Di Twitter, berkali-kali saya menemukan akun-akun yang dengan lugas secara template berkata, “Dalilnya mana?” Pada sebagian konteks, saya mafhum. Tetapi dalam sebagian besarnya, saya heran. Sekaligus takjub.
Begini. Pertama, orang yang berjibaku dengan dalil-dalil niscaya memiliki pengetahuan yang baik terhadap bahasa Arab, beserta seluruh variabel penyokong pemahaman-pemahamannya, seperti Mantiq, Balaghah, hingga mufradat gharibah.
Betapa tidak pada tempatnya–atau sebutlah kurang tahu diri—bagi seseorang yang tidak memiliki minimal pengetahuan bahasa Arab sehingga bisa memahami kaidah fa’ala yaf’ulu fa’lan, misal, lalu berkoar-koar tentang dalil-dalil melulu. Itu sungguh bukan levelnya, dan orang tawadhu’ adalah orang yang tahu maqamnya. Inilah letak takjub saya dengan mengandaikan akun-akun itu adalah sosok-sosok yang memahami bahasa Arab dengan baik.
Kedua, ini letak heran saya: mengapa untuk sekadar membaca hauqalah (la haula wala quwwata illa biLlahil ‘aliyyil ‘adhim)–dan lain-lainnya yang notabene kalimat thayyibah—mesti dan terkesan wajib harus tahu dalilnya dulu? Bukankah mustahil setiap orang Islam fasih berbahasa Arab semua? Lalu bagaimana nasib mereka yang begitu rupa?
Plus, tambahkan satu poin permenungan ini: “Jika untuk membaca basmalah, hauqalah, ta’awudz, Fathihah, dan sebagainya yang mutlak kalimat thayyibah Anda mewajibkan tahu terlebih dahulu dalilnya mana dan apa, mengapa terhadap leyeh-leyeh, garuk-garuk, makan tongseng, minum iced coffee latte, bercanda, bersosmed, dan sebagainya, yang notabene jauh level thayyib-nya di hadapan kalimat thayyibah tadi, Anda enak saja melakukannya dengan tanpa bertanya dulu mana dan apa dalilnya?”
Dengan nada bercanda, Gus Baha mengatakan: “Jika kepada bersalaman seusai shalat jamaah Anda minta dalil, mengapa kepada mengaktifkan HP atau ke toilet setelah shalat jamaah Anda tidak minta dalil dulu?”
Oke, lepas dari dua kemusykilan yang menjadi trend mbuhlah di dalam khazanah keislaman kita kini di atas, di suatu hari yang selo banget saya membuka-buka kitab Syarah Nashaihul ‘Ibad. Ini kitab masyhur karya Imam Nawawi, dikaji di banyak pesantren, dan tipis. Bahkan di hadapan kitab masyhur lain macam Riyadhus Shalihin, ini “cuma” kitab tipis. Apalagi di hadapan kitab Fathul Bari Ibnu Hajar al-Asqalani.
Saya ngungun, sungguh bengong. Betapa amat banyaknya khazanah dalil dalam kitab ini, dari yang hapal dengan baik beserta sandanya, lalu yang familiar buat saya, hingga yang sungguh asing dan baru kali ini saya mengetahui keberadaannya. Belum lagi khazanah atsar dan maqalah. Amat tak terperikan jumlahnya, dengan bidang tematik yang amat sangat luas sekali.
Anda mau minta dalil apa?
Tentang barakah ilmu, ada; tentang ilmu yang malah membuat pemiliknya bagai dajjal, ada; tentang fadhilah membaca syahadat di waktu bangun tidur, ada; tentang barakah mendawamkan istighfar kapan saja, bahkan setiap saat, yang dijanjikanNya membuat Anda lapang rezeki, kabul hajatnya, ada; tentang keutamaan membaca hauqalah, ada; tentang sunnah membaca basmalah sebelum melakukan apa pun dan mengakhirinya dengan hamdalah, ada; dan sebagainya, dan sebagainya.
Perhatikan saksama, saking begitu luas dan banyaknya dalil, atsar, dan maqalah dalam kitab tipis ini, saya mustahil menghitungnya, merekapnya, walau saya habiskan waktu setahun penuh untuk mengerjakan hal tersebut. Sekadar menghitung jumlahnya, rasanya musykil, apalagi menghapalnya dan memahaminya semua dengan sangat baik. Di hadapan satu fakta begini, bagaimana pantasnya bagi saya untuk selalu mengatakan “dalilnya mana?” atas hal-hal yang secara akal sehat jelas baik dan maslahat, padahal saya awam, dhaif, dan bodoh betul di hadapan samudra dalil dalam Nashaihul ‘Ibad ini?
