Baginda Rasul pernah mendatangi rumah Fatimah RA. Putrinya terkasih ini melapor, “Sejak tiga hari silam kami belum merasakan makan sama sekali.”
Mendengar demikian, Rasul membuka penyingkap perut mulianya, tampak batu tertali kuat menempel di sana. “Fatimah, jika engkau baru tiga tak makan, ayahmu ini sudah tak makan empat hari,” jawabnya.
Rasulullah langsung keluar meninggalkan kediaman Fatimah seraya berkata,”Betapa sedih atas duka yang diderita kedua cucuku, Hasan dan Husain.”
Rasulullah terus menyusuri jalan hingga keluar dari komplek perumahan penduduk Madinah. Ia mencari pekerjaan kesana kemari. Tiba-tiba, Nabi bertemu seorang A’rabiy, orang desa pedalaman berada di samping sumur yang sedang berusaha mencari air di sana. Ia tak tahu jika ia sedang kedatangan dan berbincang bersama orang paling mulia di dunia ini, ia bertemu salah seorang Nabi. Wajar saja, lelaki ini belum pernah mengenal Nabi Muhammad sama sekali sebelumnya.
“Hai, Pak, adakah pekerjaan yang bisa kulakukan agar aku dapat upah?” Tawar Rasulullah.
“Aada” tegas orang pedalaman itu.
“Apa, Pak?”
“Bisakah kauambilkan air dari sumur ini?”
Timba disodorkan pada Rasulullah, lalu beliau menjalankan tugas yang diamanatkan. Dalam kesepakatan, dalam setiap satu timba, Rasulullah diberi upah tiga biji kurma. Dahulu, belum ditemukan teknologi timba kérék dan ember plastik, jadi cukup berat dijalankan. Apalagi sumur cukup dalam dan timba berukuran cukup besar.
Setelah selesai satu timba pertama, Rasulullah segera meminta upah. Ia menerima tiga biji kurma dan segera dimakan sebagai penutup lapar. Lalu melanjutkan pekerjaan menimba sampai pada timba ke-delapan. Ketika sampai timba ke-sembilan, tali timba tiba-tiba putus “dhèl”. Timba jatuh ke dasar sumur. Rasulullah berdiri, bingung dengan keadaannya sekarang.
A’rabiy yang menyuruhnyapun tiba-tiba juga datang, marah bukan kepalang lalu tangan kanannya menempeleng Kanjeng Nabi “wheeengh, plak” mendarat persis di muka Rasulullah. Namun, bagaimanapun, sebagaimana kesepakatan semula setiap timba dapat tiga kurma, Rasululah yang telah menyelesaikan delapan timba kemudian mendapatkan upah 24 biji kurma.
Kurma-kurma itu diterima Nabi. Sebagai tanggungjawab, beliau mengulurkan tangannya begitu saja ke dasar sumur, lalu timba diambil tanpa alat bantu. Mukjizat. Lalu beliau berikan kembali kepada pemiliknya tanpa marah sedikitpun. Tak lama, Rasulullah beranjak dari tempat itu.
A’rabiy ini terpekur, ia berpikir. “Ini tadi pasti seorang Nabi,” begitu gumamnya dalam hati.
Lalu Ia mengambil pisau, tangan kanan yang sebelumnya dibuat menempeleng Nabi, langsung dipotong. Darah mengucur deras keluar. Ia pingsan di samping sumur tadi. Ada serombongan lewat. Lelaki yang ditemukan pingsan itu lalu diperciki air sampai ia siuman dan kembali sadar. Mereka menanyakan ihwal kejadian yang baru saja dialami.
“Apa yang terjadi, Kisanak?”
A’rabiy menjawab,”Aku habis menempeleng dahi seseorang, kemudian aku mengira bahwa dia adalah Muhammad. Aku takut bila aku akan mendapat siksa karena itu. Kupotong tanganku yang kubuat menempeleng ini,” ujarnya, sesenggukan.
Tangan kiri lelaki pelosok desa ini lalu mengais tangan kanannya sendiri yang telah lepas dari tubuh. Ia menuju masjid, berteriak “Hai sahabat-sahabat Muhammad. Mana Muhammad?”
Di dalam masjid terdapat Abu Bakar, Umar dan Usman RA sedang pada duduk. Semuanya bertanya, “Kenapa engkau tanya tentang Muhammad?”
“Aku punya urusan dengannya” teriak A’rabiy.
Salman datang menghampiri, tangan a’rabiy dituntun ‘sowan’ menuju Ndalem Fatimah RA. Di dalam sana, Rasulullah sedang memangku Hasan di atas paha sebelah kanan sedangkan Husain di paha kiri. Rasulullah menyuapi kedua cucunya dari kurma yang telah ia dapatkan dari peluh keringatnya sendiri.
Orang pedalaman ini berteriak, suaranya jelas terdengar dari dalam “Hai Muhammad!”.
Di dalam, Rasul memanggil Fatimah. “Coba tengok. Siapa orang yang di depan pintu!”
Fatimah keluar. Ia mendapati A’rabiy dalam kondisi di mana tangan kirinya membawa tangan kanan yang putus sedang darah terus menetes ke bawah. Ia kembali. Melapor pada Ayahanda, melaporkan apa yang baru saja ia tangkap.
Rasulullah lantas berdiri seketika. Setelah di antara keduanya bertemu, lelaki ini berkata “Hai Muhammad, maafkan aku!, aku memang belum mengenal siapa dirimu”
“Nah, lalu kenapa kau potong tanganmu sendiri?”
“Aku tak akan membiarkan tangan yang pernah menempeleng wajahmu”
Rasulullaj menyahut tegas “aslim, taslam” masuklah Islam. Kau akan selamat.
“Hai Muhammad, jika kau memang benar-benar Nabi, tolong kembalikan tanganku ini!”
Nabi mengambil tangan orang itu, ia letakkan di anggota badan sebagaimna mestinya, disambung, diusap dengan tangan Nabi nan mulia dan diludahi Kanjeng Nabi “pyuh pyuh”
Tangan itu kemudian seperti sedia kala. A’rabi masuk Islam. Alhamdulillah. Wallahu a’lam.
Syihabuddin Al Qolyuby, An Nawadir, 36-37