Sebanyak 106 pemuda dan pemudi muslim berbaur di tengah 2000-an pemuda katolik dari berbagai negara di Asia. Ribuan pemuda katolik itu datang ke Yogyakarta untuk mengikuti acara Asian Youth Day 7th yang merupakan acara tiga tahunan. Kehadiran ratusan pemuda dan pemudi muslim ini menjadi simbol harmoni antar pemeluk agama yang berbeda.
Saya termasuk di dalam 106 orang muda yang menamakan dirinya sebagai Rekan Muslim Muda. Lalu apa maksud kami berbaur bersama para pemuda Katolik? Kami diberi kesempatan oleh panitia untuk melakukan sharing kepada para pemuda Katolik mengenai agama Islam, juga tentang harmonisasi antara pemeluk agama yang berbeda di Indonesia perspektif umat Islam.
Kesempatan ini jelas merupakan hal yang luar biasa. Apalagi beberapa waktu belakangan nama Islam ternodai oleh serangkaian aksi terorisme yang mengatasnamakan Islam. Banyak warga di negara yang Islamnya minoritas, mereka menganggap Islam sebagai agama teroris. Walhasil, orang muslim mendapat perlakuan kurang baik di negara tersebut.
Saya sendiri bercerita mengenai kehidupan pesantren, tempat saya menimba ilmu agama. Di pesantren di mana literatur agama dipelajari secara mendalam, tidak pernah ada guru yang mengajarkan untuk membenci orang yang berbeda agama, apalagi membunuh. Pesantren selalu menggaungkan ajaran Islam yang rahmatan lil’alamin.
Di pesantren kami diajarkan untuk membina tiga hubungan persaudaraan (ukhuwah): persaudaraan sesama muslim (ukhuwah islamiyah), sesama warga negara (ukhuwah wathaniyah), dan sesama manusia (ukhuwah basyariyah). Oleh karenanya, aksi terorisme adalah perwujudan dari kedangkalan agama seseorang. Para teroris melakukan sesuatu yang bahkan oleh agama Islam dilarang.
Terkait pemaksaan dalam memeluk agama, rekan saya memaparkan bagaimana Islam sangat menghargai perbedaan agama melalui salah satu ayatnya ‘lakum dinukum waliyadin’ (Al-Kafirun 109 : 06). Bagimu agamamu, dan bagiku agamaku. Ayat ini kemudian ditegaskan dengan sebuah ayat ‘laa ikraaha fi ad-diin’ (Al-Baqaarah 2 : 256), tidak ada paksaan dalam memeluk agama.
Banyak teman saya yang bercerita bagaimana para pemuda Katolik sangat terkejut mendengar pemaparannya tentang Islam. Sampai-sampai mereka bertanya, ‘Apakah Islam begitu toleran seperti Anda?’. Peserta dari Korea misalnya bercerita di daerah asalnya agama Islam dikenal tidak baik karena melihat pemberitaan di media di mana banyak aksi teror mengatasnamakan Islam.
Saya terkesan dengan beberapa orang yang saya kenal di acara ini, salah satunya adalah seorang Romo dari India. Ia mempelajari banyak disiplin ilmu dan salah satu yang dipelajarinya adalah Islam. Romo menjelaskan bahwa misi Islam sama dengan Katolik dalam hal menebar kasih dan sayang. Sudah selayaknya antar pemeluk agama saling menghormati dan mengasihi.
Hal senada disampaikan seorang Romo dari Taiwan. Ia memberi penulis sebuah pembatas buku bertuliskan aksara Tionghoa. Tulisan tersebut merupakan kutipan dari Al-Kitab yang bermakna kurang lebih ‘jadilah kabar baik setiap saat’. Ya, kebaikan suatu agama seringkali dilihat dari perilaku pemeluknya. Walau pun apa yang dilakukan oleh seorang pemeluk agama bukan berarti merupakan ajaran agama yang sebenarnya. Bagaimana pun, berusahalah jadi agen muslim yang baik. Wallahua’lam.
Sarjoko, penulis aktif di Jaringan Gusdurian Indonesia.