Seorang pemuda dari Khurasan, sebut saja Fulan, ingin berpindah tempat tinggal di Bahsrah. Ia membawa banyak uang, sepuluh ribu dirham. Beberapa saat tinggal di Bashrah, ia memiliki keinginan untuk menunaikan ibadah haji.
Uangnya yang begitu banyak tak mungkin ia bawa semua ke Mekkah. Ia berinisiatif untuk menitipkan uang tersebut kepada seseorang yang amanah. Ia pun mencari siapa yang akan ia amanahi uang tersebut. Setelah tanya kesana kemari, akhirnya ia mendapat rekomendasi satu nama, seorang ulama: Habib Abu Muhammad al-Ajami.
Di hadapan Habib al-Ajami, ia mengutarakan maksud kedatangannya, “Saya Fulan, lelaki dari Khurasan yang kini tinggal di Bashrah. Saya akan pergi haji. Saya bermaksud menitipkan uang ini kepada Anda untuk dibelikan rumah. Kelak, sepulang dari ibadah haji, saya akan meminta pertanggungjawaban Anda atas uang ini”.
Habib al-Ajami memiiliki pandangan dan pemahaman berbeda atas amanat itu. Uang itu akan ia belikan rumah, namun tidak di dunia, melainkan di surga, lengkap dengan segala fasilitasnya. Uang itupun ia belikan gandum dan disedekahkan kepada mereka yang membutuhkan.
Tindakan Habib al-Ajami yang akan menyedahkan uang tersebut membuat teman-temannya protes. Pasalnya, sepemahaman teman-temannya, uang itu hendaknya hendaknya dibelikan rumah di dunia.
Namun, Habib al-Ajami memberi penjelasan mengagumkan, “Uang itu akan saya belikan rumah di surga. Jika kelak, rumah yang saya beli itu tidak ada, maka saya akan menggantinya seratus persen.”
Sepulang dari haji, Fulan mememui Habib al-Ajami untuk meminta pertanggungjawaban. “Apakah uang itu sudah dibelikan rumah? Jika belum, maka berikan saja kepadaku!. Aku akan membelinya sendiri”
“Sudah. Uang itu saya gunakan untuk memebli rumah di surga. Rumah tersebut sangat mewah. Ada istana, pepohonan, taman-taman, buah-buahan, dan sungai-suangi,” jawab Habib al-Ajami.
Fulan menceritakan ihwal rumah itu kepada istrinya. Mereka berdua bisa menerima tindakan Habib al-Ajami. Hannya saja, sang istri memohon kepada Fulan untuk meminta jaminan kepada Habib al-Ajami, berupa pernyataan tertulis. Permintaan itu dikabulkan. Habib al-Ajami segera memanggil juru tulis dan menyuruhnya menuliskan beberapa kalimat penting.
“Ini adalah pernyataan tertulis bahwa Habib al-Ajami telah membeli rumah dari Allah SWT untuk Fulan, lengkap dengan segala fasilitasnya. Oleh karenanya, Allah SWT dimohon untuk memberikan rumah tersebut kepada Fulan. Dan dengan ini, berarti Habib al-Ajami tertebas dari segala tanggungannya,” begitu kurang lebih isi surat tersebut.
Empat puluh hari setelahnya, Fulan meninggal dunia. Sebelumnya, ia telah berwasiat kepada istrinya untuk memasukkan surat dari Habib al-Ajami itu ke dalam kain kafan yang membungkus tubuhnya.
Setelah dikebumikan, tiba-tiba ada sebuah kertas dari kulit di atas makam Fulan. Kertas tersebut bertuliskan, “Habib al-Ajami telah terbebas dari tanggungjawabnya. Allah SWT telah benar-benar memberikan rumah kepada Fulan.”
Membaca kertas tersebut, Habib al-Ajami meneteskan air mata sembari berkata kepada teman-temannya, “Ini adalah surat dari Allah bahwa saya telah terbebas dari segala tanggungjawab kepada Fulan”.
Kisah ini penulis baca dari kitab ‘Uyun al-Hikayat karya Ibnu Jauzi. Harus diakui, memang kisah ini tidak masuk akal. Namun begitulah para kekasih Allah SWT dan para kekasihnya, memiliki hubungan spesial.
Kisah di atas juga mengajarkan kepada kita betapa pentingnya sedekah. Harta yang benar-benar menjadi milik kita adalah bukan yang kita gunakan, namun apa yang kita sedekahkan. Semoga Allah beri kemampuan kita untuk selalu bersedekah. Amin.
Sumber:
Ibn al-Jauzi, Jamaluddin Abi al-Farj bin. ’Uyun al-Hikayat. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2019.
[1] Jamaluddin Abi al-Farj bin Ibn al-Jauzi, ’Uyun al-Hikayat (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2019), 219.