Ketika bulan Zulhijah hampir tiba, Fulan, sebut saja begitu, meminta izin kepada majikannya untuk melaksanakan ibadah haji. Majikannya tersebut, selain kaya raya juga merupakan seorang penguasa di kawasan Khurasan.
Sayang, izin tersebut tidak mendapat disetujui.
“Kenapa?,” tanya Fulan ingin mengetahui alasannya.
“Saya sebenarnya mengizinkanmu, namun dengan satu syarat,” jawab sang majikan.
Fulan pun menanyakan apa syarat itu. Sang majikan menjawab, “Saya akan memberangkatkanku berhaji bersama beberapa orang, pelayan, dan beberapa unta. Nanti, berziarahlah ke makam Nabi dan sampaikan kalimat ini, “Saya berlepas diri dari dua orang yang dimakamkan di samping engkau”.
(Dua orang yang dimaksud sang majikan itu adalah sayidina Abu Bakar dan sayidina Umar bin Khattab, pen.)
Meski merasa janggal dengan pesan sang majikan, namun Fulan tidak bisa apa-apa. Ia menyetujuinya dengan berat hati. Toh, ia hanya bertugas menyampaikan. Juga, ia yakin, Allah Maha Mengetahui isi hatinya yang sebenarnya (Fulan tidak setuju dengan pesan yang disampaikan itu).
Sampai di Madinah, ia langsung berziarah. Namun, ia merasa tidak tega menyampaikan pesan majikannya itu. Singkat cerita, ia lantas tertidur di depan makam. Dalam mimpinya, makam yang di depannya itu terbuka. Nabi, Abu Bakar, dan Umar bin Khattab keluar dari dalam makam.
“Wahai Fulan, mengapa engkau tidak menyampaikan pesan dari majikanmu itu kepadaku?,” tanya Nabi.
“Saya malu,” jawab Fulan.
Nabi pun lantas mengatakan bahwa Fulan akan selamat sampai ia pulang dan bertemu sang majikan. Nabi juga nitip pesan kepada sang majikan, “Allah dan saya (Nabi) berlepas diri dari orang yang berlepas diri dari kedua sahabatku ini”.
Tak hanya itu, Nabi juga menyatakan bahwa sang majikan akan meninggal dunia empat hari setelah ia (Fulan) tiba di Khurasan. Sejurus kemudian, ia terbangun. Fulan merasa bersyukur karena tak perlu lagi merasa malu untuk menyampaikan pesan sang majikan.
Setelah menyelesaikan seluruh rangkaian ibadah haji, Fulan pun pulang ke Khurasan, rumah sang majikan. Dua hari pertama, sang majikan masih menutup mulut. Tidak kerso berbicara dengan Fulan. Fulan pun juga tidak berani membuka pembicaraan terlebih dahulu.
Baru, ketika hari ketiga, sang majikan menanyakan bagaimana tentang pesannya tempo hari itu, apakah sudah disampaikan atau belum.
“Sudah,” jawab Fulan.
Sang majikan menanyakan bagaimana jawabannya (Nabi). Awalnya, Fulan tak mau mengatakan apa yang disampaikan Nabi menyangkut nasib majikannya itu. Namun, karena sang majikan terus memaksa, akhirnya Fulan akhirnya buka suara.
Apa yang dialami selama di depan makam Nabi, semua diceritakan Fulan kepada sang majikan. Hingga, ketika Fulan menirukan sabda Nabi, “Sampaikan kepada majikanmu Allah dan saya (Nabi) berlepas diri dari orang yang berlepas diri dari kedua sahabatku ini”, sang majikan tertawa pura-pura.
Ia malah berkata, “Kami berlepas diri dari mereka (Abu Bakar dan Umar) dan mereka (Allah dan Nabi) pun berlepas diri dari kami. Kini, kami pun merasa lega”
Hati Fulan bergejolak. Tak terima Tuhan dan Nabinya diejek. Namun, ia tak bisa berbuat apa-apa. Keesokan harinya, sang majikan mendadak meninggal dunia setelah sebelumnya tumbuh bisul di wajahnya. Na’udzubillah.
Lewat kisah yang penulis baca dari kitab ‘Uyun al-Hikayat ini kita bisa belajar bagaimana bersikap kepada para sahabat Nabi. Mereka, para sahabat Nabi itu (terlebih para Khulafa’ ar-Rasyidin) adalah orang-orang pilihan yang mestinya dihormati.
Sumber Kisah:
Ibn al-Jauzî, Jamâluddîn Abi al-Farj bin. ’Uyûn al-Hikâyat. Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2019.