Hari Senin 12 Rabbiulawwal 11 Hijriah menjelang Dhuha, Usamah bin Zaid mengunjungi Rasulullah Saw. Karena Rasulullah Saw sudah sangat lemah, beliau mendoakan Usamah dengan isyarat.
Setelah itu Abdurrahman bin Abu Bakar masuk ke kamar dengan memegang kayu siwak. Rasulullah Saw memandangi siwak yang dipegang Abdurrahman.
Melihat itu Aisyah bertanya, “Maukah aku ambil untukmu Yaa Rasulullah?”
Rasulullah Saw pun mengangguk. Kemudian Aisyah memberikan siwak kepada Rasulullah Saw, setelah sebelumnya dilunakkan dulu ujungnya. Rasulullah Saw kemudian bersugi.
Dalam satu riwayat lain diriwayatkan, Rasulullah Saw bersugi sepuas-puasnya. Pada waktu itu ada sebuah bejana berisi sisa air dari tujuh sumber mata air yang diminta Rasulullah Saw. Rasulullah memasukkan tangannya kemudian menyapukan air ke wajahnya sambil berkata, “Sesungguhnya kematian ini ada sekaratnya.”
Tidak berapa lama kemudian Rasulullah Saw mengangkat tangannya dengan jarinya menunjuk ke langit diikuti dengan pandangan mata sayu, beliau seolah mengenang sabda : “inna fii al-jasadi al-muzhgha, wa fii muzhghah qalb, wa fii qalb fuad, wa fii fuad ruuh, wa fii ruuh sirr, wa fii sirr akfa, wa fii akfa ana_ (aku). Ini saat ana (aku) kembali kepada Ana (Aku) sejati dengan melalui tujuh selubung ke-aku-an diri”.
Saat itu turunlah Malaikat maut untuk menunaikan perintah Allah SWT. Dia menyamar sebagai seorang manusia. Setelah sampai di depan pintu kediaman Rasulullah Saw, Malaikat Maut pun berkata, “Assalamualaikum wahai ahli rumah Kenabian, sumber wahyu dan risalah!”
Fatimah keluar menemui orang tersebut dan berkata kepada tamunya itu, “Wahai Abdullah (hamba Allah), Rasulullah sekarang dalam keadaan sakit.”
Tak bergeming Malaikat maut itu memberi salam lagi, “Assalamualaikum, bolehkah saya masuk?”
Rasulullah Saw mendengar suara Malaikat maut itu, lalu beliau bertanya kepada puterinya Fatimah, “Siapakah yang ada di muka pintu itu?”
Fatimah menjawab, “Seorang laki-laki memanggil Rasulullah. Saya katakan kepadanya bahwa Rasulullah dalam keadaan sakit. Kemudian dia memanggil sekali lagi dengan suara yang menggetarkan jiwa.”
Rasulullah bersabda, “Tahukah engkau siapakah dia?”
Fatimah menjawab, “Tidak wahai Rasulullah.”
Rasulullah Saw pun menjelaskan, “Wahai puteriku Fatimah, dia adalah pengusir kelezatan, pemutus keinginan, pemisah jamaah dan yang meramaikan kubur,” setelah itu Rasulullah melanjutkan, “Masuklah, wahai Malaikat Maut.”
Maka masuklah Malaikat Maut itu sambil mengucapkan, “Assalamualaika ya Rasulullah.”
Rasulullah Saw pun menjawab, “Waalaikassalam ya Malaikat Maut. Engkau datang untuk berziarah atau untuk mencabut nyawaku?”
Malaikat Maut menjawab, “Saya datang untuk ziarah sekaligus mencabut nyawa. Jika tuan izinkan akan saya lakukan. Jika tidak, saya akan pulang.”
Rasulullah Saw bertanya, “Wahai Malaikat Maut, di mana engkau tinggalkan Jibril?”
Malaikat Maut menjawab, “Saya tinggalkan dia di langit dunia.”
Baru saja Malaikat Maut selesai bicara, tiba-tiba Jibril datang lalu duduk di samping Rasulullah Saw . Maka bersabdalah Rasulullah Saw, “Wahai Jibril, tidakkah engkau mengetahui bahwa ajalku telah dekat?”
