Menyebut pemeluk agama di luar Islam dengan sebutan “non muslim” sebenarnya “kurang mengenakkan”, karena setiap agama memiliki nama, seperti Kristen atau Yahudi. Dalam tulisan ini terpaksa menggunakan istilah “non muslim” supaya kandungan makna dalam cerita yang patut diteladani ini dapat mencakup ke semua penganut agama di luar Islam, baik itu agama yang lahir dari luar maupun dalam Nusantara sendiri.
Kisah ini terdapat di dalam kitab Al-Kharâj, buku tentang pajak dalam sejarah Islam karya Abû Yûsuf (w. 182 H), seorang ulama besar pengikut madzhab Hanafi.
Al-kisah, suatu ketika Umar bin Khathab lewat di depan pintu rumah salah satu rakyatnya. Terlihat di depan pintu ada seorang tua renta tunanetra. Umar segera menghampiri. Sembari menepuk lengan kakek itu dari belakang, Umar bertanya: “Engkau dari agama apa?” Kakek itu menjawab: “Yahudi.” “Lalu apa yang mendorongmu ke sini?” tanya Umar. “Aku meminta bagian pajak, usiaku sudah tua dan aku membutuhkan uang untuk memenuhi kehidupanku,” jawabnya.
Mendengar jawaban dari pengemis tua itu, Umar segera menggandengnya ke rumah dan Umar memberikan kebutuhannya. Selain itu Umar juga segera memanggil penjaga baitul mal supaya memberikan santunan kepadanya. Kepada penjaga baitul mal, Umar berkata: “Lihatlah kakek ini, berilah ia bagian dari baitul mal. Demi Allah, kita tidak memenuhi haknya. Kita telah memakan uang pajak yang ia berikan saat usianya masih muda, kini ketika ia sudah tua, kita justru menerlantarkannya.” (tt: 139).
Bagi Umar yang saat itu menjadi penguasa atas urusan administrasi umat Islam, siapapun itu, dari agama manapun selama ia membutuhkan maka harus dibantu. Terlebih kakek-kakek peminta itu bagian dari rakyat yang Umar pimpin, Umar merasa telah berbuat zalim dengan tidak memenuhi haknya sebagai warga negara yang dalam usia tua seharusnya diperhatikan “negara”. Bagaimanapun ketika kakek itu masih bekerja, ia memberikan pajak kepada “negara”, tapi kini tenaganya sudah lapuk dimakan usia, maka negara yang harus menanggung kebutuhannya.
Umar mengatakan: “Sedekah harus diberikan kepada orang-orang fakir dan miskin (Innamâ ash-shadaqâtu li al-fuqarâ`i wa al-masâkîn). Kakek ini bagian dari orang miskin.”
Informan kisah di atas, Abû Bakrah, mengatakan: “Aku menyaksikan betul sikap Umar, dan aku melihat orang tua itu.”
Dari kisah di atas, setidaknya ada dua kebijaksanaan atau hikmah yang dapat diteladani dari Umar bin Khathab, salah satu sahabat Nabi Muhammad yang dijanjikan masuk surga.
Pertama; meski Umar menjadi pemimpin di wilayah yang dikuasai umat Islam, namun Umar tetap memperlakukan penganut Yahudi sebagai warga negara yang memiliki hak dan kewajiban yang sama (lahum mâ lanâ, wa ‘alaihim mâ ‘alainâ). Ketika Yahudi itu masih muda dan mampu bekerja, ia terkena kewajiban membayar pajak. Namun ketika tak lagi bisa bekerja lantaran usianya yang sudah tua renta hingga sekedar untuk makan saja tidak ada, Umar memberikannya bagian dari baitul mal.
Kedua; perbedaan agama bukan menjadi penghalang seseorang untuk saling tolong menolong (ta’âwun). Siapapun yang membutuhkan, baik dari orang yang seagama maupun bukan, maka harus ditolong. Pun sebaliknya, siapapun yang mampu menolong, baik itu muslim maupun non muslim maka harus segera ulurkan tangan. Inilah Islam rahmatan li al-‘âlamin, Islam yang kasih sayangnya melampaui sekat-sekat agama dan suku.
*) Penulis adalah Pegiat Komunitas Literasi Pesantren (KLP), tinggal di Bukit Walisongo Semarang