Di suatu perkampungan, ada seorang pemuda yang sering meresahkan masyarakat. Ia sering membuat onar dan karenanya membuat masyarakat di kampungnya geram. Bahkan, sangking begitu geramnya, masyarakat sampai bersepakat untuk mengusirnya.
Hari itu, terjadilah pengusiran kepada si pemuda. Ibu dari si pemuda itu menangis melihat apa yang sedang diamali oleh anaknya. Namun, mau bagaimana lagi, ia tak bisa berbuat apa-apa.
Adalah Abu Umar yang sedang berjalan melintasi perkampungan tersebut melihat tragedi pengusiran itu. Melihat itu, hatinya bergejolak dan ingin menolongnya. Akhirnya, ia meminta kepada masyarakat agar membatalkannya.
“Untuk kali ini saja, bebaskan dia, karena aku. Jika setelah ini, ia masih saja berbuat onar, maka terserah kalian!” kata Abu Umar.
Beberapa hari kemudian, ia melewati perkampungan itu lagi. Di salah satu rumah di sana, ia mendengar ada suara tangisan seorang wanita tua. Ia menduga jangan-jangan si pemuda berbuat onar lagi dan karenanya ia diusir dari kampungnnya.
Abu Umar akhirnya mengetuk pintu rumah itu. Ia bertanya ada apa gerangan sehingga sang wanita tua itu menangis. Sang ibu pun menjelaskan bahwa anaknya telah meninggal dunia.
“Bagaimana kondisinya?” tanya Abu Umar penasaran.
“Ia berkata kepada saya…,” kata si ibu tua menjelaskan.
“Jangan engkau kabarkan kematianku ini kepada masyarakat. Aku telah melukai hati mereka. Mereka pasti sangat memusuhi aku. Juga, mereka pasti juga tidak akan datang ke sini,” si ibu menirukan apa yang dikatakan anaknya kepadanya.
Si ibu juga mengatakan kepada Abu Umar wasiat lain dari anaknya, yakni tentang permintaann agar cincin milik pemuda itu juga ikut dikuburkan bersama jenazahnya. Cincin itu bertuliskan kalimat “bismillah”. Si pemuda itu juga mewasiatkan agar ibunya mendoakannya agar Allah mengasihinya.
Si ibu pun melakukan wasiat itu dengan baik. Setelah proses pemakaman selesai, si ibu mendengar suara anaknya dari dalam kubur,“wahai ibu, pulanglah, aku telah berada di sisi Tuhanku yang Maha Mulia,” kata anak itu.
Kisah di atas tertera dalam kitab Syarah Ratib al-Hadad, karya Al-Habib ‘Alawi bin Ahmad bin al-Hasan bin Abdillah bin ‘Alawi al-Hadad Ba’alawi.
Syaikh Zakariiya bin Muhammad al-Anshari, masih dalam kitab yang sama, menjelaskan kisah di atas menunjukkan beberapa hal, yaitu: (1), si pemuda telah bertaubat dengan taubat yang balighatan (taubat yang “sampai” atau taubatan nashuha); (2) ia tabarukan (ngalap berkah) dengan nama Allah; dan (3) memohon pertolongan dengan nama Allah dan dengan doa ibunya.
Dari kisah di atas, kita bisa membaca betapa pentingnya taubat bagi seseorang. Allah Swt. berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya)….” (QS. Al-Tahrim [66]: 6)
Fakhruddin al-Razi, dalam tafsir Mafatih al-Ghaib, mengatakan bahwa yang dimaksud dengan “taubatan nashuha” adalah taubat yang membuat pelakunya tidak lagi kembali mengerjakan perbuatan (kesalahan) yang telah ia taubati.
Sebagaimana dikutip al-Baghawi dalam tasfirnya, Al-Kalbiy mengatakan bahwa taubatan nashuha adalah jika seserorang membaca istighfar dengan lisannya, menyesali perbuatannya dengan sepenuh hati, dan mencegah badannya dari melakukan kesalahan.
Dari penjelasan di atas kita bisa membaca bahwa taubat adalah kesungguhan hati untuk tidak lagi mengulangi kekhilafan yang telah dikerjakan. Itu dibuktikan dengan lisan yang memohon ampun dan anggota badan yang tidak lagi bermkasiat.
Kesalahan bagaikan keringat yang pasti dimiliki oleh seseorang. Hanya orang yang “mandi” saja yang akan bersih. Nah, taubat itu bagikan mandi, akan bisa membersihkan dosa-dosa yang ada. Ketika seseorang telah bertaubat, maka ia kembali seperti semula: tidak memiliki dosa sama sekali.
Nabi Muhammad Saw bersabda,
“Orang yang bertaubat dari dosa seperti orang yang tidak ada dosa baginya, dan orang yang meminta ampunan dari dosa namun ia masih melakukan dosa itu, maka ia seperti orang yang menghina Tuhannya.” (HR. Al-Baihaqi)