Kematian adalah satu hal yang pasti, namun terkadang membuat kita getir. Bahkan, bagi orang umum, kematian adalah suatu yang menakutkan. Pasalnya, ia dapat memisahkan manusia dari dunia yang selama ini ditempati. Kematian juga akan membuat si mayit berpisah dengan keluarga dan orang-orang yang ia cintai. Juga, kematian akan menyebabkan ia tak bisa menikmati harta-harta yang ia kumpulkan selama ini.
Dan, tentu saja, kematian akan membuat semua kita harus mempertanggungjawabkan seluruh amal perbuatan di hadapan Tuhan.
Meski begitu, kematian adalah salah satu dari beberapa hal yang menjadi misteri bagi setiap orang. Tak ada orang yang mengetahui kapan ia mati dan kembali kepada Tuhannya. Hikmah dari ketidaktahuan manusia tentang kematian dirinya itu justru akan menjadi penyebab dan alasan bagi mereka untuk selalu dan senantiasa beribadah kepada Allah Swt, kapan dan di mana saja, serta dalam keadaan bagaimana pun.
Setiap manusia, seberapa tinggipun derajatnya, pasti akan mengalami kematian. Meski demikian, setiap orang memiliki “jatah” hidup yang berbeda-beda. Firman Allah Swt dalam Al-Qur’an memberikan penjelasan bahwa ketika maut menjemput, maka manusia tak bisa memajukan dan menundanya.
Namun, bagi sebagian orang, bil khusus bagi kekasih Allah, ternyata kematian bisa dinego dan disesuakan dengan keadaan. Kita tentu pernah mendengar kisah masyhur betapa Nabi Ibrahim pernah menawar kematian dari malaikat maut.
Hal serupa ternyata juga pernah dialami oleh salah seorang ulama Indonesia bernama KH Mukhtar Syafa’at, pendiri pesantren Darussalam, Blokagung, Banyuwangi, Jawa Timur.
Sebagai pimpinan dan pengasuh pesantren, Kiai Syafa’at saban hari selalu mengajar santri. Sesuai bidangnya, kitab Ihya’ Ulumiddin, karya al-Ghazali, adalah kitab yang selalu ia baca dan jelaskan kepada para para murid-muridnya itu.
Di suatu pagi di hari jumat, setelah selesai mengajarkan kitab Ihya’ Ulumiddin di masjid, Kiai Syafa’at bergegas ke kediamannya yang berjarak tak jauh dari masjid. Saat itu waktu menunjukkan pukul setengah tujuh.
Lalu, kabarnya, Kiai Syafa’at didatangi oleh malaikat Izrail, di ndalem-nya. Kedatangan malaikat Izrail itu tentu saja untuk kepentingan menawarkan kematian kepada Kiai Syafa’at, suatu fenomena yang terbilang jarang, tidak saja isi tawaran itu sendiri, tapi juga yang menawarkannya.
Lalu, setelah mempetimbangkan matang-matang, Kiai Syafa’at tidak berkenan untuk menerima tawaran itu. Alasannya adalah ia merasa bahwa pesantren yang didirikannya itu belum siap ditinggalkan. Pasalnya, putra sulung Kiai Syafa’at yang akan menggantikan dan memegang tongkat estafet kepemimpinan pesantren Darussalam Blokagung selanjutnya, saat itu masih belajar di pesantren. Putra sulung yang dimaksud adalah KH. Ahmad Hisyam Syafa’at. Dan, atas dasar itulah, maka Kiai Syafa’at tak jadi wafat.
Sesuai dengan alasan yang gunakan untuk menolak tawaran malaikat maut itu, maka beberapa waktu kemudian, ketika putra sulungnya itu rampung dari belajar di pesantren dan menetap di rumah serta dirasa siap menjadi penerus mengasuh pesantren, Allah Swt memanggil Kiai Syafa’at.
Wafatnya Kiai Syafa’at itu terjadi pada hari sabtu, tanggal 17 Rajab 1411 H, bertepatan dengan tanggal 02 Februari 1991, pukul 02.00 WIB (dini hari) dalam usia 72 tahun. Sejak saat itu, pesantren Darussalam kemudian dipimpin oleh KH. Ahmad Hisyam Syafa’at, hingga kini.
* Kisah ini diceritakan langsung oleh almarhum Kiai Syafa’at kepada salah satu santrinya, Nuruddin, sembilan tahun sebelum ia wafat. Disadur dari buku “Mbah Kiai Syafa’at Bapak Patriot dan Imam Ghazalinya Tanah Jawa” karya Muhammad Fauzinuddin Faiz