Dalam kehidupan berumah tangga, setiap orang pasti mengingingkan kehidupan yang harmonis. Keharmonisan akan terjadi jika antara suami dan istri mau saling memahami dan menerima kekurangan dan kelebihan masing-masing. Rasulullah Saw. bersabda, “Barang siapa bersabar atas keburukan akhlak istrinya, maka Allah akan memberinya pahala sama seperti pahala yang diberikan kepada Nabi Ayyub atas kesabarannya menahan derita. Dan barang siapa yang bersabar atas keburukan suaminya, maka Allah akan memberinya pahala setara dengan yang diberikan kepada Asiyah, istri Fir’aun.” (HR. Al-Nasa’i dan Ibnu Majah).
Umar memberikan contoh terbaik tentang bagaimana membina rumah tangga yang baik. Meski beliau dikenal sebagai orang yang keras, namun kepada istrinya, beliau sangat lemah lembut dan tidak pernah berbuat kasar apalagi membentaknya. Konon kepribadian Umar yang kasar diwarisi dari ayahnya, al-Khatthab yang juga berwatak kasar dan keras. Umar dibebani ayahnya untuk menggembalakan unta dan kambing dan akan dipukul jika Umar mengabaikan perintah ayahnya. Karena itulah, beliau tumbuh menjadi orang yang kasar.
Meski demikian, kepada istrinya, sifat kasar dan keras itu tidak pernah beliau perlihatkan, demi untuk menjaga hati dan perasaan istrinya, yang punya jasa besar dalam mengasuh dan mendidik anak-anaknya. Kisah rumah tangga Umar ini menggambarkan betapa tinggi budi pekerti sang khalifah dalam menghormati istrinya.
Dalam Uqud al-Lujjain diceritakan bahwa suatu hari, salah seorang sahabat Rasulullah Saw., (ada yang mengatakan bahwa sahabat yang dimaksud adalah Abu Dzar al-Ghifari) stress karena istrinya sering memarahinya. Ia punya niatan untuk menceraikan istrinya, namun sebelum opsi itu ia putuskan, ia ingin berkonsultasi terlebih dahulu dengan kawan terdekatnya, Umar bin Al-Khatthab. Begitulah kebiasaan sang khalifah kepada rakyatnya yang ingin berkonsultasi dengannya.
Namun, ketika sahabat tersebut sampai di teras rumah Umar, secara tidak sengaja ia mendengar istri Umar sedang memarahinya. Nada istri Umar pun meninggi, dan terdengar membeesar-besarkan masalah yang sebenarnya sangat remeh. Namun Umar hanya diam saja. Beliau cenderung pasif dan tidak berkata apa-apa. Sahabat tadi pun bermaksud untuk kembali, ia segera melangkahkan kakinya sambil bergumam, “Kalau khalifah saja seperti itu, bagaimana dengan diriku.”
Tidak lama kemudian, Umar membuka pintu rumahnya dan ketika melihat sahabat tersebut hendak kembali pulang, ia memanggilnya, “Saudara, ada keperluan apa engkau datang ke rumahku?.” Orang itu menjawab, “Kedatanganku sebenarnya ingin berkonsultasi mengenai istriku yang sering marah-marah, namun aku mendengar istri Anda sendiri berbuat yang sama. Aku tidak ingin mengganggu, sementara Anda sendiri sedang ada masalah.”
Umar tersenyum, lalu berkata, “Saudara, mereka adalah istri-istri kita. Aku rela diperlakukan demikian, karena mereka punya hak atas kita. Istriku sering memasakkan makanan untukku dan membuatkan roti untukku. Ia mencucikan pakaian-pakaianku, mendidik dan menyusui anak-anakku, padahal semua itu bukan kewajibannya. Aku cukup merasa tenang tidak melakukan hal yang haram, karena pelayanan istriku. Sebab itulah, aku relakan meskipun dimarahi istriku.” Sahabat tersebut lalu berkata, “Wahai Amir Al-Mukminin, apakah aku juga harus berbuat demikian terhadap istriku?.” Umar menjawab, “Benar, diamlah ketika dimarahi istrimu, karena apa yang dilakukannya tidak akan lama.”
Betapa gembiranya sahabat itu mendapat solusi terbaik dari sang khalifah. Segera ia memohon diri untuk pamit untuk kembali ke rumahnya. Dan sejak itu, sahabat tersebut tidakk pernah bersikap keras terhadap istri dan ia lebih memilih untuk bersikap pasif ketika sang istri memarahinya.