Pada masa sekarang, beberapa pejabat nakal memanfaatkan kekayaan dan jabatannya untuk menikah lagi. Bahkan beberapa di antaranya menikah diam-diam atau nikah siri. Biasanya hal ini dilakukan agar tidak ketahuan istri pertamanya, atau karena ada larangan bagi para pegawai negeri sipil (PNS) menikah lagi (poligami).
Menikah siri dianggap ampuh untuk memuaskan syahwat agar masih tetap sesuai dalam kategori syariat. Namun demikian, walaupun nikah siri yang memenuhi syarat pernikahan dianggap sah sesuai agama, namun negara tidak melakukan pencatatan. Otomatis, jika ada masalah yang tak terduga, pelaku nikah siri, baik laki-laki dan perempuan tidak bisa melakukan proses tuntunan di pengadilan agama.
Hal ini juga yang menjadikan ulama berbeda pendapat. Imam as-Syafii dan Ahmad bin Hanbal menilai bahwa pernikahan siri tetap sah walaupun ada keinginan dari mempelai untuk menyembunyikan pernikahan tersebut. Berbeda halnya dengan Imam Malik yang menilai bahwa nikah siri tidak sah tanpa adanya i’lam, atau dalam bahasa sekarang bisa kita sebut sebagai pencatatan resmi di KUA.
Dalam beberapa hadis disebutkan bahwa pengumuman atau pemberian kabar pernikahan merupakan pembeda antara hubungan laki-laki dan perempuan yang sah dan tidak sah, atau perzinahan, farq bain al-halāl wa al-harām, atau dalam bahasa al-Munawi disebut, “bain al-nikāh wa al-ma’ādib (sesuatu yang amoral).
Status pernikahan yang telah diketahui banyak orang akan mencegah orang lain beranggapan yang bukan-bukan kepada laki-laki dan perempuan yang sedang berduaan. Jika orang tidak mengetahui akad pernikahan telah dilakukan atau belum, orang akan banyak menduga dan akan menimbulkan fitnah dan kerugian.
Pasalnya hal ini juga pernah terjadi pada masa Umar bin Khattab, sebagaimana diceritakan dalam Faidh al-Bāri karya Muhammad Anwarsyah al-Kasymirī (w. 1353 H), bahwa suatu hari Umar mendapatkan laporan bahwa gubernur Irak saat itu, al-Mughira ibn Syu’bah, melakukan perzinahan karena terpergok berkunjung ke tempat seorang perempuan dan dan dituduh melakukan hubungan suami istri di luar nikah.
Maka didatangkanlah saksi-saksi untuk membuktikan perzinahan yang dilakukan al-Mughirah. Tiga orang saksi yang dihadapkan kepada Umar telah mengaku melihat masuknya hasyafah ke dalam lubang farji, sedangkan satu orang saksi hanya mengetahui gerakan kaki al-Mughirah dengan perempuan tersebut.
Umar pun membatalkan tuduhan tersebut dan memilih untuk memberikan hukuman cambuk (qadzaf) kepada orang-orang yang bersaksi. Setelah diselidiki, ternyata al-Mughirah tidak berzinah, melainkan berhubungan dengan istri hasil pernikahan sirinya. Maka wajar saja jika orang-orang beranggapan yang bukan-bukan. Umar kemudian menegur al-Mughirah dan memberikan maklumat kepada semua orang bahwa ia akan menghukum rajam orang yang ikut-ikutan seperti al-Mughirah, nikah sirih.
Nah, buat pejabat atau orang-orang yang masih suka memiliki istri simpanan dengan cara nikah siri. Maka ia perlu mempertimbangkan hal ini.
Wallahu a’lam.