Alkisah, suatu ketika dua orang pegawai Abu Bakar Muhammad bin Sahl asy-Syahid al-Wasithi al-Qadhi sedang melaksanakan tugas menjaga harta dan tanah yang dimiliki oleh majikannya. Mereka menjaga tanah yang berada di kawasan tandus dekat sungai.
Sebagaimana dikisahkan oleh at-Tanukhi dalam kitabnya c, para penjaga itu kemudian pergi bersama beberapa orang menuju hutan untuk memotong tebu. Di tengah perjalanan, mereka melihat ada anak singa seperti kucing liar. Tiba-tiba salah satu dari mereka membunuh anak singa tersebut.
Tak lama kemudian, datang singa jantan dan singa betina yang merupakan bapak dan ibu si anak singa yang telah terbunuh tersebut. Karena tidak melihat anaknya, kedua singa itu mencarinya. Mereka berdua kemudian mengetahui jika anaknya dibunuh oleh orang-orang yang mau memotong tebu.
Orang-orang yang habis membunuh seekor anak singa itu ternyata merasa tidak ada apa-apa. Mereka tidak tahu, jika sedang dicari oleh sepasang singa yang sedang murka. Mereka kemudian istirahat dan tidur di tengah hutan saat malam telah tiba. Namun tiba-tiba datang dua ekor singa yang ingin memangsa mereka. Mereka yang mendengar suara singa pun langsung pergi dan keluar dari dalam hutan, hingga akhirnya menemukan sebuah rumah tua yang ada di luar hutan.
Mereka kemudian berkumpul dan naik ke bagian atas rumah tersebut. Karena melihat di dalam rumah tua itu ada sebuah kamar, mereka kemudian menggunakannya untuk menginap dan bersembunyi di malam hari.
Singa jantan yang marah karena anaknya dibunuh, akhirnya mengikuti dan mencari para penebang tebu yang sudah keluar dari hutan. Singa itu pun akhirnya sampai di rumah yang digunakan bersembunyi oleh orang-orang, dan langsung masuk. Ketika sampai di ruang tengah rumah tua tersebut, si singa kemudian berusaha melompat untuk memasuki kamar yang dijadikan tempat bersembunyi dua pegawai Abu Bakar Muhammad bin Sahl dan para penebang tebu, akan tetapi ia tidak mampu.
Si singa kemudian pergi dan naik ke atas bukit yang ada di gurun. Di atas bukit tersebut, singa itu mengaum. Tak lama kemudian, datanglah singa betina ke rumah tua tersebut. Singa betina itu kemudian berusaha melompat masuk ke tempat orang-orang bersembunyi, tetapi ia juga tidak mampu seperti halnya singa sebelumnya.
Melihat dua ekor singa yang tak mampu melompat tinggi tersebut, orang-orang pun berkumpul. Namun, kedua singa itu justru mengaum semakin keras. Tidak lama kemudian, datanglah beberapa ekor singa, dan semuanya melompat, akan tetapi singa-singa itu tetap tidak mampu menjangkau ruangan tempat sembunyi orang-orang. Singa-singa itu pun terus melompat hingga jumlahnya sampai belasan ekor, namun tetap tidak mampu mencapai tempat persembunyian orang-orang.
Orang-orang yang sembunyi di ruangan pun sudah pasrah, kondisinya seolah-olah seperti orang yang benar-benar akan mati. Sebab, jika ada seekor singa yang mampu sampai ke tempat persembunyian mereka. Otomatis mereka akan menjadi bulan-bulanan belasan singa.
Di tengah kondisi seperti itu, tiba-tiba para singa itu berkumpul membuat lingkaran. Mereka menaruh mulutnya di tanah, dan mengaum serentak. Orang-orang yang melihat hal tersebut semakin ketakutan, apalagi setelah kejadian tersebut ada lobang di tanah yang merupakan bekas nafas auman para singa.
Sesaat setelah itu, datang seekor singa hitam, kurus, dengan bulu-bulunya yang sudah rontok, dan kecil. Semua singa kemudian menemuinya sembari memainkan ekor mereka di depan dan di sekelilingnya. Singa kurus itu datang dengan singa betina yang berada di belakangnya. Singa hitam kurus itu kemudian melihat tempat orang-orang yang membunuh anak singa.
Singa hitam kurus itu kemudian mulai memperhatikan posisi orang-orang yang sedang bersembunyi. Ia kemudian menarik nafas, dan melompat hingga sampai di ruangan depan yang berdekatan dengan tempat sembunyinya orang-orang. Melihat hal tersebut, orang-orang-orang pun panik dan langsung mengunci pintu kamarnya. Mereka juga berkumpul di belakang pintu untuk menahan pintu agar singa itu tidak dapat masuk.
Namun, singa hitam kurus itu terus mendorong pintu dengan punggungnya hingga sebagian papan pintu pecah. Si singa kemudian mernasukkan pantatnya ke arah orang-orang, dan salah seorang dari mereka kemudian memotong ekor singa tersebut dengan parang. Karena ekornya terpotong, singa itu meraung keras dan lari, kemudian menjatuhkan dirinya ke tanah. Ia terus mencakar, menggigit, dan mencabik-cabik dengan cakarnya hingga banyak singa yang terbunuh.
Kejadian tersebut pun membuat para singa yang lain berlarian pergi meninggalkan rumah tua tersebut. Setelah semua singa tersebut lari, orang-orang kemudian turun. Mereka meninggalkan tempat tersebut hingga akhirnya menemukan sebuah desa. Di desa tersebutlah, para pemotong tebu itu menceritakan kejadian yang hampir merengut nyawa mereka.
Kisah di atas adalah sebuah bukti bahwa, perlakuan buruk atau mengganggu ketenangan hidup makhluk ciptaan Tuhan yang lainnya bisa berdampak menjadi sebuah malapetaka. Oleh sebab itu lah, Islam memerintahkan pemeluknya untuk mengasihi hewan dan tidak menyakitinya. Hal ini sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw. yang melarang manusia menyakiti dan menganiaya binatang:
وَعَنِ اِبْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا; أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: لَا تَتَّخِذُوا شَيْئاً فِيهِ اَلرُّوحُ غَرَضًا
Artinya: Dari Ibnu ‘Abbas ra, ia berkata, Nabi Muhammad saw. bersabda, ‘Jangan kalian menjadikan binatang bernyawa sebagai sasaran bulan-bulanan,’” (HR Muslim).
Hadis di atas adalah bukti bahwa, Rasulullah saw. melarang manusia untuk menjadikan nyawa binatang sebagai taruhan atau permainan. Sebab, binatang juga mempunyai hak untuk hidup dan mereka mempunyai perasaan sebagaimana manusia. Oleh sebab itu, manusia juga harus memperlakukan dengan baik binatang yang ada di sekitarnya.