Alkisah, suatu hari Khalifah al-Manshur sedang menyampaikan khutbah dengan menangis tersedu-sedu. Tiba-tiba, ada seorang laki-laki berdiri dan berkata, “Wahai sang pemberi ceramah dan nasehat, engkau memerintahkan sesuatu yang engkau sendiri tidak melakukannya dan melarang sesuatu yang engkau sendiri melakukannya. Mulailah dari diri engkau sendiri, kemudian baru menasehati orang lain.”
Mendengar perkataan tersebut,Khalifah al-Manshur pun memandangi laki-laki tersebut serta memperhatikannya cukup lama. Sebagaimana dijelaskan dalam Uyun Hikayat min Qashash ash-Sholihin karya Ibnul Jauzi, Khalifah lalu memotong khutbahnya sejenak dan berkata kepada salah seorang pengawalnya yang bernama Abdul Jabbar, “Hai Abdul jabbar, bawa orang itu bersamamu.”
Abdul Jabbar lantas membawa orang tersebut, dan khalifah melanjutkan khutbahnya hingga selesai, lalu dilanjutkan dengsan shalat.
Setelah itu, Khalifah memanggil Abdul Jabbar dan bertanya, “Bagaimana kabar orang itu?.”
Abdul Jabbar pun menjawab, “Saya menahannya, wahai Amirul Mukminin.”
Khalifah kemudian memerintahkan Abdul Jabbar seraya berkata, “Lepaskan dia, kemudian coba tawari dia dunia. Jika dia menolak, berarti dia benar-benar tulus menyampaikan nasehatnya hanya karena Allah dan nasehatnya itu betul-betul bagus. Akan tetapi jika ternyata dia tertarik kepada dunia dan menginginkannya, maka saya akan menghukumnya dan memberinya pelajaran yang akan membuatnya jera, sehingga dia tidak lagi yang berani bersikap lancang kepada para Khalifah dan mencari dunia dengan amal akhirat.”
Abdul Jabbar kemudian melaksanakan perintah Khalifah. Dia lalu pergi dan menyuruh anak buahnya memanggil laki-laki tersebut sekaligus menyediakan makan siang untuknya.
Ketika Abdul Jabbar bertemu dengan lelaki tersebut, dia pun bertanya, “Apa yang mendorongmu melakukan hal seperti itu?”
Lelaki tersebut menjawab, “Hak Allah yang ada di pundakku, lalu saya tunaikan hak itu kepada khalifahnya.”
Kemudian Abdul Jabbar berkata kepadanya, “Mendekatlah dan silakan makan.”
Lelaki itupun menjawab, “Saya tidak menginginkan makanan itu.”
Mendengar jawaban lelaki tersebut, Abdul Jabbar kembali merayu, “Silakan makan saja, tidak apa-apa, selama memang niat dan tujuanmu baik.”
Laki-laki itupun akhirnya mendekat dan memakan hidangan makan siang yang disediakan. Setelah memakannya, ternyata dia menyukainya.
Setelah itu, Abdul Jabbar membiarkannya selama beberapa hari. Kemudian, dia kembali memanggilnya seraya berkata, “Amirul Mukminin sepertinya lupa kepadamu, sementara engkau berada di penjara. Apakah engkau menginginkan seorang sahaya perempuan yang bisa menghiburmu supaya engkau tidak merasa kesepian?”
Lelaki itu pun menjawab, “Baiklah, saya tidak keberatan.”
Lantas, Abdul Jabbar memberinya seorang sahaya perempuan. Setelah menerima semua pemberian tersebut, Abdul Jabbar membiarkannya beberapa hari. Setelah itu, Abdul Jabbar kembali mendatanginya, dan berkata, “Kamu telah bersedia memakan hidangan yang kami sajikan dan bersedia menerima sahaya perempuan yang kami tawarkan. Apakah engkau bersedia kami beri pakaian untukmu dan keluargamu jika memang engkau mempunyai keluarga. Juga uang yang bisa engkau pergunakan untuk memenuhi kebutuhanmu selama masa penantianmu untuk dipanggil oleh Amirul Mukminin?”
Ternyata, lelaki itu pun tertarik. Dia pun menjawab, “Baiklah, saya tidak keberatan.”
