Karena terdesak pasukan Ali bin Abi Thalib, Gubernur Syam (Suriah) Muawiyah bin Abu Sufyan meminta salah satu pasukan perangnya untuk menaruh mushaf al-Quran di ujung tombak. Mushaf itu pun diangkat setinggi-tingginya sebagai simbol keinginan untuk berdamai. Di mata Khalifah Ali bin Abi Thalib, Muawiyah adalah seorang gubernur, yang bukan hanya membangkang, tapi juga memberontak pemerintah pusat. Muawiyah sebagai seorang gubernur tidak mau tunduk kepada Khalifah Ali bin Abi Thalib karena dianggap tidak punya komitmen untuk menangkap dan mengadili pembunuh Usman bin Affan, Khalifah sebelum Ali, yang juga saudara satu klan dengan Muawiyah.
Karena sikapnya itu, Ali bin Abi Thalib mengirimkan 90 ribu pasukan untuk memerangi Muawiyah setelah upaya damai yang dilakukan Ali tak membuahkan hasil. Muawiyah pun menyiapkan 120 ribu pasukan untuk menyambut pasukan pemerintah pusat.
Pasukan kedua belah pihak bertemu di sebuah tempat yang bernama Shiffin, sehingga perang pasukan Ali bin Abi Thalib versus pasukan Muawiyah bin Abu Sufyan yang terjadi pada tahun 37 H, atau 25 tahun sepeninggal Rasulullah, disebut dengan perang Shiffin.
Ketika pasukan Muawiyah mengangkat mushaf setinggi-tingginya, pasukan Ali mulai terbelah sikapnya. Sebagian ada yang ingin menghentikan perang karena Muawiyah sudah mau berdamai yang ditandai dengan mengangkat mushaf al-Quran. Sebagian lagi ingin terus berperang karena mereka menduga mengangkat mushaf itu hanya akal-akalan Muawiyah agar tidak “dihabisi” pasukan Ali.
Pasukan Akhirnya benar-benar pecah. Karena Ali sendiri ingin menghentikan perang karena ada mushaf itu, akhirnya kelompok yang tidak ingin tertipu oleh Muawiyah memilih memisahkan diri dari pasukan Ali. Mereka akhirnya disebut sebagai Khawarij. Dari kelompok ini Ali bin Abi Thalib dibunuh.
Karena Ali bin Abi Thalib memilih berdamai, akhirnya masing-masing kubu mengutus juru damai. Dari kubu Ali bin Abi Thalib dikirim juru damai yang dipimpin Abu Musa al-Asy’ari –orang tua yang sangat tawadhu’ dan shalih– dari kubu Muawiyah dikirim juru damai yang dipimpin Amru bin ‘Ash, seorang politisi ulung dan lihai.
Setelah membicarakan berbagai macam hal, sampailah di ujung pembicaraan. Mereka berdua setuju untuk mencopot dua khalifah itu (Ali Abu Thalib dan Muawiyah) dari jabatannya untuk kemudian diserahkan kepada umat untuk memilih khalifah yang mereka yang inginkan.
Lalu keduanya berdiri berjalan ke tengah kaum muslimin, yang sudah menunggu hasil perundingan. Amru bin Ash sudah sejak awal meminta dan mendorong Abu Musa Al-Asy’ari untuk berbicara lebih dulu di depan hadirin, dengan alasan lebih dulu masuk Islam dan faktor usia yang lebih tua, dan berkata “Wahai Abu Musa, silahkan memberitahu kepada hadirin tentang kesepakatan kita”.
Lalu Abu Musa mengumumkan, “Kami berdua mencapai suatu kesepakatan, dan berdoa semoga Allah menjadikannya sebagai kesepakatan yang mendamaikan umat”.
Saat itu, Ibnu Abbas dari kubu Ali bin Abu Thalib, mencoba menasehati Abu Musa Al-Asy’ari dengan mengatakan, “Amru bin Ash telah menipumu, jangan mau bicara duluan di depan hadirin. Biarkan Amru bin Ash yang bicara duluan!” Namun Abu Musa Al-Asy’ari menolak permintaan Ibnu Abbas.
Lalu di depan hadirin dari dua kubu yang berjumlah sekitar 800 orang, Abu Musa Al-Asy’ari mengumumkan, “Kami berdua telah mencapai kesepakatan, yang kami nilai sebagai kesepakatan yang terbaik untuk umat, yaitu masing-masing dari kami berdua lebih dulu akan mencopot Ali bin Abu Thalib dan Muawiyah dari jabatan khalifah. Setelah itu, menyerahkan kepada umat Islam untuk memilih khalifah yang mereka sukai. Dengan ini, saya nyatakan telah mencopot Ali bin Abu Thalib sebagai khalifah”.
Sebagaimana diduga Ibnu Abbas, begitu tiba giliran Amru Ash berbicara, dia berkata, “Kalian telah mendengarkan sendiri, Abu Musa Al-Asy’ari telah mencopot Ali bin Abu Thalib, dan saya sendiri juga ikut mencopotnya seperti yang dilakukan Abu Musa Al-Asy’ari. Dengan demikian, dan mulai saat ini juga, saya nyatakan bahwa Muawiyah adalah khalifah, pemimpin umat. Muawiyah adalah pelanjut kekuasaan Usman bin Affan dan lebih berhak menggantikannya”.
Mendengar pernyataan Amru bin Ash tersebut, Ibnu Abbas langsung membentak Abu Musa Al-Asy’ari, yang menjawab: “Saya mau bilang apa lagi, tidak ada yang bisa saya lakukan, Amru bin Ash telah menipuku”, dan kemudian mulai mencaci dengan mengatakan, “Wahai Amru bin Ash, celaka kamu, kamu telah menipu dan berbuat jahat”. Sejak itu Dinasti Umayyah dimulai. Setelah Bani Umayyah berkuasa, terus terjadi sejarah yang menyayat hati.
Mushaf di ujung tombak ternyata digunakan untuk menipu Ali bin Abi Thalib.
Kisah itulah yang terbayang di kepala saya ketika sekarang ini ada kelompok masyarakat yang menggunakan kalimat tauhid “La Ilaha illallah” sebagai simbol gerakannya. Kalimat tauhid mereka jadikan simbol bendera, ditempel di baju seragam, topi dan assesoris lainnya. Orang pasti akan berpikir dua kali untuk mempersoalkan lambang dan simbol-simbol itu. Orang yang mempersoalkan akan diejek: “…lho, Anda ini muslim kok alergi dengan kalimat tauhid”.
Sejarah selalu berulang. Kalau orang memahami sejarah tidak akam tertipu. Jika Ali bin Abi Thalib tertipu dengan mushaf di ujung tombak, jangan sampai bangsa Indonesia tertipu dengan gerakan yang menjadikan kalimat tauhid sebagai benderanya. Kalimah tauhidnya tidak ada masalah, tapi mereka menggunakannya untuk menipu.