Pada tahun 167 hijriah di Bashrah lahirlah seseorang yang bernama Muhammad ibn Basyar. Anak yang terlahir di abad kedua hijriah ini di kemudian hari menjadi sosok ulama besar yang berpengaruh dan penuh karismatik, sehingga beliau oleh para ulama di zamannya digelari sebagai al-Imam, al-Hafidz.
Pada masa itu tidak sembarang orang yang dapat meraih dua gelar kehormatan ini, kecuali memang orang yang benar-benar memiliki hafalan yang kuat dan mengetahui seluk-beluk hadis beserta sanadanya. Ulama generasi tabi’ tabi’in ini, disamping beliau menyandang dua gelar yang disebutkan di atas, beliau juga menyandang julukan “bundar”. Menurut al-Dzahabi gelar itu disandangnya karena beliau merupakan rujukan para perawi hadis di masanya.
Kata “bundar” itu sendiri dalam bahasa Arab terambil dara kata “bandar” yang berarti pusat. Namun kata “bandar” dalam Bahasa Indonesia selalu disandingkan dengan sesuatu yang negatif, semisal “bandar narkoba”.
Sejak umur delapan belas tahun beliau sudah menjadi rujukan para ulama perawi hadis, hal ini sebgaimana yang dikatakan Sa’id ibn al-Musayyab bahwa bundar pernah bercerita “Orang-orang menanyakan hadis kepadaku saat umurku delapan belas tahun”.
Namun hal demikian tidak lantas menjadikannya sombong atau merasa paling pintar, ini terbukti dari sikapnya yang enggan mengajarkan hadis di tengah keramaian kota, sebab akan terlihat banyak orang. “Aku malu menjawab pertanyaan mereka lalu aku ajak mereka menuju sebuah kebun, lantas aku mengajarkan mereka hadis sembari memberi mereka makan kurma.” Terangnya.
Sebagai sosok yang kredibel, periwayatan hadis dari Bundar ini diterima oleh murid-muridnya yang fenomenal sepanjang masa, Seperti Imam Bukhari (194-256 H) Imam Muslim (204-261 H) Imam Abu Daud (202-275 H) Imam Abu Isa al-Tirmidzi (209-279 H) Imam Nasai (214-303 H) Imam Ibn Majah (207-275 H). Selain jujur dalam meriwayatkan hadis Bundar juga dianugerahi kekuatan hafalan sebagaimana yang beliau katakan; “Tidaklah aku mengajarkan suatu hadis di majelisku ini kecuali aku telah hafal seluruh hadis yang aku ajarkan.”
Perlu diingat, dibalik gemilangnya reputasi ilmiah guru dari para penulis kitab induk hadis ini, ternyata tidak terlepas dari kepatuhan terhadap ibundanya, beliau sempat bercita-cita ingin berkelana keluar negeri dalam rangka mencari hadis, namun apa boleh buat, ibundanya tidak memperkenankan untuk itu.
Beliau pernah mengatakan, “Aku sempat punya keinginan berkelana -menuntut ilmu- namun ibuku melarangku, aku pun taat apa yang diinginkan ibuku, berkat kepatuhanku kepadanya aku diberi keberkahan ilmu”.
Berkat kepatuhan terhadap ibundanya itu, Muhammad ibn basyar menjadi sosok yang diakui dan diterima periwayatannya. Kendati memang ada sebagian orang semasanya yang mengkritiknya, namun hal itu tidak serta-merta dapat menjatuhkan reputas Bundar, sebagai perawi hadis yang kredibel.