Bagaimana patutnya bagi saya untuk lalu meniadakan, menegasi, dan bahkan menjelek-jelekkan terhadap kebaikan-kebaikan yang notabene masyhur secara akal sehat, plus warisan lelaki para leluhur ‘alim ‘allamah, hanya dikarenakan saya tak tahu dalilnya, padahal ketidahtahuan saya jelas semata akibat saking samudranya dalil-dalil dan saking dhaifnya saya sendiri?
Ini baru Nashaihul ‘Ibad. Bagaimana lagi di dalam Ihya’ Ulumuddin? Pernahkah, misal, Anda bertemu dalil di dalam Ihya’ yang bertutur tentang seorang Arab Baduwi (al-‘arab) tersenyum senang kala Kanjeng Nabi SAW menjawab pertanyaannya bahwa kelak yang akan menghisab manusia adalah Allah Ta’ala langsung, bukan malaikat, dan ia bahagia sekali karena ia mengetahui dan meyakini bahwa Allah Ta’ala Maha Welas Asih, sementara malaikat hanya mengikuti set up-nya yang tegas, keras, dan saklek?
Oke, sampai di sini, saya ingin mengatakan sebaiknya berhentilah menggunakan ungkapan-ungkapan dan sikap-sikap negasi begitu rupa karena sungguh kita di hadapan samudra dalil, atsar, dan maqalah hanyalah remah-remah seremah-remahnya remah-remah. Sungguh dikhawatirkan bahwa sikap negasi kita ternyata mendampakkan penampikan dan penyangkalan terhadap suatu sunnah, suatu fadhilah, atau suatu ijtihad ulama, atau suatu nasihat baik dari kedalaman ilmu mereka, atau seminimnya suatu amal baik duniawi, yang tentu saja itu buruk –seminimnya su’ul adab.
Itu bagian pertamanya.
Bagian keduanya, di hadapan samudera dalil, atsar, dan maqalah itu, sungguh saya merasa tiada kuasa dan daya blas untuk bisa menguasai dan memahaminya dengan baik, walau saya memiliki ghirah yang tinggi dalam belajar, membaca, menghapal, menelaah, dan mengaji sejak lama, serta waktu yang selo. Sikap skeptis ini disebabkan saking “tak terbatasnya” khazanah dalil-dalil, atsar, maqalah, dan ilmu-ilmu luhung tersebut.
Ya Allah, hamba tak mampu….
Suatu hari, saya berjumpa dua keterangan yang sangat menenangkan hati ini. Dan saya sungguh bersyukur atas karunia perjumpaan dan pemahaman ini.
Pertama, surat al-‘Alaq ayat 4-5. “(Tuhan) yang mengajari (manusia) dengan perantara pena (dan) mengajari manusia apa-apa yang tak diketahuinya.”
Ayat tersebut menunjukkan dua jalan pengajaran ilmu, yakni melalui perantara pena (qalam, dirasah) dan tanpa perantara apa-apa (wiratsah). Pada pola pertama, dengan pena, ini menunjukkan pada metode alamiah dan rasional belajar-mengajar. Bisa dalam bentuk mondok, sekolah, kuliah, kursus, membaca, latihan, pengajian, dan sebagainya.
Frasa “bil qalam” melibatkan adanya sarana-sarana dan perantara-perantara, baik benda maupun manusia. Tetapi pada pola kedua, mekanismenya langsung dari bimbingan dan karunia Allah Ta’ala. Tentu saja Allah Ta’ala Maha Kuasa untuk memberikan ilmu-ilmu apa pun dan kepada siapa pun serta dengan jalan atau cara apa pun. Tak ada yang tak mungkin bagi Allah Ta’ala.
Kedua, surat al-Baqarah di ujung ayat 282: “….dan bertakwalah kepada Allah Ta’ala dan Allah Ta’ala akan mengajarimu dan Allah Ta’ala Maha Mengetahui atas segala sesuatu.”
Ayat ini menegaskan ayat dalam surat Al-‘Alaq di atas, bahwa Allah Ta’ala Yang Maha Mengetahui segala sesuatu memiliki kuasa mutlak untuk (termasuk) mengajari siapa pun yang dikehendakiNya. Jelas saja jika Allah Ta’ala telah mengaruniakan pengajaran langsung dari sisiNya (entah bagaimanapun jalan, bentuk, cara, dan prosesnya), segala pengetahuan menjadi tersibak seluas-luasnya sesuai dengan ketetapanNya kepada orang-orang yang dikaruniaiNya.
