucapkan terima kasih kepada Abdul Wahid.
“Siapa kamu?” tanya Abdul Wahid
“Aku adalah waria yang kamu kuburkan tadi. Sekarang, tuhanku merahmatiku karena celaan dan hinaan orang-orang kepadaku” jawab sosok itu.
Disarikan dari kitab Ihya Ulumiddin karya Imam Ghazali dan Risalah al-Qusyairiyah karya Abdul Karim bin Hawazin al-Qusyairi