Dalam sejarah Islam, Rasulullah pernah marah kepada para sahabat yang berpotensi menegakkan hukum secara tidak adil. Kisah ini diceritakan oleh istri beliau, Sayyidah Aisyah.
Suatu ketika, para sahabat saling bertanya lantaran ada seorang bangsawan perempuan dari sebuah suku terpandang dari Bani Makhzum, terbukti mencuri.
Para sahabat berpikir, perempuan ini sepertinya harus dikurangi hukumannya lantaran kedudukannya dan hendak meminta hal itu kepada Rasulullah. Namun, tidak ada seorang pun sahabat yang berani minta hal ini secara langsung kepada Nabi.
Akhirnya, para sahabat ini berunding dan mengutus Usamah bin Zaid, seorang sahabat yang dianggap dekat dengan Nabi.
Para sahabat mengutus Usamah untuk menyampaikan perkara hukum terkait perempuan dari Bani Bakhzum tersebut, serta bagaimana seharusnya menghukumi perempuan tersebut.
Diriwayatkan, Rasulullah ketika mendengar hal ini marah kepada para sahabat lantaran penegakan hukum harusnya dilakukan seadil mungkin.
Rasul bersabda,“Wahai manusia, sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah, apabila seorang bangsawan mencuri, mereka biarkan, tetapi bila ada orang lemah dan miskin mencuri, mereka tegakkan hukuman kepadanya.
Demi Allah, andaikan Fatimah putri Muhammad mencuri, niscaya aku potong tangannya.” (HR: Ibnu Majah).
Hal itu dilakukan Nabi Muhammmad di depan banyak orang dan para sahabat pun akhirnya memahami ini.
Peristiwa ini dalam sejarah Islam disebut merupakah bentuk ketegasan Rasulullah SAW soal hukum.
Beliau tidak takut menerapkan hukum kepada siapapun, baik kaya maupun miskin. Sebab tanda kehancuran suatu kaum adalah hukum yang tidak ditegakkan.
Hukum tidak boleh tumpul ke atas, tapi tajam ke bawah. Hukum tumpul kepada para pejabat dan orang kaya namun tajam kepada orang-orang miskin dan lemah.
Bahkan, Nabi memberikan analogi dengan menyebutkan sumpah, bahkan ketika putri tercintanya berbuat salah secara hukum, makai ia sendiri yang akan memberikan hukum baginya, seberat hukuman yang harusnya diterima. Wallahu a’lam.