Sudah menjadi fitrah, bahwa manusia memiliki sebuah perasaan cinta. Hal itu menunjukkan bahwa ia merupakan makhluk Tuhan yang diberi sebuah anugerah berupa perasaan. cinta patah hati
Tak ada larangan mencintai dalam Islam. Imam Al-Hafidz Mughluthi (w:762 H) seorang ulama Hanafi bahkan menyebutkan konsensus ulama mengenai legalitas perasaaan cinta dalam Islam. Dalam kitabnya Al-Wadzihul Mubin fiman Istasyhada Minal Muhibbin beliau menuturkan:
وقد أجمع العلماء: أن الحب ليس بمستنكر في التنزيل ، ولا بمحظور في الشرع
“Para ulama telah sepakat: bahwa sesungguhnya perasaan cinta bukanlah merupakan perkara yang dianggap jelek adanya, juga bukan sebuah larangan dalam agama.”
Namun, dalam catatan perasaan cinta tersebut tidak mendatangkan perkara-perkara yang jelas telah diharamkan oleh syariat. Maka dari itu, syariat memfasilitasi perasaan itu dengan sebuah hukum bernama pernikahan, yaitu ketika perasaan cinta tersebut menemukan legalitasnya.
Namun dalam urusan yang satu ini, tak semua orang bisa mendapatkan sesuatu yang didambakanya. Adakalanya ia mencintai seseorang namun yang dicintainya justru menjauhinya dan sebaliknya.
Ada kisah menarik yang dituturkan oleh Abul Qosim Husein bin Muhammad al-Ashbihani dalam Kitab Muhadharat al-Udaba’ wa Muhawarat al-Syuara Vol. 2 hal. 55. Mengenai seorang pemuda yang sedang patah hati.
Suatu ketika di Mekkah terdapat seorang pemuda yang terlihat begitu sedih dan gundah. Badannya kurus, compang-camping tak terurus. Air matanya terlihat begitu deras mengucur, menunjukkan hatinya yang sedang hancur. Melihat hal tersebut, salah seorang ulama menemuinya dan bertanya.
“Mengapa kau begitu sedih seperti ini nak?” tanyanya penuh iba. cinta patah hati
“Ambyar, pak. Aku sedang mempunyai seorang calon istri yang sangat kucintai. Akupun telah memberikan harta yang tak sedikit untuk membuktikan cintaku itu. Namun apa daya, semua perhatianku itu tak membuat ia jatuh hati padaku.”
Sambil melerai air mata yang keluar dari kedua mata pemuda itu, dengan tenang ulama tersebut memberikan petuah cinta padanya.
“Oo begitu nak, tenanglah. Nikmati saja rasa cintamu itu, dan anggaplah itu sebagai bagian dari nikmat dunia. Tak perlu risau dia mencintaimu apa tidak”
Lantas ia melontarkan pertanyaan diplomatis, “Sekarang saya tanya nak, apakah kesehatan, harta, surga yang kau nikmati dan cintai itu juga mencintaimu?”
“Tidak juga,” jawabnya
“begitulah nak, terkadang untuk beberapa nikmat dunia (dan akhirat) kita hanya hanya perlu untuk menikmati rasa itu tanpa perlu memikirkan apakah dia juga merasakan hal yang sama atau tidak, toh kamu masih bisa menikmati semua itu. Jadi nikmati saja!” pesan sang ulama.
Mendapatkan nasehat tersebut, pemuda itu kembali menemui calon istrinya dengan perasaan lega. Ia pun kini tidak mempedulikan bagaimana perlakuan kekasihnya itu padanya. Ia hanya fokus untuk menikmati rasa cintanya itu dan melakulan tugasnya sebagai seorang pecinta. Hingga tiba lah suatu masa ketika Allah SWT merubah perasaan kekasihnya itu, yang bermula benci kini menjadi cinta. Keduanya pun hidup bahagia.
Begitu sederhana logika yang dipakai ulama tersebut dalam menasihati sang pemuda. Ia memposisikan perasaan tersebut hanya sebagai salah satu objek nikmat Allah yang perlu disyukuri, hingga keberadaanya pun mesti dinikmati, karena sebesar apapun nikmat itu dan dalam bentuk apapun kalau tidak dinikmati dan disyukuri hanya akan melahirkan rasa hampa.
Cara berpikir seperti ini tentunya perlu dimiliki semua orang. Karena kini, banyak yang mendewakan perasaan. Menganggap perasaan cintanya merupakan ‘nyawa’ kehidupannya. Sehingga ketika perasaannya bertepuk sebelah tangan, tak segan ia mengakhiri hidupnya dan menganggap hidupnya sia-sia.
Selain itu sang ulama juga mengajarkan untuk tidak mengingkari sebuah perasaan. Sesakit apapun rasanya tidak dicintai tentu tak elok rasanya jika harus menolak dan mengingkari perasaan sendiri. Karena hal itu sama saja dengan mengingkari fitrah diri.
Dari sini saya jadi teringat kredo Ibnu Hazm al-Andalusi dalam Kitab Thuqul Hamamah fi al-Ulfah wa al-Aalaf ketika mendefinisikan cinta:
الحب اوله هزل واخره جد
“Cinta (pada hakikatnya) bermula dari permainan dan diakhiri dengan kesungguhan.”
Saya tidak ingin menafsirkan perkataan Ibnu Hazm di atas, namun hanya sebagai pengingat bagi saya bahwa terkadang cinta itu datang seperti permainan —tak diduga duga—. Namun untuk mengikat itu perlu sebuah kesungguhan. (AN)
Wallahu a’lam.