Seorang sufi besar memiliki murid yang cukup banyak. Beliau sering membimbing para muridnya, dan banyak di antara mereka mencapai derajat tinggi, derajat kekasih Allah SWT, waliyyun min awliya’illah.
Tetapi yang menjadi musykil adalah, seorang murid yang paling alim, khusyuk, dan pandai di antara para murid yang lain, malah sulit mencapai derajat itu.
Sang murid pun merasa aneh, kenapa ia yang alim, lebih khusyuk, lebih pandai dari santri yang lain, malah sulit mencapai derajat tinggi?
Hal ini tentu sangat mengganggu pikirannya. Murid tersebut kemudian bergegas menemui sang mahaguru untuk mengadu.
“Wahai, banyak temanku yang sudahlah mencapai derajat tinggi. Sedangkan aku tetaplah begini-begini saja. Padahal aku lebih alim dari mereka!,” katanya mengadu.
“Pergilah kau ke pasar! Juallah kue-kue di tengah pasar sana! Dengan begitu kau akan menjadi wali,” kata sang guru.
“Subhanallah, kenapa saya harus berjualan kue di tengah pasar?”
Mendengar jawaban muridnya, sang guru tiba-tiba dengan nada tinggi menegurnya. “Demi Allah, kau bertasbih tak untuk mensucikan dan memuji Allah. Tapi untuk mensucikan dan memuji dirimu sendiri. Dan karena itulah kau tak pernah memperoleh derajat tinggi. Karena kau sombong, selalu merasa lebih baik dan mulia dari orang lain,” kata sang guru.
Alkisah, murid itu selamanya berkutat dalam maqom-nya dan tak pernah berkembang. Ilmunya tak jua bermanfaat. Dan dikisahkan bahwa guru mulia pembimbing rohani yang hebat itu adalah sufi besar, Imam Junaid al-Baghdadi.
Semoga kita yang bertasbih tak hendak mensucikan diri sendiri. Yang membaca hamdalah, tak sedang menyombongkan nikmat. Yang bertakbir, tak hendak membesarkan nama, golongan sendiri lebih dari membesarkan nama Allah SWT.
Wallahu A’lam