Kisah Nabi Isa dalam al-Quran: Melawan Tanpa Pasukan

Kisah Nabi Isa dalam al-Quran: Melawan Tanpa Pasukan

Orang boleh berbeda pendapat tentang bagaimana kisah Nabi Isa berakhir, tapi semua akan bersepakat jika Isa adalah putra Maryam.

Kisah Nabi Isa dalam al-Quran: Melawan Tanpa Pasukan

Orang boleh berbeda pendapat tentang bagaimana kisah Nabi Isa berakhir, tapi saya kira, semua akan bersepakat jika Isa adalah putra Maryam. Di beberapa tempat, al-Quran mengkonfirmasi hal ini. Selain itu, umat Nasrani juga mengimani hal serupa.

Tetapi mukjizat Allah memang seringnya sulit dipahami. Kelak, Isa tidak saja medapat bantahan dari sisi asal-usul, tetapi juga soal ajarannya yang melawan arus kekuasaan. Yang jelas, ciptaan Allah yang satu ini memang istimewa. Kisahnya kelewat unik ketimbang segenap utusan Tuhan yang lain. Sejak jabang bayi, ia sudah dianugerahi mukjizat. Dan, ketika tiba waktunya, Isa balita mampu menangkis kesangsian publik. Al-Quran memberitahu kita detik-detik dramatis itu.

(Ingatlah) ketika malaikat berkata: “Wahai Maryam, sesungguhnya Allah menyampaikan kabar gembira kepadamu dengan kelahiran seorang putra yang Dia ciptakan dengan kalimat dariNya yang bernama al-Masih Isa putra Maryam, yang memiliki kedudukan mulia di dunia dan akhirat dan termasuk orang-orang yang didekatkan kepada Allah. Dia berbicara kepada orang-orang dalam buaian dan saat sudah dewasa dan dia termasuk orang-orang shalih.” (Q.S. Ali Imran [3]: 45-46)

Rupanya, bukan saja diberkahi kemampuan bicara sejak balita, tetapi Isa juga memiliki keistimewaan lain dalam meyakinkan orang. Secara terus terang, Nabi Isa mulai menegaskan pembuktian yang mengundang decak kagum masyarakat di zaman itu. Lagi-lagi, Al-Quran mengisahkan kemampuan Isa dalam sebuah aksi di luar batas kemampuan manusia. Atas izin Allah, ia bisa mengubah sesuatu yang kini menjadi tantangan pengetahuan.

Allah mengajarkan kepadanya kitab, hikmah, Taurat dan Injil. Dan sebagai Rasul kepada Bani Israil (yang berkata kepada mereka), “Sesungguhnya aku telah datang kepadamu dengan membawa sebuah tanda (mukjizat) dari Tuhanmu, yaitu aku membuatkan bagimu (sesuatu) dari tanah berbentuk burung, lalu aku meniupnya, maka ia menjadi seekor burung dengan izin Allah. Dan aku menyembuhkan orang yang buta sejak dari lahir dan orang yang berpenyakit sopak. Dan aku menghidupkan orang mati dengan izin Allah, dan aku kabarkan kepadamu apa yang kamu makan dan apa yang kamu simpan di rumahmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat suatu tanda (kebenaran kerasulanku) bagimu, jika kamu orang beriman. (Q.S. Ali Imran [3]: 48-49)

Sudah tentu, warta tentang mukjizat itu segera melesat ke mana-mana. Makna hakiki mukjizat adalah apa-apa yang melampaui dunia material. Tren waktu itu memang terlampau hedon. Padahal, kekayaan, jabatan, hingga pengaruh sebenarnya dibentuk di atas altar palsu yang bersifat fana dan rawan menjadi alat kesewenang-wenangan. Isa, dengan demikian, seolah hendak mengejek watak materialisme kekuasaan lewat keajaiban yang mampu menjangkau batas-batas fisik pada diri manusia.

FYI, Nabi Isa lahir di tengah kekaisaran Romawi. Sayang, rezim yang memerintah waktu itu tidak bersahabat dengan apa yang hari ini kita sebut prinsip kemanusiaan. Demikian halnya dengan pemuka agama yang malah membebek pada kekuasaan. Maka, terjadilah sebuah koalisi antara penguasa dengan, sebut saja, ulama Yahudi yang telah memonopoli ajaran agama untuk merontokkan kharisma Isa. Itulah masa di mana persekutuan antara agama dan politik menjadi lestari.

Tentu saja Nabi Isa melawan. Tapi perlawanannya tidak dengan senjata, apalagi pasukan. Sebagai seorang utusan, Isa menghadapi umat yang telah mengenal ajaran Nabi Musa. Untuk itu, misinya adalah menghardik sekaligus mengingatkan tentang penyimpangan yang sudah kadung jauh melampaui batas.

Sekali lagi, al-Quran menegaskan keterampilan Nabi Isa dalam membungkam para penentangnya. Ia mampu mengatasi problem sosial yang diabaikan oleh pemerintah. Isa hadir dengan program yang cukup progresif: menyembuhkan orang sakit, memberi makan mereka yang lapar, dan merangkul orang-orang pinggiran (Q.S. Al-Maidah [5]: 110-111).

Rupanya, senarai tindakan kemanusiaan itu mampu menjaring kepatuhan sekaligus pembangkangan. Nabi Isa mulai mendapat pengikut, dan kedatangannya selalu ditunggu-tunggu. Di saat yang sama, penguasa dan para ulama istana semakin gelisah dengan kepopuleran Isa.

