Zaid, sebut saja demikian, adalah seorang yang sangat beruntung. Ia memiliki banyak harta. Yang lebih menguntungkan adalah selain kaya secara materi, ia juga kaya hati. Ia adalah sosok manusia yang sangat dermawan, suka membantu sesama.
Salah satu orang yang ia bantu adalah Fulan (bukan nama sebenarnya). Fulan sangat dekat dengan Zaid. Karenanya, segala kebutuhan Fulan ditanggung oleh Zaid. Setelah dekat dan mendapat bantuan dari Zaid, hidup Fulan berubah. Kini, ia hidup dengan kondisi sangat makmur dan terhormat.
Namun, seiring berjalannya waktu, Fulan menjadi sosok yang tidak tahu diri. Ia kini justru mulai membenci Zaid, orang yang selama ini menolongnya. Tidak hanya itu, Fulan bahkan menfitnah Zaid dengan tuduhan yang dibuat-buat. Tuduhan itu bahkan berlanjut sampai ke meja hijau.
Berkat fitnah dan tuduhan Fulan itulah, kini Zaid harus berhadapan dengan hukum. Amir (Gubernur) memaggilnya. Zaid disidang. Karena memang tidak melakukan kesalahan apapun, dakwaan demi dakwaan yang disangkakan kepadanya pun ia tolak dan bantah dengan data dan fakta.
Amir membantah pembelaan diri Zaid, yakni dengan berbekal informasi yang ia terima dari Fulan.
“Namun, Fulan berkata demikian tentangmu,” jawab Amir.
Perkataan Amir bagai petir di siang bolong. Kini, Zaid sadar bahwa apa yang ia alami sekarang ini lantaran fitnah dari orang dekatnya, Fulan. Ia benar-benar tidak bahwa Fulan tega melakukan hal ini. Zaid terperangah dan masih tidak bisa menerima kenyataan.
Melihat sikap dan gelagat aneh dari Zaid, Amir pun bertanya, “Ada apa denganmu?”
Bukannya membalas fitnah keji dari Fulan, Zaid malah menyalahkan dirinya sendiri. Ia berkata kepada Amir, “Saya sebenarnya khawatir. Jangan-jangan sikap buruk Fulan itu muncul karena saya, yakni gara-gara saya teledor dan tidak hati-hati dalam membantu Fulan”.
(Penulis memahami, ucapan ini bisa bermakan dua. Pertama, Zaid merasa apa yang yang telah ia berikan kepada Fulan itu dinilai kurang banyak. Kedua, Zaid merasa teledor karena terlalu baik kepada Fulan sehingga membuat Fulan lupa daratan karena menjadi orang kaya baru)
Jawaban Zaid itu membuat Amir mengerti dan sadar tentang siapa yang hendaknya dibela. Amir berkata, “Subhanallah. Kalian benar-benar berbeda. Engkau baik kepadanya dan Fulan malah berbuat buruk kepadamu. Saya bersaksi, engkau memang orang yang berhati mulia dan Fulan adalah orang buruk perangainya.”
Setelah kejadian itu, akhirnya Amir mempersilakan Zaid untuk meninggalkan ruang sidang. Sidang selesai. Namun, ketika Zaid sudah akan beranjak pergi, Amir berkata mendoakan, “Semoga Allah memberikan umur panjang kepada orang-orang sepertimu”.
***
Kisah di atas penulis baca dari kitab ‘Uyun al-Hikayat karya Ibnu Jauzi. Lewat kisah di atas, kita bisa belajar banyak hal. Salah satunya adalah hendaknya tetap berbuat baik kepada siapa saja, termasuk kepada orang yang tidak baik.
Hendaknya kita sadar, tidak semua perbuatan baik yang kita lakukan kepada seseorang disambut baik olehnya. “Air susu dibalas dengan air tuba”, begitu peribahasa kita menyebut.
Bagaimana sikap kita? Sebenarnya tak ada larangan bagi kita untuk membalas keburukan orang lain. Justru hal ini, dalam sitausi kondisi tertentu, sangat diperlukan agar orang tersebut bisa jera dan tobat.
Namun, memang yang terbaik adalah tetap berbuat baik kepadanya. Sikap demikian, tidak akan mendatangkan rahmah Allah kepada kita, namun juga (semoga) akan membuat si pelaku sadar atas kesalahan yang selama ini ia lakukan.
Walhasil, perbuatan baik harus tetap dilaksanakan dan dilakukan kepada siapa saja. Bilamana perbuatan baik kita itu malah mendatangkan keburukan, kita hendaknya tetap tenang, karena parfum adalah parfum dan bangkai adalah bangkai. Semua akan mendapatkan balasan setimpal pada waktunya. Gusti Mboten Sare.
Sumber Kisah:
Al-Jauzî, Jamâluddîn Abi al-Farj bin. ’Uyûn Al-Hikâyat. Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2019.