Satu waktu, Ubaidlillah bin Abi Nuh pergi ke suatu pulau. Di sana ia bertemu dengan seorang lelaki ‘abid (ahli ibadah). Tak ada orang lain di pulau tersebut selain lelaki itu. Ubaidillah bin Abi Nuh bertanya, “apa yang engkau lakukan seorang diri di sini, apakah engkau tidak merasa kesepian?”
“Kesepian di luar sana (selain di sini) justru lebih banyak,” jawab lelaki itu penuh kebijaksanaan.
“Sejak kapan kamu di ini?” tanya Ubaidillah lagi.
“Aku di sini sejak 30 tahun yang lalu,” lelaki ‘abid itu menjawab.
Mendengar jawaban itu, Ubaidillah kembali bertanya, “lantas, darimana kamu dapat makanan?”
“Dari sang mun’im (Zat yang Maha memberi nikmat/Allah Swt),” jawab si lelaki ‘abid tersebut.
Ubaidillah bertanya lagi, “apakah di sini ada suatu hal yang jika kamu butuh makan, kamu mendatanginya?”
“Sungguh heran dan sedih aku melihatmu. Kamu masih saja khawatir terhadap hal-hal yang telah ditanggung dan dicukupi,” jawab lelaki ‘abid menerangkan.
Karena tak paham atas apa yang telah dijelaskan, Ubaidilah bertanya lagi, “Maksudnya?”
“Aku tidak memiliki apa-apa selain yang kamu lihat. Aku hanya bertawakkal dan berlindung kepada Zat yang tidak mengantuk dan tidak tidur (Allah),” lelaki itu menjelaskan.
Setelah memberikan penjelasan itu, entah karena apa, lelaki tersebut berteriak kencang sekali. (Teriakan lelaki tersebut karena ia ingat terhadap kebaikan Allah yang selalu “siap” menolongnya dan menjadi tempat berlindung baginya, pen.).
Teriakan lelaki tersebut sontak membuat Ubaidillah ketakutan dan akhirnya melompat untuk menghindar. Setelah berteriak, lelaki itu kemudian jatuh pingsan dan Ubaidillah bin Abi Nuh pun menginggalkannya.
Siluet kisah tersebut bersumber dari kitab Shifat al-Shafwah karangan Ibnu Jauzi. Tidak saja tentang garansi rezeki setiap orang, tetapi kita juga bisa belajar bahwa mereka yang telah bersama Allah akan selalu tenang dan tak akan pernah merasa sendiri, meski dalam keadaan sendiri dan secara zahir penuh dengan keterbatasan. Hal ini karena hati mereka telah sibuk dengan dzikir (mengingat) Allah Swt.
Mereka telah sampai ke derajat seperti itu (yang hatinya selalu bersama Allah) tak akan pernah disibukkan oleh urusan dunia. Waktu mereka tak akan pernah ia gunakan hanya untuk mencari popularitas agar dikenal banyak orang. Bagi mereka, tidak lah penting menjadi tidak dikenal oleh penduduk bumi, yang terpenting bagi mereka adalah dikenal oleh penduduk langit. Majhulun fi al-ardli wa ma’lumun fi al-sama’ (tidak terkenal di bumi namun terkenal di langit). Mereka tenang dan senang karena bisa bersama Allah kapan dan di mana saja.
Sebaliknya, mereka yang hanya sibuk mencari posisi di sisi manusia, yang sampai membuatnya lupa kepada Allah, pasti hatinya akan selalu galau dan sedih, meski ada banyak harta, kedudukan, dan popularitas yang dimiliki.
Allah Swt. berfirman:
“Ingatlah, wali-wali Allah itu tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati” (QS. Yunus [10]:62)
Dalam tafsir Mahasin al-Takwil, al-Qasimi menjelaskan bahwa kata awliya’ adalah jama’ dari kata wali, yang merupakan lawan kata dari kata ‘aduw (musuh). Wali bermakna kekasih. Namun, pada ayat ini juga bisa bermakna sebagai pelaku, yakni orang yang mencintai Allah.
Oleh karenanya, tidak ada rasa takut sama bagi mereka yang telah menjadi wali Allah (mencintaiNya dan atau dicintaiNya), baik takut dari kehinaan di dunia dan atau ancaman dahsyatnya siksa di akhirat.
Juga, mereka tak pernah besedih hati manakala hal-hal duniawi milik mereka hilang. Mereka yakin, apa yang akan mereka dapatkan dari Allah jauh lebih besar dan lebih banyak. Begitu kurang lebih yang penulis pahami dari tafsir al-Muntakhab.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa bagi mereka yang sudah mencintai dan dicintai Allah dengan maksimal, posisi di dunia dan ancaman siksa di akhirat tak lagi menjadi beban pikiran mereka. Mereka sudah asyik beribadah dan bersama Allah Swt. Hati mereka sudah penuh dengan cinta kepadaNya, sehingga tak ada lagi tempat untuk memikirkan (apalagi mencintai) selainNya. Wallahu a’lam.