Kanjeng Nabi SAW mendoakan secara khusus kepada Abdullah bin ‘Abbas Ra agar diberiNya pengetahuan tentang al-Qur’an dan hikmahnya. Kini kita menyaksikan betapa Abdullah bin ‘Abbas r.a menjadi “bapak tafsir” yang menjadi jujukan pertama setelah Kanjeng Nabi SAW dalam takwil-takwil al-Qur’an hingga sampai kepada kita kini. Begitulah bila Allah Ta’ala telah mengajari secara langsung….
Abdullah bin Mas’ud r.a yang asalnya “bukan siapa-siapa”, tumbuh menjadi ahli ilmu yang sangat dimuliakan oleh para sahabat dan generasi berikutnya (di antaranya) berkat barakah ngabdi kepada Kanjeng Nabi SAW dengan khususan memelihara sendal Beliau SAW. Jika kita kini mengetahui sosok Abu Hanifah yang berasal dari Kufah (Irak), muasal pengajar ilmu-ilmu agama ini di Kufah adalah Abdullah bin Mas’ud r.a, sehingga acap dikatakan bahwa khazanah ilmu Abu Hanifah bersanad kepada Abdullah bin Mas’ud r.a. Begitulah bila Allah Ta’ala telah mengajari secara langsung….
Abu Hurairah Ra–nama aslinya Abdurrahman bin Shahrin—yang juga menjadi “kepala” Ahlus Shuffah curhat kepada Kanjeng Nabi SAW betapa ia sangatlah pelupa sehingga tak bisa mengingat segala apa yang pernah disabdakan Beliau SAW dan memohon didoakan.
Lalu Kanjeng Nabi SAW menyuruhnya membentangkan serban di depan dadanya dan mendoakannya. Lalu Beliau SAW menyaut-nyaut angin dan menaburkannya di atas serban itu sebanyak tiga kali, lalu menutupkan serban itu ke dada Abu Hurairah r.a.
Sejak saat itu Abu Hurairah r.a langsung hapal segala apa yang disabdakan Kanjeng Nabi SAW dan tak bisa lupa sedikit pun. Begitulah bila Allah Ta’ala telah mengajari langsung….
Hasan Bashri, seorang sufi agung generasi awal, dulunya adalah anak dari seorang budak yang mengabdi kepada istri Kanjeng Nabi Saw, Sayyidah Ummu Salamah Ra. Waktu itu Sayyidah Ummu Salamah Ra (nama aslinya Hindun binti Abu Umayyah bin Mughirah) punya anak kecil yang masih disusui. Dan bila Hasan menangis karena kehausan, Sayyidah Ummu Salamah berkali-kali sekalian menyusuinya.
Renungkanlah, dengan barakah susuan mulia istri Kanjeng Nabi SAW, kelak saat mukim di Bashrah (Irak) Hasan tumbuh menjadi ahli ilmu dan tasawuf yang amat masyhur, yang kini kita kenal sebagai Hasan Bashri. Beliau adalah sufi yang pernah melamar sufi perempuan Rabi’ah Adawiyah, tetapi dengan halus tak diterimanya karena ia hanya ingin ‘bercinta’ dengan Allah Ta’ala. Begitulah bila Allah Ta’ala telah mengajari langsung….
Imam Bushiri, pengarang Qasidah Burdah, dengan barakah cintanya yang amat mendalam kepada Kanjeng Nabi SAW, dibimbing Beliau SAW langsung dalam menyelesaikan bait-bait Burdahnya. Dan kini kita saksikan betapa Qasidah Burdah ini terus abadi, dibaca, dikaji, dan diamalkan dengan sangat luas di mana-mana. Begitulah bila Allah Ta’ala telah mengajari langsung….
Saya masih bisa menyebut begitu banyak nama masyhur dan agung lainnya dari khazanah sirah sahabat, tabi’in, tabi’it tabi’in, dan terus ke kalangan ulama-ulama penerusnya. Dari sosok agung Sayyidah Aisyah r.a, Sayyidah Hafshah r.a, lalu Abdullah bin Umar r.a, Anas bin Malik r.a, Zaid bin Tsabit r.a, Mu’adz bin Jabal r.a, dan seterusnya seperti Ibnu Hajar Asqalani, Ibnu Hajar Haitami, Sirajuddin al-Bulqini, Ibnu Hisyam, Raghib Asfahani, hingga Jalaluddin al-Suyuthi.
