Perceraian merupakan hal yang tentu tidak diinginkan oleh setiap pasangan suami istri. Namun persoalan rumah tangga terkadang mengharuskan perceraian sebagai solusi paling baik. Marah dan emosi sesaat adalah salah satu penyebabnya. Hafsah binti Umar, istri ke-4 Rasulullah pun demikian. Ia harus menerima kenyataan pahit ketika Rasulullah menceraikannya.
Hafsah adalah putri sulung Umar bin Khattab, buah hati dari pernikahannya dengan Zainab binti Mazh’un, adik kandung Utsman bin Mazh’un, salah seorang cendekiawan Arab zaman Jahiliyyah yang kemudian menjadi sahabat Nabi. Hafsah lahir beberapa hari setelah Fathimah, putri bungsu Rasulullah lahir. Bertepatan dengan peristiwa dibangunnya Ka’bah kembali oleh orang-orang Quraisy setelah roboh karena banjir, atau kira-kira 5 tahun sebelum diutusnya Nabi Muhammad.
Hafsah besar dengan mewarisi sikap ayahnya. Kepribadiannya kuat dan ucapannya tegas. Ia juga pandai membaca dan menulis di saat budaya tersebut tidak lazim dimiliki oleh kaum perempuan. Hafsah pernah ditunjuk Abu Bakar untuk membantu proses pengumpulan mushaf-mushaf al-Qur’an, karena waktu itu ia termasuk salah seorang sahabiyah yang hafal keseluruhan al-Qur’an.
Ketika Hafsah semakin dewasa, seorang pemuda shalih bernama Khunais bin Hudzafah al-Sahami melamarnya. Umar menerima lamaran pemuda itu atas puterinya dan Hafsah pun sangat bahagia. Mereka akhirnya menikah. Namun kebahagian Hafsah dan Khunais tidak berlangsung lama. Allah menghendaki Khunais terbunuh secara syahid di Badar.
Peristiwa itu membuat Hafsah sangat berduka. Umar tak menyangka puterinya telah menjadi janda diusiannya yang belum genap 20 tahun. Sampai pada suatu hari, kesedihan Umar tak terbendung lagi. Ia keluar dari rumah puterinya dalam keadaan menangis tersedu-sedu sambil mempercepat jalannya untuk pulang. Tak disangka di tengah perjalanan, ia bertemu dengan Utsman bin Affan yang waktu itu berstatus duda, karena Ruqayyah binti Rasulullah telah wafat mendahuluinya. Lalu Umar menawarkan Hafsah kepada Utsman. Namun Utsman menolak dengan mengatakan, “Aku belum ingin menikah saat ini.”
Untuk itu, Umar mendatangi Abu Bakar dan menawarkan Hafsah kepadanya. Umar berharap sahabat dekatnya itu tidak menolak tawarannya. Namun Abu Bakar justru diam dan tidak menjawab apa-apa. Menghadapi sikap kedua sahabatnya itu, Umar kecewa bercampur marah. Kesedihannya bertambah teringat nasib puterinya. Kemudian Umar menemui Rasulullah dan mengadukan kekecewaannya. Maka Rasulullah bersabda kepadaya, “Hafsah akan menikah dengan orang yang lebih baik dari Abu Bakar dan Utsman. Dan Utsman akan menikah dengan perempuan yang lebih baik dari Hafsah.”
Umar begitu bahagia mendengar sabda tulus dari Nabinya. Ini pertanda bahwa ada laki-laki terbaik yang akan menggantikan posisi Khunias di hati puterinya. Namun Umar masih bertanya-tanya siapa gerangan laki-laki terbaik itu. Tapi itu tak digubris, yang terpenting bagi Umar, Rasulullah telah menyiapkan laki-laki terbaik untuk puterinya.
