Keimanan itu pasang-surut. Umat islam mengenalnya dengan istilah yazid wa yankus untuk menjelaskan bahwa keimanan seorang muslim itu terkadang naik dan turun. Ia merupakan barang sakral bagi seseorang yang percaya bahwa segala sesuatu di dunia ini tunduk di bawah Dzat Yang Maha Kuasa. Dan, ini kisahku menemukan iman dan islam di kampus non-muslim.
Tentu saja, soal kualitas dua hal ini, kita tidak punya hak untuk menghakimi keimanan seseorang. Hanya Tuhan dan yang bersangkutan saja yang betul-betul mengerti sejauh mana level iman seseorang. Karenanya narasi penting saban Salat Jumat adalah Khotib yang tak pernah lelah mengingatakan “marilah kita tingkatkan kualitas keimanan kita”. Ya, karena memang seteras Khatib sidang Jumat rahimakumullah sekalipun tetap tidak memiliki hak prerogatif untuk menakarnya.
Itu tadi sederet kesimpulan ketika mendengar kisah kawan saya yang merantau dan memilih Jogja sebagai jangkar berprosesnya. Satu keputusan yang saya kira sangat berani dan patut diapresiasi. Secara, dia perempuan. Bukan berarti saya memandang gender dengan sebelah mata, atau apalah itu. Dan demi itu, izinkan saya melanjutkan ini.
Sebut saja fitri—dengan sangat berat hati demi keamanan yang bersangkutan, saya tidak menyebut identitas lengkapnya. Yang jelas, secara karir pendidikan dia merupakan seorang sarjana dari rahim salah satu kampus Islam di Bukit Tinggi, Sumatera Barat.
Untuk perempuan muslim yang dibesarkan oleh budaya dengan adat istiadat cukup ketat dan syariat sentris, keputusan melanjutkan sekolah di sebuah kampus Katholik adalah manuver warbyasah. Berbekal informasi dari teman sekampung yang pernah kuliah di Jogja, dia melabuhkan pilihan untuk meneruskan Kajian Bahasa Inggris di Universitas Sanatha Dharma (USD) Yogyakarta. Sebuah kampus yang sejauh ini masyhur dengan konsentrasi English-nya.
Dan jangan kira pilihan itu tanpa risiko. Apalagi dia ‘sebatangkara’ di tanah rantau. Tidak ada sanak famili. Sekalipun ada, itu juga lumayan berjarak. Bogor, tempat kakaknya membina keluarga kecil bersama sang suami. Dengan kata lain, satu-satunya yang menjadi rujukan sosialnya di Jogja adalah beberapa kawan sedaerah yang sama-sama mencari ilmu di kota pendidikan ini.
Saya sempat tesentak ketika dia menuturkan jika di luar sana masih ada banyak orang yang diberi anugerah keterkagetan menghadapi realitas heterogenitas. Lebih parah, jika keterkagetan itu ditopang oleh rasa curiga sehingga memicu kebencian terhadap mereka yang berbeda. Dia sendiri mengaku sempat keki ketika kali pertama menyapa atmosfer USD dan melihat begitu melimpah ruah simbol-simbol keagamaan non-Muslim yang bolehjadi asing dalam benaknya.
Walau bagaimanapun kekekian itu saya kira cukup beralasan. Pasalnya, apa dia jumpai di Jogja nyaris berbanding-terbalik dengan potret keseharian kampung halamannya. Bahkan, sewaktu menempuh kuliah strata satu, dia pernah mendapati seorang pengajar yang mensyaratkan takaran baik-tidaknya nilai sebuah pelajaran adalah ketika seorang murid mampu mengaplikasikan ilmunya untuk mengislamkan seorang Kristen. Kalau saya tidak salah ingat, dia sedang bercerita tentang pengalaman mengikuti kelas semacam seni bicara dalam konteks kajian sastra.
