Tiga tahun sebelum Nabi SAW wafat, pengaruh Islam cukup luas. Islam dipeluk oleh banyak suku dan kabilah. Di mana-mana adzan sudah berkumandang, pertanda ibadah shalat siap dilaksanakan. Pemungutan zakat, baik zakat fitrah maupun zakat mal, berjalan baik. Nabi SAW kerap menyaksikan tumpukan barang zakat yang dikumpulkan para sahabat penarik zakat.
Suatu waktu, pada pagi yang cerah, Nabi SAW memanggil salah seorang sahabat bernama al-Walid ibn Uqbah ibn Abi Mu’aith. Nabi meminta al-Walid berangkat ke perkampungan Banil Musthaliq untuk menarik zakat dari umat Islam di daerah itu.
Tak menunda lama, al-Walid segera berangkat. Tiba di kampung Bani al-Mushthaliq, al-Walid disambut dengan suka cita. Sejumlah orang membawa parang dan pedang untuk menyembelih kambing dan unta sebagai jamuan penghormatan terhadap utusan Sang Nabi Junjungan, al-Walid ibn Uqbah.
Rupanya, al-Walid salah paham. Ia menyangka bahwa dirinya akan dibunuh. Penduduk di daerah itu disangka sudah banyak yang keluar dari Islam. Ia berbalik arah, pulang ke Madinah. Ia lapor pada Nabi SAW tentang kejadian itu.
Alih-alih percaya informasi al-Walid itu, Nabi SAW justru menunjuk Khalid ibn Walid bersama sejumlah prajurit untuk mengecek kondisi lapangan. Tiba di malam hari, Khalid ibn Walid menyebar sejumlah mata-mata ke beberapa pojok perkampungan Banil Musthaliq.
Para prajurit tak menemukan tanda-tanda “pembangkangan” seperti diceritakan al-Walid. Justru yang terjadinya sebaliknya. Antusiasme ber-Islam penduduk Banil Musthaliq luar biasa.
Lalu turunlah ayat al-Qur’an, “Wahai orang-orang beriman! Jika seorang fasiq datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya agar kamu tak mencelakakan suatu kaum karena kecerobohan yang akhirnya kamu menyesali perbuatan itu” (al-Hujurat [49]: 6).
Karena itu, jika ada “orang tak jelas” membawa berita, maka telitilah agar kita tak sengsara!