Suatu hari Rasulullah SAW didatangi seorang petani miskin yang menyuguhkan sepiring anggur di hadapan Rasul sambil berkata, “Ya Rasul, anggur ini saya tanam berkat hasil kerja keras saya sendiri. Saya ingin menyedekahkan ini, agar dapat dinikmati oleh Rasulullah.” Ini adalah cita-cita, Rasul makan anggur hasil jerih payahnya.
Rasul tersenyum menerima tawaran tersebut dengan mengucapkan terima kasih kepada petani miskin tersebut.
Orang tua miskin itu menyaksikan Rasul makan dan menikmati anggur-anggur di atas piring tersebut. Para sahabat di sekelilingnya bertanya-tanya mengapa Rasul menikmati hidangan anggur itu sendirian, tanpa mempersilakan sahabat lain untuk ikut menikmatinya.
Sikap Rasul mengundang tanda-tanya dalam beberapa saat. Karena tidak seperti biasanya Rasul makan dan menikmati hidangan makanan tanpa menawarkan sahabat lain untuk ikut-serta menikmatinya.
Setelah Rasul makan hidangan anggur itu hingga habis, petani miskin tersebut pamit meninggalkan Rasul dengan rasa puas. Tak berapa lama, Rasul pun menjelaskan kepada para sahabat mengapa beliau menghabiskan hidangan anggur itu sendirian.
“Ketahuilah bahwa rasa anggur-anggur itu kecut dan pahit. Sengaja saya habiskan hidangan itu sendirian karena khawatir kalian akan mencibir dan menertawakan anggur yang dihidangkan petani itu.”
Perbincangan sederhana antara Rasulullah dan para sahabat itu mencerminkan bagaimana sikap dan akhlak Rasul dalam menyikapi makanan. Kita tidak boleh cemberut dan bermuka-masam dalam menyikapi makanan yang terhidang di hadapan kita.
Jika kita suka nikmatilah, tetapi jika tidak suka tetap harus menghargai usaha dan jerih-payah seseorang yang berniat baik untuk memberikan hidangannya kepada kita, baik dari tetangga, saudara, terlebih hidangan makanan yang disodorkan istri atau orang tua kita sendiri.
Itulah salah satu cermin dari sikap rahmatan lil alamin. Nampak sangat kontras dengan sikap keseharian dari sebagian masyarakat yang begitu mudahnya mengumbar caci-maki. Kalau seseorang dengan gampangnya mengumbar amarah dan kedengkian kepada manusia sebagai makhluk dan khalifah di muka bumi, dapat kita pastikan bahwa ia akan mudah meremehkan hewan, apalagi terhadap benda yang tak bernyawa seperti makanan dan minuman di hadapannya.
Pernah juga, suatu kali Rasul menerima pemberian dari seorang saudagar kaya-raya saat penaklukan kota Mekah (Fathu Makkah), yakni beberapa baju sutera berkancing emas. Rupanya dalam soal pakaian Rasul tidak ingin terlihat mencolok dari para sahabat lainnya. Beliau tak mau menampilkan diri laiknya raja yang bertahta bermahkota, kemudian duduk di atas singgasana, sementara rakyatnya tertunduk-tunduk sambil duduk menggelosor di hadapannya. Akhirnya beliau membagi-bagikan baju sutera tersebut untuk para sahabat, disisakan satu potong baju sutera yang kemudian diberikan pula kepada Miswar bin Makhramah (H.R Bukhari No. 2895).
Ketika pasar-pasar diramaikan oleh para pengunjung dan konsumen yang sibuk memilih pakaian terbaik untuk perayaan Idul Fitri, selayaknya kita berkaca pada kepribadian Rasul dalam menyikapi pakaian.
Nilai fitri seakan jauh dari pemaknaan rohani, bahwa berpuasa sebulan penuh dapat membawa seorang hamba kepada hati dan qolbu yang mengalami metamorfosis kepada nilai-nilai kebaikan dan kesantunan.
Baju taqwa yang ditegaskan dalam Alquran benar-benar dihayati dalam jiwa Rasul, hingga nampak bertolak-belakang pemaknaannya dengan baju luar yang melekat di badan, yang mudah menggelincirkan manusia pada sikap ujub dan riya.
Sedangkan Rasul sangat berhati-hati (wara) apabila dirinya kelihatan lebih mentereng daripada para sahabat. Bahkan ketika kedatangan para kepala suku dari pedalaman Arab, para tamu terkaget-kaget menyaksikan Rasulullah duduk sama tinggi bersama mereka.
Dalam bayangan mereka, sosok Rasulullah, Sang Nabi akhir zaman itu akan menyambut mereka dengan mengenakan mahkota mewah, duduk di atas singgasana laiknya para raja-raja besar. Tapi dugaan mereka meleset, karena Rasul justru berpakaian sederhana, duduk bersila bersama mereka.
Pernah juga para sahabat minta penjelasan Aisyah mengenai karakter Rasul yang berbudi pekerti luhur, berprilaku seperti akhlaq Al-Quran. Di samping penyantun, pemaaf, dan dermawan, dalam kepribadian Rasul tebersit jiwa kejujuran dan kesederhanaan hidup. Hal inilah yang membuat para ulama membedakan antara hanya membaca Al-Quran dengan sembari menjiwai atau mentadabburi Al-Quran.
Pada yang kedua itu sudah terkandung makna filosofis tentang penghayatan dari pesan Al-Qur’an yang teraplikasi dalam tingkahlaku dan amal perbuatan. Jadi bukan semata-mata tadarus secara seremonial, atau mengaji Al-Qur’an secara lateral dan harfiah belaka.
Tapi boleh-boleh saja jika ada kelompok pengajian yang hendak membantah tulisan ini, lantas melalui salah satu juru bicaranya mengatakan bahwa membaca satu huruf dari Al-Quran sudah banyak pahalanya, terlebih satu ayat, surat hingga juz-juz dalam Al-Qur’an.
Namun masalahnya, bila kita sibuk berdalil tentang pahala dan ganjaran membaca Al-Qur’an, dengan mengabaikan penafsiran luhur dan mendalam yang dapat diaplikasikan dalam tingkah laku dan karakter bangsa, bukankah dengan begitu seakan ada pemisahan antara keselamatan hidup di dunia dengan di akhirat kelak? Bukankah keselamatan dan kebahagiaan hidup di dunia ini identik dengan keselamatan hidup di akhirat juga?
Lalu, sasaran apa yang ingin dicapai dari kesibukan atau kefasihan lomba mengaji Al-Qur’an, bila seusai perhelatan tetap terjadi saling gontok-gontokan antar penganut agama dan kepercayaan lain, sambil mengabaikan sikap kesantunan, kebhinekaan, penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, yang merupakan bagian dari cermin akhlak Al-Quran yang teraplikasi dalam sikap dan karakter Rasulullah SAW?
Kiranya tepat apa yang disampaikan orang-orang bijak bahwa ayat-ayat suci Al-Qur’an hanya dapat dipahami oleh orang-orang yang jiwa dan pikirannya jernih. Ia akan sulit ditangkap bagi jiwa-jiwa kotor yang terselimuti kabut hawa nafsu, kesyirikan, kedengkian dan keangkuhan diri.
Hal ini dapat disimpulkan bahwa jiwa-jiwa yang merdeka, bersih dan lapang, akan mudah terhubung dengan ayat-ayat Allah SWT. Inilah yang dimaksud dari ungkapan Aisyah tentang kesesuaian akhlak Rasul yang dapat mengaplikasikan ayat-ayat Al-Qur’an secara kontekstual. (AN)
Wallahu a’lam.