Walau begitu, sejumlah pengikut dan orang-orang yang berniat menjadi murid al-Masih semakin cerewet menuntut apa-apa yang berbau keajaiban. Khas Bani Israil. Keinginan mereka tidak saja meminta agar Isa menyembuhkan orang sakit, tetapi juga menurunkan makanan dari langit.

Kendati terdengar sebuah permintaan naif dan ngeyel, nyatanya dialog ini direkam oleh al-Quran (Q.S. Al-Maidah [5]: 112-115). Ini berarti ada pelajaran yang terselubung di dalamnya. Tampak jelas betapa umat Isa pada derajat tertentu tidak ada bedanya dengan manusia hari ini: pragmatis. Dipikir, ajaran agama hanya berfungsi sebagai pemuas nafsu individu. Tapi, tren pragmatisme itulah yang mengancam para ulama Yahudi. Mereka tidak rela jika Isa memiliki pendukung, sehingga merasa perlu untuk menguji akurasi ajaran Isa.

Ada kisah yang cukup popular menceritakan bilamana para ulama Yahudi menyeret seorang perempuan yang dituduh telah berbuat zina. Taurat memberi perintah bahwa hukuman untuk tukang zina adalah dilempari batu hingga tewas.

Sudah tentu, ajaran itu kontras dengan visi Nabi Isa. Maka, sewaktu ditanyai pendapat tentang bagaimana mestinya memperlakukan perempuan itu, Isa seketika menggenggam sebongkah batu, lalu menukas: “siapapun yang merasa tidak memiliki kesalahan, maka hendaklah ia merajam wanita itu.”

Sontak, semua peserta terdiam dan mengakui kenaifannya. Hukum Tuhan tidak bisa berdiri di atas pilar kekejaman. Hanya kumpulan manusia saleh yang bodoh dan beringaslah yang berani menyelewengkannya. Kelak, ajaran kasih al-Masih yang memilih tidak intervensi terhadap perkara yang abu-abu ini diabadikan oleh al-Quran Surat al-Maidah ayat 118.

Tapi, malam sungguhlah gelap dan penuh dengan teror. Para penentang kebenaran masih tidak mengakui ajaran kasih. Walhasil, disusunlah sebuah rencana untuk menangkap Isa hidup-hidup dan lalu diadili. Diduga, seorang murid bernama Yudas terpilih sebagai agen ganda: di satu pihak ia berguru, tetapi di lain pihak melaporkan pergerakan Isa kepada penguasa.

Di titik ini, kobaran ambisi Yudas menjadi cukup jelas. Bagi dia, agama hanyalah kendaraan untuk meraih kekuasaan. Silau dengan gemilang tahta, Yudas menyilakan penguasa mengetahui lokasi keberadaan Isa dan murid-muridnya yang lain.

Operasi penyergapan pun dimulai. Berkat muslihat para pemuka agama yang mengklaim sebagai pembawa ajaran Musa, maka dihapuskanlah semua karya kemanusiaan dan isi ajaran Isa. Lagi-lagi, seorang utusan Tuhan harus berhadapan dengan kekuasaan yang, celakanya, juga memanfaatkan ajaran Tuhan.

Rupanya, para ulama Yahudi telah meracuni ajaran Musa dengan arogansi dan kesewenang-wenangan. Vonis putusan pun dijatuhkan. Isa kembali ke haribaan Tuhan sebagai penanda betapa tidak mudahnya perjuangan membawa dunia ke arah keselamatan. Al-Quran memberi sebuah petunjuk untuk memungkasi kisah ini.

(Ingatlah), ketika Allah berfirman: “Hai Isa, sesungguhnya Aku akan mewafatkanmu dan mengangkatmu kepada-Ku serta membersihkan kamu dari orang-orang yang kafir, dan menjadikan orang-orang yang mengikuti kamu di atas orang-orang yang kafir hingga hari kiamat. Kemudian hanya kepada Akulah kembalimu, lalu Aku memutuskan diantaramu tentang hal-hal yang selalu kamu berselisih padanya”. (Q.S. Ali Imran [3]: 55)

Para ulama berbeda pedapat tentang bagaimana akhir dari kisah Nabi Isa. Namun, pasal “mengangkat” (rafi’uka) pada ayat di atas bisa dibaca sebagai peristiwa yang biasa saja. Artinya, pengangkatan di situ bukan berarti mengangkat secara fisik, tetapi lebih kepada maknanya yang filosofis. Di tempat terpisah, al-Quran juga menggunakan redaksi “mengangkat” (yarfa’) untuk menggambarkan derajat orang-orang berilmu (Q.S. al-Mujadilah: 11).

Atau, ini boleh jadi serupa dengan Adolf Hitler yang mau “mengangkat” Jenderal Fredrich von Paulus menjadi Marsekal Lapangan (Field Mashal) jika setia pada misi bunuh diri demi mempertahankan kota Stalingard (sekarang Volgograd) yang telah kembali dikuasai Soviet. Sayangnya, Paulus menolak bunuh diri, karena ia adalah seorang Kristen.

Wa ba’du, menulis kisah Nabi Isa sudah tentu cukup menegangkan. Apalagi jika ia ditulis dalam bahasa yang konsumen utamanya adalah masyarakat Muslim terbesar. Sebetulnya ini bukan masalah yang berarti. Tapi jika melihat sentimen umat Muslim yang lebih memilih berdoa di dalam mobil L300 dan berharap akan terjadi mukjizat ketimbang putar balik saat kena razia Polisi Mudik, saya kok jadi pesimis untuk mengelaborasi lebih jauh tentang kisah Nabi Isa dalam al-Quran. Heuheu…