Itu artinya, duka Hafsah akan segera terobati. Hingga suatu hari, Rasulullah datang ke rumahnya dan bermaksud melamar Hafsah. Kebahagiaan tampak dari wajah Umar. Senyum lebar mulutnya tak tertahan lagi. Ia segera memberitahu kabar gembira tersebut kepada sahabat-sahabatnya.
Pertama kali yang Umar temui adalah Abu Bakar. Abu Bakar memberi selamat dan menyampaikan permohonan maafnya. Ia berkata, “Umar bin Khattab, sahabatku, jangan marah. Sungguh aku mendengar Rasulullah menyebut nama Hafsah. Hanya saja aku tidak mau membuka rahasia beliau. Seandainya Rasulullah menolak Hafsah, pasti akau akan menikahinya.”
Umar mengangguk-anggukkan kepalanya. Pertanda ia menerima permohonan maaf Abu Bakar. Ia juga sadar bahwa alasan penokan Utsman untuk menikahi Hafsah karena Utsman masih berduka kehilangan istrinya, Ruqayyah dan bermaksud menyunting adiknya, Ummu Kultsum sehingga nasabnya terus menyambung dengan Rasulullah.
Rasulullah pun menikah dengan Hafsah pada bulan Sya’ban tahun ketiga Hijriyyah. Dan beliau juga menikahkan puterinya, Umu Kultsum dengan Utsman bin Affan pada bulan Jumadil Akhir di tahun yang sama.
Di rumah Rasulullah, Hafsah ditempatkan di kamar bersama Aisyah dan Saudah. Namun kehidupan bukanlah sinetron, yang dapat direkayasa. Selalu ada ujian dalam kehidupan, agar seseorang menjadi dewasa. Dan kedewasaan itu akan menghasilkan kearifan dalam memandang kehidupan. Demikian yang dialami Hafsah bersama Rasulullah.
Berawal dari sikap cemburu Hafsah kepada Mariyah Qibthiyah, menyebabkan Rasulullah harus marah kepadanya. Mariyah adalah istri Rasulullah yang merupakan gadis budak pemberian raja Muqauqis dari Mesir. Kata Qibthiyyah yang disematkan di belakang namanya adalah karena Mariyah adalah mantan Kristen aliran Koptik. Meski sudah memeluk Islam, dia tetap dikenal dengan nama Mariyah Qibthiyah.
Rasulullah marah kepada Hafsah ketika suatu hari Mariyah datang menemui Rasulullah di rumah Hafsah. Saat itu Hafsah tidak ada di rumah, karena sedang pergi ke rumah ayahnya untuk suatu keperluan. Begitu Hafsah datang, dan pintu kamar tertutup, sementara Rasulullah dan Mariyah berada di dalam, Hafsah menangis penuh amarah tak kuasa menahan cemburu.
Rasulullah berusaha membujuk dan meminta maaf. Bahkan beliau mengharamkan Mariyah baginya dan bersumpah untuk tidak dekat-dekat lagi dengan Mariyah. Namun beliau meminta agar Hafsah merahasiakan kejadian tersebut.
Apa dikata. Cemburu yang menguasai diri Hafsah membuatnya lupa daratan. Ia memberitahukan kejadian itu kepada Aisyah, dan dengan cepatnya berita itu menyebar, hingga sampai kepada Rasulullah. Maka, beliau sangat marah. Sebagian riwayat menyebutkan bahwa setelah kejadian itu, Rasulullah menceraikannya.
Namun karena Allah tidak menginginkan perceraian itu, beberapa hari kemudian Rasulullah merujuknya, karena Jibril mendatanginya dan menyuruh beliau untuk mempertahankan Hafsah sebagai istrinya karena Hafsah adalah wanita yang banyak berpuasa dan banyak ibadahnya. JIbril berkata, “Jangan ceraikan Hafsah, karena ia adalah wanita yang banyak berpuasa dan beribadah dan ia akan menjadi istrimu di surga.”
Kisah ini disarikan dari “Umm al-Mukminin Hafsah binti Umar bin al-Khatthab” karya Khalid al-Hamudi