Lebih jauh, Fitri menuturkan jika di tumpah darahnya, orang sangat simpatik dengan apa-apa yang berhubungan dengan Islam.
“Lhoh, bukannya itu baik?” Saya pun penasaran.
Sayang, dia mengutarakan sebaliknya. Di daerahnya paparan kecenderugan tekstualis dalam beragama cukup dominan—atau paling tidak mereka yang ada di sekitar fitri. Ironinya, paparan yang mensponsori semangat keberagamaan menggebu itu tidak diimbangi dengan kesadaran kritis dalam mengkonsumsi bandangnya arus informasi. Alhasil, hoax, ujaran kebencian dan apa-apa yang bersumber dari media sosial nyaris dipandang absah-legitimatif dan dipuja laiknya dalil-dalil agama. Batas-batas antara yang profan dan sakral pun seolah menjadi kabur.
Saya disuguhi contoh tentang sudut lain dari kasus Ahok. Suatu kali dia mengikuti rangkaian diskusi publik yang Buya Syafi’i Ma’arif menjadi salah satu pembicara di forum itu. Kepada saya, Fitri mengaku, bahwa awalnya tidak kenal siapa itu Buya Syafi’i. Sampai seorang teman sedaerah yang mengajaknya berangkat ke forum itu mengingatkan kepada sesuatu.
“Itu lhoo, Buya Syafi’i yang waktu itu sempat heboh karena bilang Ahok tidak menista agama” tuturnya menirukan apa yang dikatakan temannya tersebuut.
Fitri mengaku, sewaktu Aksi Bela Islam pecah, dia masih di Bukit Tinggi alias belum hijrah ke Jogja. Dan konon, memang sempat ramai, baik di grup-grup WA maupun linimasa media sosialnya tentang Buya Syafi’i Ma’arif yang digunjing oleh sebagian kenalan sebayanya.
“Sayangnya, alih-alih mencari tahu atau merenungi ada apa gerangan, yang terjadi mereka justru ikut-ikutan merayakan caci-maki dan terjebak stigma pasar setamsil: liberal, tidak layak menyandang gelar Buya laiknya Buya Hamka, sesat, serta pikiran-pikiran ngeres lainnya. Sementara semua itu dilakukan oleh beberapa temanku, begitu saja, tanpa pernah merasa berdosa. Minimal pandangan etis sebagai yang lebih muda menghormati orang tua,” tegasnya seraya meraba memori masa lalu.
Belakangan, dia mulai menyadari bahwa anggapan tu memang tak berdasar. Sama seperti anggapan tentang apa yang sebelumnya dia imajinasikan mengenai stigma negatif kepada non-Muslim itu ternyata juga tidak benar. Setidaknya berdasar apa yang dia lihat dan alami.
“Ntah kenapa, aku seolah menemukan imanku justru di kampus Katholik. Secara, temenku kini semakin beragam. Tidak hanya Islam. Dan rasa-rasanya aku justru semakin rajin sembahyang sejak di Jogja. Baik wajib lima waktu, maupun ibadah sunah lainnya.
Di tempat belajar saat ini, Fitri merasa bahwa keimanannya justru meningkat. Kampus yang berbeda agama dengan dirinya tidak membuat sosoknya yang berubah. Teman-temannya justru kerap mengingatkannya jika waktu sholat atau semacamnya. Bahkan, tak jarang saling berdiskusi tentang agama masing-masing dan bertukar pikiran.
“Toh kalau ngampus aku juga gaperlu khawatir. Ada fasilitas untuk kita Salat yang, kalau menurutku justru sangat menghargai ritual sembahyang seorang Muslim. Semuanya baik. Tidak ada kecurigaan,” pungkasnya.
Ya, Fitri tidak sendirian. Barangkali, di luar sana juga banyak yang mengalami hal serupa dengannya dan menganggap non-muslim atau orang yang berbeda lainnya sebagai musuh, bukan sebaliknya. Semoga saja tidak begitu.