Perlu diketahui bersama bahwa ketika Nabi Muhammad Saw berada di Kota Madinah, umat Islam waktu itu tidak hidup secara homogen. Mereka hidup berdampingan dengan umat lain yang berbeda secara keyakinan. Di sana ada orang-orang keturunan Arab dari suku Aus dan Khazraj. Keduanya merupakan dua suku yang saling bermusuhan antar satu sama lain karena masalah kekuasaan. Selain itu ada juga orang-orang Nasrani dan Yahudi dari berbagai kalangan. Tiga suku yang terkenal di antara mereka adalah Yahudi dari suku Bani Nadzir, Bani Qainuqa’, dan Bani Quraizah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kondisi Madinah saat itu tidak jauh berbeda dengan wilayah kita, Indonesia, dari segi demografisnya.
Dengan kondisi masyarakat yang heterogen seperti itu, mungkin sebagian oknum menyangka kalau Nabi akan bersikap ofensif dan otoriter terhadap non muslim. Nabi memerangi serta memaksa mereka untuk memeluk agama Islam dan tunduk di bawah aturan beliau sebagaimana yang dianut oleh sebagian kelompok ekstrimis yang keliru dalam memahami beberapa ayat dan hadis terkait masalah tersebut. Mereka menerapkan ayat-ayat dan hadis-hadis yang turun dalam situasi perperangan secara serampangan tanpa memperhatikan konteks dan sabab wurud (latar belakang historis) yang menyebabkan kemunculannya.
Misalnya saja hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Muslim yang bersumber dari Abdullah ibn Umar di mana Rasul pernah bersabda, “Aku diperintahkan untuk memerangi umat manusia hingga mereka bersaksi tiada tuhan selain Allah dan Muhammad itu adalah utusan Allah”. Ataupun Surah al-Taubah ayat kelima yang menyatakan bahwa apabila bulan-bulan haram (Zulqa’dah, Zulhijjah, Muharram dan Rajab) telah berlalu, maka umat Islam diperintahkan untuk memerangi kaum musyrik kapanpun dan dimanapun mereka berada, hingga mereka bertaubat dan menunaikan kewajiban sebagai seorang muslim seperti salat, zakat, puasa, haji dan lain sebagainya.
Padahal ayat dan hadis tersebut berbicara dalam konteks perperangan, bukan dalam situasi damai. Ali Mustafa Yaqub dalam bukunya Kerukunan Umat Perspektif al-Qur’an dan Hadis pernah menyampaikan bahwa Islam tidak pernah mengajarkan apalagi menyuruh umatnya untuk membunuh orang lain hanya gara-gara perbedaan agama. Memang benar dalam Islam ada perang, namun perperangan dalam Islam tidak pernah disebabkan oleh agama, namun karena faktor-faktor sosial lain yang membuat umat Islam harus mempertahankan eksistensinya dengan cara berperang. Dan ayat serta hadis di atas turun dalam kondisi yang seperti ini.
Lantas bagaimana sikap Nabi terhadap non muslim yang hidup di sekitar beliau pada situasi damai? Banyak riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi menjalin hubungan yang harmonis dengan mereka serta saling tolong-menolong dalam hal muamalah sehari-hari, tapi bukan dalam masalah akidah dan ibadah. Ketika orang-orang non muslim Quraisy datang dan mengajak Nabi untuk menyembah tuhan mereka selama setahun dan merekapun akan menyembah Allah selama setahun, maka dengan tegas Nabi mengucapkan “lakum dinukum waliyadin” (Bagimu agamamu dan bagiku agamaku). Ungkapan ini adalah sebagai wujud komitmen yang tegas dalam menjaga akidah Islam yang menjadi substansinya.
Sementara itu dalam masalah muamalah sehari-hari, Nabi bersikap sangat toleran. Salah satu bentuk muamalah yang pernah dilakukan oleh Nabi ketika itu adalah beliau pernah menggadaikan baju perangnya kepada seorang Yahudi yang bernama Abu Syahm demi untuk membeli gandung yang akan beliau makan bersama keluarganya. Sampai wafatnya, Nabi tidak sempat melunasi hutang tersebut hingga pada akhirnya Ali ibn Abi Thalib yang membayarkannya. Kisah tersebut diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya sebagai berikut :
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ إِبْرَاهِيمَ عَنْ الْأَسْوَدِ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ اشْتَرَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ يَهُودِيٍّ طَعَامًا وَرَهَنَهُ دِرْعَهُ
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah. Ia berkata : Telah bercerita kepada kami Jarir, dari al-A’masy, dari Ibrahim, dari al-Aswad, dari Aisyah ra, ia berkata : Rasulullah Saw pernah membeli makanan dari seorang Yahudi (Abu Syahm) dan menggadaikan baju perangnya kepada Yahudi tersebut”.