Mendengar jawaban lelaki tersebut. Abdul Jabbar kembali bertanya, “Maukah engkau melakukan suatu jasa baik yang bisa mendekatkan engkau kepada Amirul Mukminin?”
“Apa itu?“, tanya si lelaki penuh penasaran.
Abdul Jabbar lalu menjawab, “Saya akan mengangkat engkau sebagai polisi, sehingga engkau menjadi salah satu pegawai kekhalifahan yang bertugas menegakkan Amar Ma’ruf Nahi Munkar.”
Lelaki yang dulu pernah menasehati Khalifah itu pun menerima semua tawaran tersebut. Dan Abdul Jabbar pun mengangkatnya sebagai polisi.
Melihat semua tawaran diterima oleh lelaki tersebut. Abdul Jabbar kemudian menemui Khalifah dan berkata, “Laki-laki yang pernah mengkritik engkau dulu itu, lalu engkau menyuruhku menahannya, ternyata bersedia memakan hidangan yang saya sajikan, bersedia menerima pakaian dan uang yang saya tawarkan, senang dengan fasilitas yang saya berikan dan bersedia menjadi salah satu pejabatmu. Jika engkau mau, saya akan menyuruhnya masuk menghadap dengan mengenakan pakaian orang Syiah.”
Khalifah pun menjawab, “Ya, lakukan!”
Abdul Jabbar kemudian keluar dan menemui laki-laki tersebut seraya berkata, “Amirul Mukminin memanggimul untuk menghadap kepadanya. Saya telah melaporkan kepadanya bahwa engkau saat ini sudah menjadi salah satu pegawainya sebagai polisi. Pergilah menghadap kepadanya dengan mengenakan pakaian yang dia sukai.”
Abdul Jabbar kemudian menyerahkan seragam resmi berupa jubah, belati yang diselipkan di tengah dan pedang tergantung di samping kepada lelaki tersebut untuk dipakai. Lelaki tersebut lalu mengenakan seragam tersebut. Tidak lupa, dia juga membiarkan rambutnya terurai menjuntai. Setelah itu, dia pun masuk menghadap Amirul Mukminin seraya mengucapkan salam, “Assalamu’alaika, wahai Amirul Mukminin.”
Khalifah pun menjawab, “Wa’ailaka. Bukankah engkau yang dulu berdiri menyampaikan nasehat kepada kami di tengah orang banyak ketika saya sedang berkhutbah?”
“Betul.” Jawab si lelaki kepada Amirul Mukminin al-Manshur.
Khalifah kemudian bertanya kepadanya, “Lantas, kenapa engkau berpaling dan meninggalkan jalanmu sebagai pemberi nasehat?”
Lelaki itu pun menjawab, “Wahai Amirul Mukminin, setelah saya berpikir dan merenung, ternyata saya telah keliru mengatakan perkataan tersebut dan saya melihat bahwa yang benar adalah ikut berperan, serta membantu engkau dalam menjalankan amanat kekuasaanmu.”
Mendengar jawaban lelaki tersebut, Khalifah pun berucap, “Benarkah apa yang engkau katakan itu?! Tidak mungkin! Engkau keliru! Engkau telah terjatuh ke dalam lubang jebakan! Hari itu, di saat engkau menyampaikan kata-kata tersebut, kami merasa segan kepadamu dan kami berpikir bahwa engkau melakukan hal itu secara tulus hanya karena Allah, sehingga kami membiarkanmu. Akan tetapi, setelah semuanya jelas, bahwa ternyata engkau melakukan itu semua karena menginginkan dunia, maka kami memutuskan untuk menjadikanmu sebagai pelajaran bagi yang lain agar tidak ada lagi orang yang berani bersikap lancang kepada para Khalifah.”
Lantas Khalifah berkata kepada Abdul Jabbar, “Hai Abdul Jabbar, seret keluar orang ini dan penggal lehernya!”
Abdul Jabbar kemudian menyeret orang itu keluar dan membunuhnya dengan memenggal lehernya. Begitulah ketika seseorang memberi nasehat kepada orang lain, namun hanya untuk tujuan dunia bukan akhirat. Atau memberi nasehat untuk cari perhatian kepada manusia (para pejabat), supaya dijadikan orang terdekat. Sebab, niat yang tidak tulus karena Allah swt dalam memberikan nasehat justru akan berujung petaka sebagaimana kisah yang ada di atas.