Semoga ini sudah cukup untuk mengukuhkan betapa dahsyatnya samudera ilmu, pengetahuan, dan hikmah yang bisa diraih seseorang bila telah dibimbing langsung oleh Allah Ta’ala, entah dengan jalan dan cara apa saja yang hanya Allah Ta’ala yang mengetahuinya.
Ayat 282 dari Al-Baqarah itu memberikan satu syarat untuk mendapatkan samudera ilmu dari sisi Allah Ta’ala, yakni bertakwalah….
Takwa adalah menjalankan perintah-perintah Allah Ta’ala dan menjauhi larangan-laranganNya. Kualitas dan maqam ketakwaan kita akan terukur segaris semarka dengan semakin intens dan tawadhu’nya kita (lahir dan batin) kepada dua bidang tersebut (patuh kepada perintahNya dan meninggalkan laranganNya). Semakin kita bertakwa maka akan semakin diluaskan hidayahNya. Walladzinahtadau zadahum hudzan wa atahum taqwahum, dan orang-orang yang telah dihidayahi maka Allah Ta’ala akan terus menambahkan hidayah kepada mereka dan (hingga) menanamkan (makin) bertakwa mereka. (QS. Muhammad ayat 17).
Hidayah yang dimaksud tentulah meliputi segala karunia bimbingan dan pencerahan dari Allah Ta’ala, taufik dan rahmatNya, termasuk dalam bidang ilmu pengetahuan dan hikmah. Rabbana atina min ladunka rahmah wa hayyi’ lana min amrina rasyada. (QS. Al-Kahfi 10). “Rasyadan” bermakna kecerdasan, kepintaran, pencerahan yang lurus, yang makin mengukuhkan agama Allah Ta’ala, yang mengantar diri kepada makin tawadhu’ (patuh dan tunduk) kepada Allah Ta’ala (ahbatu ila rabbihim). Yahdi bihiLlahu man ittaba’a ridwanahu subulas salam wa yukhrijuhum minad dzulumati ilan nur bi idznihi wa yahdihim ila shirathin mustaqim, Allah Ta’ala memberikan hidayah (petunjuk, bimbingan) dengan al-Qur’an kepada orang yang mengikuti keridhaanNya berupa jalan-jalan keselamatan dan mengelurkan mereka dari kegelapan menuju cahayaNya dengan izinNya dan membimbing mereka kepada jalan yang lurus. (QS. Al-Maidah 16).
Demikian takwa, demikianlah ketakwaan.
Finally, mari perhatikan keterangan lanjutan dari surat Al-Baqarah ayat 282 tadi: (jika engkau bertakwa kepada Allah Ta’ala), Allah Ta’ala akan mengajarimu….
Bila Allah Ta’ala Yang Maha Mengetahui segala sesuatu telah mengaruniakan pengajaran langsung dari sisiNya kepada seseorang, sebagai buah barakah ketakwaannya, maka seluruh kendala dan keberatan dalam memahami, menguasai, dan menghapalkan ilmu-ilmu apa pun menjadi tuntas setuntas-tuntasnya. Sesamudera apa pun khazanah ilmu dalam kitab-kitab dan buku-buku yang kita–saya—hadapi dan pernah membuat kita–saya—skeptis begitu skeptis dari mata rasional, kini berlegalah seleganya atas Kemahakuasaan Allah Ta’ala dengan segenap raja’ atas karunia pengajaranNya. AlhamduliLlahi rabbil ‘alamin.
Oke, kini saya dan Anda telah tahu ilmu hakikat belajar-mengajar ini, yakni bertakwalah, bertakwalah, dan bertakwalah, maka selanjutnya Allah Ta’ala lah yang akan menciptakan dan mengatur mekanisme, jalan, dan caranya bagi setiap kita untuk mendapatkan pemahaman, ilmu, dan bahkan hikmah dari sisiNya. Jika–sekadar perumpamaan raja’—Anda berjumpa, membaca, dan lalu memahami tulisan ini dengan saksama, mari anggap itu sebagai bagian dari cara Allah Ta’ala “mengajarkan ilmu” kepada siapa pun yang dikehendakiNya.
Ya Allah Ya Rahman Ya Rahim, karuniakanlah ketakwaan demi ketakwaan ke dalam hati kami, karuniakanlah ilmu dan hikmah dari sisiMu yang semakin menghantarkan kami beriman dan bertakwa kepadaMu dan NabiMu, amin….
WaLlahu a’lam bish shawab.