Alkisah, Nasruddin dan seorang teman berjalan-jalan ke Pekan Raya Agama Besar Dunia. Tentu saja beda dengan Pekan Raya Jakarta yang dipenuhi stand berisi macam-macam dagangan. Tapi kira-kira mirip lah, agama-agama besar mendirikan standnya.
Di sana terjadi kompetisi sengit. Setiap agama berlomba-lomba mempromosikan ajarannya pada para pengunjung. Pesannya kurang lebih sama: agamaku lah yang paling benar.
Ketika sampai di stand agama Yahudi, para rabbi menyodorkan pamflet yang berisi ajaran berikut: “Tuhan itu Maha Pengasih. Bangsa Yahudi adalah bangsa pilihan Allah. Sekali lagi, hanya orang Yahudi. Tidak ada bangsa lain yang dipilih Allah selain bangsa Yahudi.”
Mereka melanjutkan kunjungan ke stand agama Islam. Para ustadz, kyai, dan habib di sana mengajarkan: “Tuhan itu Maha Pengampun. Ia satu-satunya Allah. Dan Muhammad adalah Utusan Allah. Hanya orang yang percaya pada Muhammad sebagai Utusan Allah akan diselamatkan.”
Terakhir, ada stand agama Kristen. Di depan stand, para pendeta dan pastor dengan penuh semangat berkhotbah: “Allah adalah Kasih. Di luar Gereja tidak ada keselamatan. Mari, bergabunglah dengan Gereja atau kalian tidak akan selamat!”
Ketika dalam perjalanan pulang, Nasruddin bertanya pada temannya, “Nah, menurutmu, Allah itu gimana?” Temanku menjawab, “Ia keras, fanatik, dan kejam.”
Nasruddin protes pada Allah, “Ya Allah, mengapa Engkau membiarkan semua ini terjadi? Apakah Engkau tidak melihat, sudah berabad-abad lamanya nama-Mu dicemarkan?”
Allah menjawab, “Lho, kan bukan aku yang menyelenggarakan Pekan Raya itu. Aku pun akan malu kalau berkunjung ke sana!”
Disarikan dari: Anthony de Mello, SJ, The Song of The Bird, (Gujarat: Gujarat Sahitya Prakash, 1982).