Namaku Dzin Nun Al-Mishri, suatu hari aku berjalan di pasar Basrah, aku melihat jenazah muslim dipikul empat orang laki-laki. Tidak ada seorangpun pelayat menyertai mereka. Aku penasaran lalu mengikuti jenazah itu beserta empat orang yang memikulnya.
Setelah sampai di depan musholla, empat orang menurunkan keranda jenazah dari pundak mereka. Aku bertanya: “Wahai saudara-saudaraku! Di mana keluarga dan tetangga jenazah ini, agar menjadi imam dalam shalat jenazah?”.
Seorang menjawab: “Kami berempat hanyalah buruh untuk memikul jenazah dengan janji mendapatkan ongkos. Di antara kami tidak ada yang seorang pun yang mengetahui ihwal apa saja dari jenazah ini.
Aku merasa bingung dan heran dengan jawaban itu. Karena tidak ada orang lagi selain kami berlima, maka akulah yang menjadi imam shalat jenazah. Setelah membawa jenazah ke pemakaman dan menyemayamkannya sampai selesai, aku bertanya kepada mereka: “bagaimanakah perangai dan berita mayit ini? Tolong ceritakan kepadaku!”.
“Kami tidak tau, ada seorang wanita yang menyewa kami untuk memikul jenazah ini, ia mengikuti kami di belakang.
Saat aku berbincang-bincang dengan empat orang setelah pemakaman, tiba-tiba datang seorang wanita kepada kami. Dari penampilan dan perawakannya, pertanda ia seorang wanita baik dan sholihah. Ia menangis, hatinya sangat susah sehingga meneteskan air mata. Ketika berdiri di atas makam, ia membuka wajahnya lalu mengangkat kedua tangannya ke arah langit. Ia berdoa sambil menangis, sesaat kemudian terjatuh ke tanah dan pingsan. Setelah sadar, ia tersenyum dan nampak sangat gembira.
Aku sangat heran dan penasaran dengan kejadian tersebut lalu memberanikan diri bertanya, bagaimana cerita tentang pemuda yang wafat ini? Dan apa gerangan yang membuat engkau menangis, jatuh pingsan, lalu tersenyum bahagia?.
Wanita itu menjawab: “Pemuda yang wafat itu adalah anakku, dia masih sangat muda, suka melakukan perbuatan buruk dan maksiat, dia selalu berusaha melakukan kemaksiatan dan selalu memperlihatkan kemaksiatan dan dosa di hadapan tuhannya, kemudian dia terserang penyakit berat lalu komplikasi hingga beberapa hari.
Menjelang kematiannya, dia berkata kepadaku: ” Wahai ibuku! Aku mohon kepadamu agar engkau melaksanakan wasiatku.
Pertama: Apabila aku sudah wafat, jangan beritahukan kepada siapapun tentang kematianku, karena sesungguhnya mereka akan mencerca dan mencaci-makiku karena keburukan perbuatanku dan banyaknya dosaku.
Kedua: Tulislah di cincinku ini kalimat “La ilaaha Illa Allah Muhammad Rasulullah” dan taruhlah cincin itu di kafanku agar Allah merahmatiku sebab cincin bertuliskan kalimat itu.
Ketiga: Apabila aku sudah mati, letakkanlah pipiku di atas debu dan letakkanlah telapak kakimu di atas wajahku dan ucapkanlah: “ini adalah pembalasan bagi orang yang bermaksiat kepada tuhannya dan meninggalkan perintahnya serta menuruti hawa nafsunya.
Keempat: Apabila engkau telah menguburku, maka berdirilah di atas makamku dan angkatlah kedua tanganmu kearah langit dan katakanlah: “Wahai tuhanku, sungguh aku telah meridla’i anakku. Wahai tuhanku, ridla’ilah anakku”.
Ketika anakku sudah wafat, aku laksanakan semua yang menjadi wasiatnya, ketika aku mengangkat tanganku ke arah langit, aku mendengar suara anakku dengan lisan fasih seraya berkata: “Wahai ibuku, pulanglah!. Aku sudah sampai di hadapan tuhanku yang maha mulia, Dia tidak murka kepadaku bahkan meridla’iku”.
Wanita itu melanjutkan perkataannya: ” Wahai Dzin Nun! Karena mendengar suara anakku itulah, aku tersenyum dan merasa gembira. Itulah ceritanya aku dan anakku”.
Kisah ini terdapat dalam buku 101 Cerita Penegak Iman Leluhur Budi karya KH. Moch. Djamaluddin Ahmad ( pengasuh pondok pesantren Tambak Beras) Jombang Jawa timur, terbitan Pustaka Al-Muhibbin.