Bung Karno marah besar. Setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965, gelombang demonstrasi datang silih berganti. Salah satu kelompok yang getol berunjuk rasa adalah Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Ia bertekad bulat untuk membubarkan organisasi Islam yang didirikan oleh para mahasiswa IAIN Yogyakarta itu.
Untunglah, sang proklamator menceritakan rencana itu pada orang kepercayaannya, Johannes Leimena. Om Yo, begitu ia akrab disapa, seorang putra Ambon yang beragama Kristen Protestan itu mencegahnya.
“Jangan, Bung. Ingat cita-citamu dulu: nasionalis, agama, komunis!” ujarnya. Bung Karno pun menjadi tenang dan mengurungkan tekadnya yang sebelumnya sudah bulat itu. Lama sesudah itu Leimena ditanya Ridwan Saidi, mengapa ia mencegah Bung Karno membubarkan HMI? Leimena menjawab, “Pembubaran HMI sangat melanggar HAM.”
Leimena adalah contoh nyata tokoh bangsa yang bersahabat dengan tokoh bangsa lain yang berbeda agama. Paling tidak ia punya dua sahabat dekat: Mohammad Natsir yang beragama Islam dan Ignatius Joseph Kasimo yang beragama Kristen Katolik. Secara ideologis pun mereka berbeda paham. Natsir dengan Partai Masyumi-nya bermimpi mewujudkan syariat Islam di Indonesia. Kasimo lewat Partai Katolik mengusung semboyan “100% Katolik, 100% Indonesia!” Leimena adalah seorang dokter yang lihai dalam perundingan dan negosiasi.
Mundur ke belakang, sekitar tahun 50-an, meletuslah Pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang berambisi menjadikan Indonesia sebagai negara Islam. Ketika pemberontakan ini dapat dipadamkan, Masyumi yang waktu itu merupakan partai Islam terbesar di Indonesia dituduh turut terlibat dalam pemberontakan itu.
Leimena berusaha ikut mencegah dan mempertahankan Masyumi yang dipimpin oleh Natsir, sahabatnya itu, agar tidak dibubarkan Bung Karno. Alasan Leimena sama: membubarkan Masyumi itu melanggar HAM. Sayang upayanya gagal karena pada 13 September 1960, Masyumi dibubarkan pemerintah Soekarno.
Antara Natsir dan Kasimo jelas ada jurang perbedaan paham. Kasimo tidak berusaha mengkatolikkan Indonesia. Ia menganjurkan orang Katolik agar sungguh-sungguh menjadi orang Indonesia. Sebaliknya Natsir lebih mementingkan syariat Islam agar diterapkan di Indonesia. Mereka sering berselisih paham dalam rapat parlemen dan konstituante karena memperjuangkan keyakinannya masing-masing. Namun begitu keluar dari ruang rapat, mereka kembali bersahabat dan bercengkrama akrab. Mereka juga tidak mengajak para pendukungnya untuk menyerang pihak lain.
Persahabatan dan kedekatan Natsir dan Leimena dapat dirasakan dari tulisan obituari untuk mengenang Leimena yang wafat pada 29 Maret 1977. Natsir memuji Leimena sebagai orang yang lembut hati. Leimena dianggapnya sebagai patriot bangsa sekaligus pemimpin umat Kristen karena menganjurkan, “Soal yang terpenting bagi orang Kristen yang berasal dari Maluku ialah memeluk agama Kristen dan menjadi seorang warga negara Indonesia.”
Ini adalah penegasan yang penting untuk memberi arah bagi umat Kristen yang merasa tidak sepenuhnya orang Indonesia karena agamanya dibawa dari Barat. Berkat itu umat Kristen meyakini bahwa menjadi Kristen sekaligus menjadi orang Indonesia bukanlah dua hal yang bertentangan.
Baik Natsir, Leimena, maupun Kasimo, ketiganya telah dianugerahi gelar Pahlawan Nasional. Natsir paling dahulu diangkat sebagai Pahlawan Nasional, yakni pada 2008. Leimena kemudian menyusul pada 2010. Sementara Kasimo mendapat penghargaan yang sama pada 2011.
Alangkah indah dan mengharukan persahabatan di antara tiga pahlawan nasional berbeda agama dan ideologi politik tersebut, bukan? Para politisi dan negarawan Indonesia masa kini semestinya banyak belajar dari para pendahulu ini. Agama boleh berbeda. Pilihan politik boleh berbeda. Ideologi politik boleh berbeda. Namun, semua itu tidak boleh menghalangi persahabatan dan keinginan yang sama, yakni memberikan yang terbaik untuk Indonesia. Perbedaan juga tidak boleh dijadikan alasan atau alat untuk menyerang pihak lain, seperti yang dewasa ini kerap kita jumpai.
Wallahu A’lam.