Ibn Hajar al-‘Atsqalani dalam kitabnya Fath al-Bari menjelaskan bahwa riwayat tersebut merupakan bukti kebolehan umat Islam untuk bermuamalah dengan non muslim, termasuk dalam masalah jual beli. Namun meskipun demikian ia membatasi kebolehan tersebut dengan beberapa syarat, yaitu selama barang yang ditransaksikan itu halal (tidak benda yang diharamkan seperti khamar dan babi), ada jaminan traksaksi tersebut tidak akan mempengaruhi keimanan kaum muslimin, serta non muslim yang dimaksud bukan dari golongan kafir harbi, artinya dari kalangan non muslim yang memerangi umat Islam. Selama syarat ini terpenuhi, maka jual beli dengan mereka hukumnya adalah sah, tidak terlarang sama sekali.
Kaedah yang digunakan dalam hal ini menurut Badran Abu al-‘Aynain dalam karyanya al-‘Alaqah al-Ijtima’iyyah bayn al-Muslimin wa Ghair al-Muslimin adalah :
كل ما جاز للمسلمين من البياعات من صرف وسلم ونحوهما من التصرفات يجوز لغيرهم من الكفار. وما لا يجوز من البياعات للمسلمين لا يجوز لغيرهم إلا الخمر والخنزير.
“Segala traksaksi jual beli yang dibolehkan bagi kaum muslimin untuk melakukannya, maka hal itu juga dibolehkan bagi selain mereka (non muslim). Sebaliknya segala traksaksi yang diharamkan bagi umat Islam untuk melakukannya, maka hal tersebut juga diharamkan bagi mereka kecuali (dalam transaksi) khamar dan babi”.
Ibnu Hajar juga menggunakan hadis tersebut sebagai dalil kebolehan bertransaksi dengan orang yang sebagian besar hartanya berasal dari usaha atau benda yang tidak halal. Hal ini barangkali dipahami secara tersirat dari status harta yang dimiliki oleh non muslim. Bisa jadi harta mereka berasal dari usaha yang tidak halal atau menjual barang yang menurut agama Islam diharamkan seperti babi, anjing dan lain sebagainya. Namun ketika hendak bertransaksi, umat Islam tidak diharuskan untuk mengetahui sumber harta mereka. Hal ini juga dipahami dari sikap Nabi yang tidak mempertanyakan sumber harta yang dimiliki oleh Abu Syahm.
Adapun hikmah kebolehan transaksi antara muslim dan non muslim ini adalah karena jual beli dipandang sebagai salah satu cara dalam memenuhi kebutuhan manusia. Maka pembolehannya -termasuk dengan non muslim- merupakan sebuah hal yang bersifat dharuri (penting) dan sulit untuk dihindari. Lagian keberadaan agama pada dasarnya adalah untuk menjaga lima prinsip dasar yang selalu ada seiring keberadaan manusia, yaitu menjaga agama, jiwa, akal, harta, dan keturunan. Sehingga dalam hal ini, perbedaan agama atau keyakinan antara dua orang yang bertransaksi itu tidak menghalangi kebolehan dan kesahannya.
Selain menggadai, Nabi juga pernah menerima hibah yang diberikan oleh seorang pendeta Yahudi yang bernama Mukhairik kepada beliau. Mukhairik adalah seorang pendeta yang kaya raya dan berpihak kepada umat Islam. Ia pernah ikut sama-sama membela Nabi dalam perperangan Uhud hingga akhirnya meninggal dunia akibat sabetan perang para musuh Islam. Sebelum meninggal ia sempat berwasiat bahwa kalau dia meninggal dunia, semua hartanya diberikan kepada Nabi Muhammad Saw. Ketika ia meninggal, Nabi menerima pemberiannya dan mewakafkannya untuk kepentingan Islam dan kaum muslimin. Kisah ini diceritakan secara apik oleh Ibn Hisyam dan Ibn Sa’ad dalam kitab sirah keduanya.
Setidaknya dua kisah tersebut cukup bagi kita untuk menunjukkan bahwa ternyata Islam dan kaum muslimin tidak seekslusif yang disangkakan oleh sebagian pihak, khususnya dalam berhubungan dengan pihak yang berbeda keyakinan dengan mereka. Islam sangat menghargai perbedaan dan tidak menjadikannya sebagai penghalang terwujudnya kerukunan antara kaum muslimin dengan mereka dalam hal muamalah, bukan dalam hal akidah ataupun ibadah. Di sinilah letak prinsip utama ajaran Islam yang menjadi rahmat bagi sekalian alam.