Jibril menjawab: “Ya, wahai kekasih Allah.”
Dengan pandangan sayu Rasulullah Saw memandang Jibril sambil bersabda, “Beritahu kepadaku wahai Jibril, apakah yang telah disediakan Allah untukku di sisiNya?”
Jibril pun menjawab, “Bahawasanya pintu-pintu langit telah dibuka, sedangkan malaikat-malaikat telah berbaris untuk menyambut ruuhmu.”
Rasulullah bersabda, “Segala puji dan syukur bagi Tuhanku. Wahai Jibril, apa lagi yang telah disediakan Allah untukku?”
Jibril menjawab lagi, “Bahawasanya pintu-pintu Surga telah dibuka, dan bidadari-bidadari telah berhias, sungai-sungai surga telah mengalir, dan buah-buahan surga telah ranum, semuanya menanti kedatangan ruuhmu.”
Rasulullah Saw bersabda, “Segala puji dan syukur untuk Tuhanku. Beritahu lagi wahai Jibril, apa lagi yang disediakan Allah untukku?”
Jibril menjawab, “Aku memberikan berita gembira untuk tuan. Tuanlah yang pertama-tama diizinkan sebagai pemberi Syafaat al-Udhma pada hari kiamat nanti.”
Kemudian Rasulullah Saw bersabda, “Segala puji dan syukur aku panjatkan untuk Tuhanku. Wahai Jibril beritahu kepadaku lagi tentang kabar yang menggembirakan aku.”
Jibril bertanya, “Wahai kekasih Allah, apa sebenarnya yang ingin tuan tanyakan?”
Rasulullah Saw menjawab, “Tentang kegelisahanku. Apakah yang akan diperoleh oleh orang-orang yang membaca Alquran sesudahku? Apakah yang akan diperoleh orang-orang yang berpuasa pada bulan Ramadhan sesudahku? Apakah yang akan diperoleh orang-orang yang berziarah ke Baitul Haram sesudahku?”
Jibril menjawab, “Saya membawa kabar gembira untuk Rasulullah. Sesungguhnya Allah telah berfirman: Aku telah mengharamkan surga bagi semua Nabi dan umatnya, sampai engkau dan umatmu memasukinya terlebih dahulu.”
Maka berkatalah Rasulullah Saw , “Sekarang, tenanglah hati dan perasaanku. Wahai Malaikat Maut dekatlah kepadaku.”
Malaikat maut pun mendekati Rasulullah Saw.
Ali yang berada di samping Rasulullah Saw bertanya, “Wahai Rasulullah, siapakah yang akan memandikan Rasulullah dan siapakah yang akan mengkafaninya?”
Rasulullah Saw menjawab, “Adapun yang memandikan aku adalah engkau wahai Ali, sedangkan Ibnu Abbas menyiramkan airnya dan Jibril akan membawa hanuth (minyak wangi) dari dalam Surga.”
Kemudian Malaikat maut pun mulai mencabut nyawa Rasulullah Saw.
Ketika ruh Rasulullah sampai di pusat perut, Rasulullah Saw berkata, “Wahai Jibril, alangkah pedihnya maut.”
Mendengar ucapan Rasulullah Saw itu, Jibril memalingkan wajahnya.
Lalu Rasulullah Saw bertanya, “Wahai Jibril, apakah engkau tidak suka memandang wajahku?”
Jibril menjawab, “Wahai Rasulullah, siapakah yang sanggup melihat wajah kekasih Allah yang sedang merasakan sakitnya maut?”
Akhirnya ruh suci nabi yang mulia naik ke dada menyatu dengan cahaya terpuji (Nur Muhammad), naik ke punggung tempat tanda nubuwah diletakkan. Begitulah, ruh suci yang memancarkan cahaya nubuwah itu pun meninggalkan jasad Rasulullah Saw. Innalillahi wa innailaihi roji’un.
Kisah ini terdapat dalam kitab As-Sirah An-Nabawiyah li lbni Hisyam karya Syekh Abu Muhammad Abdul Malik bin Hisyam Al-Muafiri terbitan Darul Fikr.